Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari 2015

Lamunan Jean (Bagian I)

Lorong yang senyap itu mendadak berisik, oleh suara sepatu Jean. Parasnya yang sangat Indonesia timur tampak lelah setelah seharian mengitari kota Malang mencari data. Jadi peneliti bukanlah sesuatu yang dipilih banyak karibnya, namun sebagai wanita –yang relatif muda- dan masih ingin mengejar mimpi idealnya, Jean menjalani perkerjaan ini. Jadi surveyor. Gaji minimum dengan tingkat keletihan maksimum. Entah kenapa ia tetap jalani, meski seringkali dia tidak terlalu menikmatimya. Atau bahkan sama sekali tidak mensyukurinya. Sesampainya di salah satu kamar hotel kelas melati tempatnya menginap, dia memeriksa telepon selular bututnya. Tujuh panggilan tak terjawab dari Jono. Secepat kilat ia tekan tombol “call” ke nomor Jono, tak diangkat. Waktu menunjukkan pukul 23.37, apa daya. Ia rebahkan tubuhnya di kasur beraroma debu. Ada gurat kesedihan di wajah Jean, ia begitu merindukan Jono. Meski bila sedang bersama mereka sering kali tak akur, sesepele urusan bisnis Jono yang tidak kunjung

Dalaila Gisdara

Sebuah frase yang masih membuat saya sedikit geli tiap kali diucapkan, ketika kami ke klinik anak untuk imunisasi misalnya. Sebuah nama lengkap yang 100 persen dibuat oleh ayahnya, semudah mencuplik nama Dalai Lama dan Gusdur. Sejak awal kami berkomitmen untuk membuat nama yang sederhana dan Indonesia banget. Kendatipun demikian masih banyak yang bilang nama ini rumit dan berat. Yasudah, mudahnya panggil saja dia Agis. Agis punya wajah yang manis, entah, sampai sekarang masih dalam perdebatan mirip siapakah bayi ini. Saya suka sekali dengan senyumnya yang menyapa di pagi hari dan setiap malam sepulang saya dari kantor. Saya juga suka sekali dengan tangisnya saat minta minum atau merasa popoknya sudah tidak lagi nyaman. Saya menyukai tiap senti yang ada pada Agis, entah indah atau tidak. Kadang masih tidak percaya bahwa Agis adalah bagian dari saya, bahwa keberadaannya dimulai dari kehidupan saya.  Beberapa minggu setelah melahirkan Agis, saya sempat menga

Berjalan ke Barat di Waktu Pagi Hari

Waktu aku berjalan ke Barat di waktu pagi hari matahari mengikutiku dari belakang Aku berjalan mengikuti bayang-bayangku sendiri yang memanjang di depan Aku dan matahari tidak bertengkar tentang siapa di antara kami yang telah menciptakan bayang-bayang Aku dan bayang-bayang tidak bertengkar tentang siapa di antara kami yang harus berjalan di depan -Sapardi Djoko Damono untuk tidak selalu merasa benar dan harus menang :)

When We Believe

There always be an inconvenient morning when we feel so lazy to move, lazy to work, and forget to think positively. Oftentimes, I disregard much of the morning that filled by true joy, spirit, completed by sunrise and birdsong. Even, they are all there for free! The ups and downs of life never stop revealing their true identity. No need to worry, because Allah has written… So do not become weak (against your enemy), nor be sad, and you will be superior (in victory) if you are indeed (true) believers [Ali Imran-139] … so really, we don’t need to feel anxious, when we believe. Good morning!

Kapan Hilangnya?

Pak polisi di hadapan menanyakan kapan KTP saya hilang. Untunglah setelah beberapa detik berlalu dia tidak melontarkan pertanyaan kedua (dalam prediksi saya), dimana KTP saya hilang. Keduanya adalah pertanyaan kurang berguna bagi siapapun yang kehilangan surat pentingnya. Kehilangan bukanlah hal yang diinginkan siapapun, kehilangan juga bukan hal yang dapat dengan mudah kita tahu kapan dan dimana terjadi. Sekalipun kita merasa sedih karena perginya orang kesayangan, agaknya tetap sulit untuk tahu kapan rasa kehilangan itu bermula. Dan dimana dapat ditemukan hal yang membuat kita tak kehilangan lagi. Di pemakaman, di hadapan foto, atau di hamparan rerumputan halaman rumah tempat kami biasa bermain. Saya tidak akan menemukannya lagi. Bila terpaksa harus dijabarkan waktu yang menjadi batas antara rasa memiliki dan rasa kehilangan –selayaknya bila ditanyai polisi- jawabannya adalah malam hari. Karena setelah bangun di pagi hari kita akan menyadari bahwa yang terjadi bukanlah

Cinta Ideologis

S aya tidak sedang bercerita te n tang sebuah mahzab atau gagasan besar hingga membawa sebuah tulisan dengan embel-embel ideologis. Saya justru sedang ingin bercerita tanpa berpikir dan mengikuti kemana jari-jari ini akan menuntun bola mata. Tentang seseorang yang membuat saya bisa memikirkannya kapan saja. Ia dapat ditemukan di sela lagu-lagu favorit, dalam hembusan angin sore yang teduh, atau bahkan ketika lamunan saya dibangunkan oleh suara ukulele pengamen jalanan. Setiap kali bahagia atau sedih, saya tidak punya pertimbangan apapun untuk mengadu padanya. Walau tanggapannya tak selalu hangat, tetapi tidak pernah kapok untuk membajirinya dengan berbagai cerita panjang. Setiap harinya. Pada Rabu lalu saat membuka file chat history BBM beberapa tahun ke belakang, saya makin menyadari kedermawanannya. Dukungan, candaan, dan nasihat harian tulus yang sudah ada disana sejak saya masih egois dalam mencintainya.  Memori pun berputar mundur mengingat indahnya saat-

Untitled

Sudah sekitar tiga bulan ini saya kembali tinggal bersama orang tua –pasca pindah ke apartemen bersama suami-. Usia kehamilan yang muda membuat saya tidak sekuat dulu lagi untuk berdesakan di kereta listrik setiap pagi dan sore, sedangkan pergi ke kantor dengan kendaraan pribadi dari apartemen di Kalibata sungguhlah buang waktu. Selain itu, Riski cukup intens bepergian keluar kota sehingga cukup nelangsa rasanya saat muntah di pagi hari saya harus menolong diri sendiri untuk menegakkan kepala dari wastafel. Kurang lebih tiga bulan saat itu saya tinggal berdua dengan Riski di sebuah ruangan 30 meter persegi dengan segala benda mini di dalamnya. Sebentar sekali ya, lha wong menikah saja baru tujuh bulan.  Enak juga rasanya pindah ke rumah orang tua lagi, setiap harinya bisa lebih fokus berjibaku dengan urusan kantor, yayasan, main sama teman, baca buku, dan merenungkan ide buka usaha –yang tidak dapat dilakukan secara bersamaan kala tinggal di apartemen-. Bagaimana tida