Sebuah frase yang masih membuat saya sedikit geli tiap kali
diucapkan, ketika kami ke klinik anak untuk imunisasi misalnya. Sebuah nama
lengkap yang 100 persen dibuat oleh ayahnya, semudah mencuplik nama Dalai Lama
dan Gusdur. Sejak awal kami berkomitmen untuk membuat nama yang sederhana dan
Indonesia banget. Kendatipun demikian masih banyak yang bilang nama ini rumit
dan berat. Yasudah, mudahnya panggil saja dia Agis.
Agis punya wajah yang manis, entah, sampai sekarang masih
dalam perdebatan mirip siapakah bayi ini. Saya suka sekali dengan senyumnya
yang menyapa di pagi hari dan setiap malam sepulang saya dari kantor. Saya juga
suka sekali dengan tangisnya saat minta minum atau merasa popoknya sudah tidak
lagi nyaman. Saya menyukai tiap senti yang ada pada Agis, entah indah atau
tidak.
Kadang masih tidak percaya bahwa Agis adalah bagian dari
saya, bahwa keberadaannya dimulai dari kehidupan saya.
Beberapa minggu setelah melahirkan Agis, saya sempat
mengalami baby blues yang cukup menyita energi. Kelelahan yang sudah memuncak,
kekhawatiran yang berlebihan, dan rasa sakit yang belum juga pulih: jadi satu. Sampai
ada satu titik ketika saya ingin bangkit untuk tidak lagi bersedih. Saat itu saya
memperhatikan Agis yang masih sangat lemah mencari minumnya dengan amat
tergopoh-gopoh, matanya belum sepenuhnya bisa melihat, tapi dia terus mencari
sambil membuka mulutnya menengok ke kanan dan kiri. Sebelum menyusui saya
selalu bilang ke Agis, “ayo buka mulutnya dulu yang lebar”, dan Agis
melakukannya. Entah dia melakukan itu secara refleks atau karena diarahkan
ibunya. Setelah itu saya sedikit menengok ke belakang, saat Agis masih di dalam
kandungan. Dia terus kuat meski saya sering begadang mengerjakan laporan dan
penelitian, membawa koper yang cukup berat dari stasiun ke stasiun di Osaka,
naik kereta belasan jam pulang dan pergi Jakarta-Jogja, dan berbagai perjuangan
lain. Janin Agis saat itu selalu memberikan kabar baik setiap kami intip di
dokter obsgyn. Saya sangat mensyukuri itu semua, dan ketabahan Agis akhirnya
yang menjadi penawar bagi saya. Kalau Agis kuat, ibunya harus lebih kuat. Saya tidak
mau Agis melihat role modelnya sebagai seorang yang lemah dan mudah putus asa.
Saat ini Agis sudah hampir memasuki usia empat bulan, ia
mulai dapat berinteraksi dan berguling-guling di atas kasur. Cukup sedih untuk
menyadari bahwa di usianya yang sedang sangat menggemaskan ini saya justru
sedang amat sibuk dengan pekerjaan dan rencana melanjutkan studi. Seringkali saya
masih berpakaian kantor sambil menyusuinya sampai larut dan mencuri waktu di
akhir pekan untuk mengerjakan sesuatu di cafĂ© –meninggalkan Agis di rumah. Saya
tidak pernah membayangkan menjalani hidup seperti ini.
Selayaknya wanita lain,
saya membayangkan bisa seharian bersama anak dan melihat setiap detik perkembangannya.
Satu hal yang selalu cukup menghibur adalah sebuah keyakinan bahwa apapun
ikhtiar yang sedang saya lakukan sebagian besar adalah untuknya. Setiap bersama
Agis, saya selalu berusaha mengurus sendiri segala kebutuhannya, tidak akan
saya biarkan dia kehilangan sosok ibu yang hangat dan perhatian. Selelah apapun.
Dalaila Gisdara, frase yang untuknya saya mau berkorban apa
saja. Saya berjanji pada diri sendiri tidak akan menuntut banyak darinya. Tidak
harus jadi profesor, kuliah akuntansi, atau selalu juara kelas. Agis boleh jadi
pemain piano, jadi pengrajin tanah liat, atau melatih petani. Hanya berharap
dia selalu hidup damai dan penuh toleransi di jalan Allah.
Komentar
Posting Komentar