Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Juni, 2010

Jarak, Ku Titipkan Rinduku..

Sejak kecil, aku tinggal berjarak dengan ayah. Hanya bertemu beberapa hari, lalu ia pergi lagi. Datang dengan sekantong penuh roti, lalu ia pergi lagi. Padahal roti itu belum habis ku makan. Yang aku bilang tadi memang hanya tentang roti, sebuah benda mati. Tapi rasanya jadi berbeda dengan ada atau ketiadaan ayah. Aku tak ingat lapar, tak ingat memilikinya, saat ayah ada. Tapi saat ayah pergi, roti lahap ku makan karena ku ingin merasakan, bahwa ayah yang telah membelinya. Membawa benda itu, dari toko ke rumah ini. Yang sungguh berjarak. Maka aku ingin merasakan sisa ruhnya yang masih tinggal. Siang itu ayah datang, membawa bahagia ke dalam rumah. Melontarkan candaan tak lucu, namun ku tertawa. Mengernyit seram saat ku buat kesal, namun semakin aku menyayanginya. Mendengkur keras saat tertidur di tengah pertandingan bola kesukaannya, namun membuatku tenang. Kini, hanya dapat aku lihat, ada gambarnya, ada roti yang ia beli. Di rumah yang sama, dimana biasa ia bawa pulang kebahagiaan di

Guru

Guru yang baik tidak pernah menyadari betapa muridnya telah banyak lebih memahami dari apa-apa yang ia beri. Guru yang baik dengan diamnya saja, tidak bertanya apa-apa malah membuat otak muridnya bekerja lebih berat, mencari jawaban lebih cepat. Namun guru pun manusia, berhak dan wajar melewati apapun yang diajarkan saat merasakan makna dari ajarannya pada dirinya sendiri. Esensi guru itu adalah kemauan dia memberi apa yang dia punya bahkan dengan diam saja. *cuplikan dari perbincangan di pagi hari bersama seorang sahabat terkasih Lantas, siapakah guru itu.. Apakah hanya mereka yang sudah dapat sertifikasi dan berseragam coklat, ataukah hanya mereka yang dapat julukan pahlawan tanpa tanda jasa, Perlu untuk sadar bahwa kehidupan tak berhenti belajar. Tak cukup dengan taman kanak-kanak, sekolah dasar sampai menengah atas, dan strata 1 sampai 3. Profesor pun tetap belajar. Di hari libur kita masih belajar. Tanpa ujian akhir semester, kita pun punya ujian lain yang penilaiannya tanpa kerta

Aldiena

Kita bertemu, sejenak menyapa Merapat, tertawa berbisik.. Enam tahun sudah, sejak kita berkenalan malu-malu Diawali perbincangan tak esensial.. Aku miliknya, dan kau milik seseorang Entah mengapa, walau seharusnya tidak, kita menjauh Kadang aku menyapa, kamu tersenyum, Tapi tetap kosong Karena kita terpisah jurang yang tak tampak, Tertutup kabut senja Di dalam hati aku sedang terluka, melirik sibuk mencari uluran tangan Di saat yang sama ku melihatmu, mata yang bergerak sama sibuknya Bingo! Kita dalam kekalutan yang sama Tak seperti biasanya, Dimana ada dentuman semangat feminisme, Nafas emansipasi Kita berdiri tegak layaknya karang Pantang menengok masa lalu Tak seperti biasanya, Peluh pun tak halangi kita berlari Kelelahan sudah jadi teman minum kopi Kita luluh oleh luka yang dalam.. Remuk rapuh, jatuh memanja melas Dan aku bercerita, curahan hati sahabat Semua tumpah.. Tak ada lagi senyum arogan, Tiada lagi tatapan sungkan, Aku makin mengenalmu yang bersih hatinya.. Sekarang, di saa

Bom Waktu

Ini semua seperti kematian Yang tak ku tahu kapan akan datang Hanya ku tahu kepastian datangnya Ini semua bagaikan hujan tanpa mendung Tsunami tanpa guncangan Hingga ku tak tahu segera ia tiba Atau mungkin aku tahu Karena ia bom waktu Andai ku tahu kedatangannya Andai dapat ku terka ia mendekat Maka akan kulakukan semua yang ku suka denganmu kemarin Pergi ke bukit bersinar Mendengar lagu indah Berjalan ke kota impian Bila hanya sehari pun waktuku Maka akan kuhabiskan seluruhnya Sehingga takkan ku menyesal Terlambat sudah, karena ia telah datang Jogjakarta, 7 Juni 2010 Di tempat yang ingin ku ajak kau kemari Teruntuk batu besar,

Masih ada kereta, Rahmia..

Aku duduk di kursi peron 11 Pipiku masih merah bekas kena tampar Penjaga stasiun lelah dengan tingkahku Lima jam lalu ku membeli sebuah tiket menuju kota lama di timur kota Di sana ada pertunjukan sirkus ternama, dan aku ingin menyaksikannya Di kursi yang sama aku membaca selebaran kota hijau di barat daya, Di sana ada seniman puisi kondang, aku cinta puisi.. Kutukarkan lembaran tiket itu, Seorang pria menyambarnya, ujarnya kota itu tak terima perantau dari utara Ku ragu, Kutukarkan lagi tiketku pada yang semula Petugas stasiun memandang murka, namun kali ini ku yakin Tak lama, di sampingku duduk ibu tua.. Dia orang timur, dengan arogan menceritakan anak sulungnya jadi tuan tanah sekaligus pengelola sirkus ternama itu Sumpah ku mual, Aku melangkah kecil mengintip apakah masih ada tiket ke kota barat daya Mengintip di sela lubang tangan pembeli dan koin uang Lalu tersenyum pada penjaga, dia bukan si murka tadi Aku beramah tamah mengatakan ingin beli tiket ke barat daya Menanyakan berapa