Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari 2012

Bandara dan Awal

Saya berkali-kali mengantar teman ke bandara untuk pergi entah keluar kota, keluar pulau, atau keluar negeri sekalipun. Selalu merasa berat melepaskan seseorang untuk pergi, tapi tidak pernah sesedih ini. Kesedihan perpisahan SD dapat tergantikan setelah masa orientasi Siswa SMP tiba. Sama halnya dengan ketika beranjak memasuki masa SMA dan kuliah. Selalu ada “gerombolan baru” yang mampu memberikan kebahagiaan di setiap tahap baru. Dan saya merasa tidak bergeser kemanapun karena kami akan dapat bertemu teman lama kapan saja dalam tempo 30 menit. Kami sama-sama tidak pergi terlalu jauh. Kali ini, fase hidup sudah benar-benar berbeda dari masa sekolah. Saya dan teman-teman sedang harus melempar jangkar masing-masing. Hanya Tuhan yang tahu di mana jangkar akan menacap untuk melabuhkan perahu. Dunia kerja menggiring masing-masing dari kami akan pergi jauh. Saya berkali-kali mengantar teman ke bandara, melepas kepergian tapi tidak sampai mengeluarkan air mata. Pagi ini, s

Lembar Persembahan

Bismillahirrahmanirrahim. Ucapan tanpa batas untuk Yang Maha Kuasa, Allah SWT atas setiap nafasku dan keberkahanNya. Shalawat serta salam bagi junjunganku, Nabi Muhammad SAW atas teladannya.  Terima kasih kepada papa dan mamaku, Imam Anshori Saleh dan Dies Fatmawati atas cinta dan doa tulus yang tak pernah putus. Kepada adikku Hafida Fahmiasari , terima kasih telah banyak mengajariku -yang notabene lebih tua darimu-, pelajaran berharga untuk bertahan dalam segala kondisi. Keluarga kecil Taufika Rahardini , Holly Bilowo , Muhammad Fatah Azizi, dan Muhammad Fatih Al-Fadly , yang mewarnai hidupku dan senantiasa menghibur di saat penat. Kepada para sahabat terbaik, Stephanie Hadylaya, Karlina Aucia Augusta, Aldiena Bunga Fadhila, Giovanni Fadhillah Empel, Maharsi Wahyu Kinasih, Masagung Suksmonohadi, Danang Satriaji, Ninda Sasmita Putri, Amalia Insan Kamil, Bella Oktofira, Debbie Naomi Edriani, Emil Yaditya, Aulia Nur Rakhmawati, Andika Jaffiani Lestari, Poppy Danastri S

Penghujung Wajib Belajar 16 Tahun

Di sebuah hari yang terlupa namanya pada 1996, perjalanan wajib belajarku dimulai. Beginilah cuplikan selebrasi 16 tahun kemudian. Menanti kelulusan-kelulusan lanjutan. *foto diambil oleh: Riski Raisa Putra, Adlan Syahmi, Rahmia Hasniasari

Jalan-jalan

Macet seperti biasa masih menghiasi jendela kantor yang menyuguhi pemandangan jalanan Jakarta. Dua menit, lima menit, setengah jam. Rasanya sama saja untuk beranjak sekarang atau harus menunggu agak lama, otak sudah gusar. Dia minta pulang. Mari kita jalan-jalan! Jalan pulang yang semestinya hanya berjarak Seturan-Jalan Magelang berubah jadi Jogja-Karanganyar. Dibumbui dengan berhenti lama-lama dan pengap dalam busway yang penuh sesak.  Tak ada satu perjalanan pun yang tak menyenangkan. Aku melangkah ke kursi dekat supir, hanya untuk melihat selama apa dia akan bersabar karena jalurnya selalu diserobot orang. Sesekali ia melirik lewat spion tengah, hanya untuk memastikan banyak nyawa yang menumpang. Banyak orang yang sedang ditunggu di rumah masing-masing sedang ia bawa. Lalu si juru mudi menghela napas. Sabar telah menjadi pilihan pertama sekaligus terakhir baginya. Setiap hari. Di busway aku kehilangan efek grafitasi, karena tiap aku doyong tubuhku akan terdorong tegak l

Jauh

Panasnya Jogja mengingatkan saya pada neraka. Padahal tidak pernah kesana, aneh sekali. Beberapa kali saya kurang menyukai siang yang teriknya berlebihan. Membakar kulit adalah risiko ke sekian yang saya pikirkan, tetapi kemampuan matahari untuk mendekap mata hingga  mengriyip  sungguh tidak membuat nyaman. Apa yang salah dengan siang, apa yang salah dengan matahari. Siang sering mengajarkan tentang kenikmatan meneguk segelas jus segar. Siang juga membiarkan saya merasakan teduhnya rumah. Saat balita saya sering sekali menangis pada pukul 19.00. Sedih sekali mengetahui bahwa hari beranjak malam. Yang artinya penghuni rumah akan segera terlelap, yang artinya lagi dunia saya akan menjelma sepi. Hal itu terjadi karena kebiasaan saya tetap terjaga di malam hari, dan sedihnya hantu selalu dicitrakan akan keluar tengah malam. Malam sama tak bersalahnya. Setelah dewasa saya merasakan kekuatan malam sebagai ruang kontemplasi paling nyaman. Malam membuat lampu kota terlihat ratusa

Klise

Klise adalah ucapan  selamat ulang tahun semoga panjang umur. Klise adalah ucapan  semangat ya, kamu pasti bisa! Klise adalah ucapan  all iz well . Klise adalah ucapan  selamat tidur, semoga mimpi indah . Begitulah kiranya banyak orang mengatakan dengan mudah, ah klise . Mungkin mereka belum tahu bagaimana rasanya ingin menyayangi seseorang tapi tidak lagi menemukan kata-kata baru.  Atau mungkin mereka belum diizinkan untuk tahu bahwa saat jarak terbentang, seekspresif apapun seseorang kepada yang sedang dirindukan, pesannya akan sulit tersampaikan tanpa beberapa kalimat seru. Klise adalah wajar, karena mungkin sebuah kata tidak punya sinonim sebanyak hari yang dilalui manusia. Hidup pun klise, selalu diawali dengan bangun pagi dan diakhiri dengan mengantuk lalu pergi tidur. Selamat siang, semoga harimu menyenangkan! Tergugah oleh kabar haru sahabat yang sudah disetujui skripsinya dan pangeran yang sedang menjalani pekan yang bera

Hibernasi

Kebiasaan sangat buruk sudah menggelayuti saya –setidaknya setahunan ini- membiarkan laptop dalam hibernate mode. Bukannya sekalian melakukan shut down . Alasan utama kepraktisan selalu jadi pemenang dalam setiap pergulatan hati -yang khawatir perangkatnya akan rusak-. Salahkan skripsi dan kroninya. Membuat saya jadi tak rela membiarkan inspirasi “ilmiah” pergi karena menanti loading saat menyalakan laptop. Hampir menginjak dua bulan, pasca jadi sarjana, akhirnya saya ampuni laptop itu. Mati beberapa saat. Benar-benar mati. Pasti akan saya nyalakan lagi sih, tapi belum tahu kapan karena komputer rumah atau kantor barangkali jauh lebih menarik. Mungkin sudah sadar lama, tetapi baru mencoba mengakui bahwa nggak cuma laptop yang telah berhibernasi sering-sering dan lama-lama. Pemiliknya juga, saya. Sudah lama sekali hati terasa amat rapuh dan digerogoti melankolia kamar tertutup.Melankolia kamar tertutup adalah perasaan sedih berlebihan yang disebabkan berpikir sendiri berl

Terima Kasih

Hey, kamu harus bangun. Ini Minggu pagi. Jangan bergelayutan di kasurmu kelamaan. Aku tahu, aku tahu. Semuanya. Kesedihanmu, sakitmu, dan seberapa kuat kamu ingin berjuang. Tak sekedar bangkit. Sudah kamu jalani medan berkerikil yang tak mudah, berlari mengejar keretamu di rel-rel besi karatan. Tak lebih dari cukup, tapi bukan juga terlalu kurang. Terima kasih, itu saja yang perlu kau katakan. Bukan pada siapapun. Tentunya kau sudah haturkan ribuan terima kasih pada mereka yang baik hatinya. Ucapkan terima kasih pada dirimu, pada hatimu. Terima atas kekuatan di balik lemahmu. Yakinlah kau tidak lemah, hanya perlu mengatur nafas sejenak. Bangunlah, ini Minggu pagi. Berbahagialah. gambar

Agustus

Selalu ada yang istimewa di bulan Agustus. Begitulah yang kupahami sejak kecil. Agustus berarti perayaan hari kemerdekaan Republik Indonesia. Yang artinya lomba-lomba di komplek rumahku dan malam pentas seni. Aku selalu menyambutnya dengan kegirangan, dan memenangkan banyak perlombaan. Mulai dari lomba membaca teks proklamasi, sepeda gembira, dan makan kerupuk. Hal itu tak pernah lepas dari dorongan ayahku yang lebay-lebaynya mengalokasikan waktu seharian penuh untuk menghias sepedaku dan adikku dengan kertas krep beraneka warna. Beranjak dewasa, lomba-lomba agustusan sudah tak lagi aku ikuti, Agustus menyepi. Aku dipaksa untuk memahami makna lain tentang hari kemerdekaan, barangkali tentang cerita perjuangan pemuda masa itu. Sejak itu aku mulai menulis. Agustus tahun ini tentu tak sama, Ramadhan dan Idul Fitri akan turut menghiasi. Aku ingat betul saat kecil lebaran selalu berdekatan dengan natal di akhir tahun. Tanggal lebaran yang bergeser tiap tahun menjadikan kali ini A

Bersyukur Dahulu, Berjuang Kemudian

Tiga orang wanita menuju seperempat abad, menanti di depan rumah yang agak gelap. Kuhampiri dan disambung pelukan agak panjang. Martabak asin dan brownies  menggenapkan gelak tawa malam itu. Esok harinya, dua wanita-hampir seperempat abad juga- datang di siang hari, sambil bawa hidangan utama untuk isi perut. Super mantap, super lezat. Gelak tawa berlanjut sampai malam, sambil tiduran di hadapan sahabat yang sedang berjuang dengan skripsinya, datang si seseorang yang super panik seperti habis dimarahi ayah. Yang memang habis dimarahi.  Beberapa hari setelahnya, lima potong rendang dari pulau seberang mendekatkan kami lagi. Dan mereka lagi-lagi memelukku. Dalam kesedihan yang amat dalam, mereka tidak menyalahkan, tidak menasihati, tidak menggurui. Hanya mendengarkan dan mengatakan bahwa hidup harus tetap berjalan. Dan bahwa matahari masih sama indahnya dengan bulan lalu, atau tahun lalu. Dan bagiku itu sudah lebih dari cukup. Kaka bisa bikin cerah awan kok. Kan

Tuhan, Apakah Sebuah Kesedihan Dapat Membuat Hamba Mati?

Beberapa kali aku bermimpi tentang kondisi kematian diri sendiri. Pernah sesak napas, pernah dibunuh orang, pernah pula ditabrak bus kota. Dari kesemuanya tidak ada satupun yang menyakitkan, selain rasa takut menjelang kematian itu sendiri. Aku selalu diselamatkan oleh sebuah pagi, bangun tidur, dan bernapas lega. Oh, cuma mimpi. Kuharap aku akan mati dalam ketidaksadaran, di atas ranjang harianku. Tidak heroik memang, tetapi itulah inginku. Mati karena sakit mungkin akan sangat menyakitkan, atau justru penuh persiapan. Entahlah. Yang pasti tidak semua penyakit punya obat, dan tidak semua obat mampu menyembuhkan penyakit. Terpujilah para dokter di dunia yang selalu memenangkan hati seorang pasien. Setidaknya pesakitan yang datang akan berpikir bahwa mereka dapat disembuhkan, terlepas dari apakah yang mereka dengar adalah fakta atau sekedar bius sosial. Bagiku mempercayai kabar baik merupakan setengah dari kesembuhan itu sendiri. Syukurlah. Sakit pada fisik selalu punya rujukan

Sebuah Sore Saat Sepiring Bebek Goreng Terasa Tak Enak

Sore itu adalah sore yang sangat biasa, langit sedikit berawan, dan selasar kampus ramai oleh mahasiswa. Sore itu menjadi agak berbeda karena seorang dosen pembimbing mengatakan bahwa ada yang salah pada kesimpulan skripsiku. Bukan hanya agak, tetapi sangat berbeda. Mendadak suasana riuh ramai dan awan yang biru semu abu-abu jadi tidak bersahabat. Aku berjalan agak sempoyongan menghampiri sekelompok kursi di depan ruang organisasi mahasiswa. Sambil menunggu seseorang, aku berpikir tentang enam hari ke depan, tanggal pendadaran dan tes komprehensif yang telah ditentukan. Bayangan bahwa skripsiku akan “dihajar” menempel kuat di otak. Skripsi yang akan dihajar itu adalah beberapa lembar halaman yang teramat berharga bagiku, yang membuatku seringkali menghabiskan subuh untuk berjibaku bersamanya, dan tidur teramat larut untuk menuntaskannya. Skripsi itu adalah batu ukir yang membiarkanku jadi pemahat yang sangat bekerja keras, aku selalu membanggakannya, dan ternyata ia skripsi denga

Momen Terakhir

Beruntunglah mereka yang dapat menikmati seremonial maupun momen yang terakhir. Ada bakso ikan yang sangat enak di SD saya, harganya 250 rupiah saja. Setiap hari saya beli dua bungkus untuk dihabiskan kurang dari dua menit. Saking sukanya. Sampai sekarang saya masih suka memikirkan makanan itu, gurih bercampur pedas bakso kanji dengan bumbu kacangnya buat saya istimewa dan irreplaceable . Sepertinya saya tidak akan bisa makan camilan magis itu lagi. Selain karena SD saya ada di kota yang jauh dari tempat tinggal saya sekarang, bakso ikan buatan seorang "Ece" itu mungkin sudah tidak ada lagi. Sebuah warung yang hanya punya satu meja dan berjualan di dekat kamar mandi (saat itu) barangkali akan sangat mudah kena gusur atau mundur sukarela.  Iseng-iseng saya memikirkan kapan terakhir kali makan bakso ikan itu. Apakah saat perpisahan SD -yang biasanya tidak terdapat pedagang di sana-, atau mungkin saat saya UNAS -yang biasanya saya dilarang keras jajan s

Lelaki Hari Minggu

Dia datang setiap Minggu, masak air lalu buatkanku susu Dia datang setiap Minggu, di sebuah pagi dan memintaku matikan lampu Dia datang setiap Minggu, menanyakan kabar sekolahku lalu memberi beberapa lembar uang saku Dia datang setiap Minggu, menuntut keberadaanku di rumah yang sering kubiarkan lama menunggu Dia datang setiap Minggu, itulah yang tersisa dari Senin Selasa Rabu, serta Jumat, juga Sabtu Dia datang setiap Minggu, mengabdikan diri pada yang sering kali melempar hujat menggebu Dia datang setiap Minggu, hidupnya terus berperang melawan waktu yang kumiliki hanya sepertujuh Dia lelaki di hari Minggu, ayahku

Es Batu dan Masa Kecil

Bila ada rindu yang paling kuat dalam hidup, jawabannya adalah kerinduan saya pada  masa kecil. Hampir setiap hari saya dibuat jengkel oleh kedua saudara perempuan saya –yang sama enerjiknya- setiap hari saat masih kecil. Kakak saya yang saat itu sudah tumbuh menjadi remaja yang (kata orang) cantik selalu memakan jatah susu kotak saya, hampir setiap waktu. Dengan amat liciknya ia menghabiskan miliknya selalu lebih dulu dari saya dan adik. Kemudian saat kami sedang menikmati susu kotak masing-masing, hap tangan lincahnya merebut minuman tersebut dan lari sambil buru-buru menyeruputnya habis. Saat itu seorang anak kelas empat SD telah diperkenalkan tentang sebuah arti dari keculasan, oleh kakaknya sendiri. Adik saya tak begitu nakal, tetapi sangat cengeng dan hobi memukul. Mata kanan dan kiri saya pernah terluka karena pukulan mautnya. Kejadian pertama adalah saat kami sedang berkelahi. Ia buru-buru mengambil sebuah ranting gugur di depan rumah, lalu dipukulkan ke bo

"S"

Tidak tahu dari mana awalnya dan dimana rimbanya, namun proses ini terasa sangat tidak mudah. Sebuah proses menghasilan karya yang menjadi sebuah prasyarat kelulusan seorang mahasiswa strata satu. Elegi enam SKS yang tak selamanya mempertemukan antara gairah pribadi dengan dunia penelitian. Kadang prosesnya dipenuhi keluh, ada yang pergi ke tukang data, ada yang menyadur hampir sama dengan penelitian sebelumnya, dan ada pula yang merogoh kocek lalu “sim salabim”! Skipsi jadi dalam beberapa minggu tanpa banyak merepotkan jiwa, raga, hati, dan pikiran dari sebuah nama yang tertulis di halaman sampul. Beberapa orang mengernyit setiap hari meratapi model penelitian yang terlampau sulit dan tak dimengerti, teman-temannya mengolok dan berujar “salah sendiri”. Seorang dosen mengatakan sebuah kalimat yang kurang lebih “Kalian pantas untuk menderita, karena kalian baru belajar sedikit saja.” Dalam konteks ilmu, barangkali ia benar. Walau sudah tahu tentang banyak hal yang ilmu pelajari, berba