Langsung ke konten utama

Dalaila Gisdara

Sebuah frase yang masih membuat saya sedikit geli tiap kali diucapkan, ketika kami ke klinik anak untuk imunisasi misalnya. Sebuah nama lengkap yang 100 persen dibuat oleh ayahnya, semudah mencuplik nama Dalai Lama dan Gusdur. Sejak awal kami berkomitmen untuk membuat nama yang sederhana dan Indonesia banget. Kendatipun demikian masih banyak yang bilang nama ini rumit dan berat. Yasudah, mudahnya panggil saja dia Agis.




Agis punya wajah yang manis, entah, sampai sekarang masih dalam perdebatan mirip siapakah bayi ini. Saya suka sekali dengan senyumnya yang menyapa di pagi hari dan setiap malam sepulang saya dari kantor. Saya juga suka sekali dengan tangisnya saat minta minum atau merasa popoknya sudah tidak lagi nyaman. Saya menyukai tiap senti yang ada pada Agis, entah indah atau tidak.

Kadang masih tidak percaya bahwa Agis adalah bagian dari saya, bahwa keberadaannya dimulai dari kehidupan saya. 

Beberapa minggu setelah melahirkan Agis, saya sempat mengalami baby blues yang cukup menyita energi. Kelelahan yang sudah memuncak, kekhawatiran yang berlebihan, dan rasa sakit yang belum juga pulih: jadi satu. Sampai ada satu titik ketika saya ingin bangkit untuk tidak lagi bersedih. Saat itu saya memperhatikan Agis yang masih sangat lemah mencari minumnya dengan amat tergopoh-gopoh, matanya belum sepenuhnya bisa melihat, tapi dia terus mencari sambil membuka mulutnya menengok ke kanan dan kiri. Sebelum menyusui saya selalu bilang ke Agis, “ayo buka mulutnya dulu yang lebar”, dan Agis melakukannya. Entah dia melakukan itu secara refleks atau karena diarahkan ibunya. Setelah itu saya sedikit menengok ke belakang, saat Agis masih di dalam kandungan. Dia terus kuat meski saya sering begadang mengerjakan laporan dan penelitian, membawa koper yang cukup berat dari stasiun ke stasiun di Osaka, naik kereta belasan jam pulang dan pergi Jakarta-Jogja, dan berbagai perjuangan lain. Janin Agis saat itu selalu memberikan kabar baik setiap kami intip di dokter obsgyn. Saya sangat mensyukuri itu semua, dan ketabahan Agis akhirnya yang menjadi penawar bagi saya. Kalau Agis kuat, ibunya harus lebih kuat. Saya tidak mau Agis melihat role modelnya sebagai seorang yang lemah dan mudah putus asa.

Saat ini Agis sudah hampir memasuki usia empat bulan, ia mulai dapat berinteraksi dan berguling-guling di atas kasur. Cukup sedih untuk menyadari bahwa di usianya yang sedang sangat menggemaskan ini saya justru sedang amat sibuk dengan pekerjaan dan rencana melanjutkan studi. Seringkali saya masih berpakaian kantor sambil menyusuinya sampai larut dan mencuri waktu di akhir pekan untuk mengerjakan sesuatu di cafĂ© –meninggalkan Agis di rumah. Saya tidak pernah membayangkan menjalani hidup seperti ini. 

Selayaknya wanita lain, saya membayangkan bisa seharian bersama anak dan melihat setiap detik perkembangannya. Satu hal yang selalu cukup menghibur adalah sebuah keyakinan bahwa apapun ikhtiar yang sedang saya lakukan sebagian besar adalah untuknya. Setiap bersama Agis, saya selalu berusaha mengurus sendiri segala kebutuhannya, tidak akan saya biarkan dia kehilangan sosok ibu yang hangat dan perhatian. Selelah apapun.

Dalaila Gisdara, frase yang untuknya saya mau berkorban apa saja. Saya berjanji pada diri sendiri tidak akan menuntut banyak darinya. Tidak harus jadi profesor, kuliah akuntansi, atau selalu juara kelas. Agis boleh jadi pemain piano, jadi pengrajin tanah liat, atau melatih petani. Hanya berharap dia selalu hidup damai dan penuh toleransi di jalan Allah.
 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dalam Upacara Perpisahanku

Malam itu puluhan orang berkumpul, di ruang yang tak punya tembok, atap, lantai, maupun jendela Mereka tidak masuk lewat pintu, tetapi dari sesuatu bernama tautan   Sambutan demi sambutan, cerita indah hingga sedih, saut menyaut Ingin rasanya aku menanggapi tiap kisah yang mereka lontarkan Misalnya, ketika ada yang bilang aku orang yang tegar -- padahal tidak jarang aku mengeluh dan menangis diam-diam Atau.. Ketika ada yang mengatakan masih punya utang janji padaku, rasanya ingin kutagih tunai malam itu juga   Tapi apa, aku tak ada..  Di daftar nama peserta itu, namaku tak nampak Di layar itu, fotoku tak terlihat Ternyata begini rasanya bisa menyembunyikan tawa dan tangis tanpa harus menutup  microphone  atau kamera -- yang biasa aku lakukan beberapa bulan ini, setiap hari   Dalam upacara tersebut, tidak ada lagi kesal.. Tak ada lagi benci.. Tuntas sudah yang belum selesai Yang ada hanya rasa sayang, rasa syukur aku pernah bertemu mereka dan mencipta banyak...

Jalan Kesana

Kata mama saya, sejak dulu anaknya ini terobsesi dengan Inggris. Asumsi yang didasari oleh hobi masa kecil saya mengumpulkan post card gratisan dari majalah Bobo. Salah satu favorit saya waktu itu yang bergambar Princess Diana. Gak paham lagi, dia anggun banget dan berjiwa sosial, super ngefans! Waktu kecil belum paham tentang skandal percintaannya, jadi tiada celah baginya wkwk. Lalu suatu hari saya pasang post card tersebut di album foto, di sebelah gambar saya lagi tiup lilin ulang tahun ke-5. Kayaknya random aja waktu itu, bukan ala ala sikap yang penting untuk dikenang bertahun-tahun kemudian. Saya sendiri lupa sama sekali kejadian itu. Dan ingin ke London karena entah kenapa saya penasaran sama Inggris, belum pernah kesana, dan negara itu tampak sangat unik. Banyak musikus yang karyanya saya nikmati berasal dari Inggris, seperti The Beatles, Elton John, Sting, Coldplay. Saya selalu yakin nuansa sebuah kota berpengaruh terhadap jiwa seni warganya, semacam Jogja atau Ba...