Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari 2014

Mengingatmu

Aku mengingatmu, di sela suara hak sepatu para pekerja wanita yang berangkat pagi Ketika kau menyiapkanku sarapan Aku mengingatmu, di siang seperti saat pulang sekolah Ketika kau menyambutku di rumah yang teduh Aku mengingatmu, saat malam membawa gelap Ketika kau menemaniku di samping meja belajar Aku mengingatmu, di setiap lari dan lompatan Ketika kau mengiringi langkah-langkah pertamaku dan selanjutnya Aku mengingatmu, di dalam sakit dan pulih Ketika kau tak jemu memberikanku segelas jus buah setiap pagi Aku mengingatmu, setiap waktu Tak hanya di hari ibu, Ibuku… Kebon Sirih, 22 Desember 2014

Batik Cumi

Beberapa minggu lalu Ninda menanyakan alamat rumah dan tanpa timbul kecurigaan aku langsung membalasnya secepat kilat. Sempat beberapa hari tertunda melihat sebuah paket dari Balikpapan karena tak lagi tinggal di rumah orang tua, sampai akhirnya berhasil menemukan kain biru dengan secarik surat cintanya.  Batik cumi dari Ninda. Mataku langsung berbinar, spontan memotret penampakan kado itu, bikin sketch model baju yang mau dibuat beberapa menit setelahnya, dan menempelkan surat dari Ninda di kulkas. Sebuah rencana untuk posting foto batik cumi di instagram kuurungkan. Sebuah tulisan rasanya lebih setimpal. Banyak waktu dimana aku membayangkan apa yang sedang Ninda lakukan di Kalimantan sana. Aku mengenalnya sangat dekat saat kuliah, diawali di Bilik Equilibrium dan menjadi makin seperti perangko dan amplop yang diberi lem saat menjalani KKN di Papua tiga tahun lalu. Di waktu-waktu itu aku merasa bisa melihat dan mengkonfirmasi tentang cerita kesehariannya tiap waktu.

Bapak

Pagi ini berbeda dari biasanya, aku pergi ke kantor bersama Bapak. Obrolan tak terlalu santai mengalir menyenangkan, tentang yang sedang sering kita dengar dan baca di banyak tempat, kabinet baru. Bapak bukan orang yang sering muncul di hadapan publik sebagai seseorang karena sangat berpengaruh atas pembentukan kabinet atau salah satu nama yang digadang-gadangkan, tetapi dia tahu banyak tentang   hal yang tidak dapat disampaikan media. Ada gurat kecewa di sebagian besar komentarnya, aku pikir beberapa argumen di balik itu memang logis. Hal bernama kekecewaan tidak ia rasakan sendirian, ketika seorang koleganya harus pulang dari istana sore itu dengan kemeja putih, tanpa sempat berlari kecil saat dipanggil presiden. Kekecewaan juga dirasakan mereka yang telah berekspektasi punya pemimpin baru yang mumpuni namun yang datang justru jenis lainnya. Sedangkan aku, rasanya tak punya satu alasan pun untuk kecewa. Sebaliknya, aku punya satu alasan yang sudah lebih dari cukup untuk

Ekonomi di Atas Kereta Listrik

Apa yang dikatakan gerbong-gerbong kereta listrik Jakarta sore? Mereka berbisik tentang kuli bangunan yang mual melihat tanggalan. Akhir bulan dompetnya mulai cekak, anak-anaknya meraung minta uang jajan dinaikan. Mereka tidak tahu sesuatu terjadi pada uang Bapaknya, uang yang bentuknya tak berubah tetapi nilainya terus berkurang. Apa yang dikatakan gerbong-gerbong kereta listrik Jakarta sore? Mereka bercerita tentang seorang wanita berblazer hitam di dekat pintu. Dengan gincu merah ia tampil menawan, jarinya ketak-ketik ponsel tiada henti. Sejenak matanya bertahan di sebuah foto yang diunggah temannya di path, pamer habis pergi ke Yunani. Si perempuan pun iri, dia risau akan destinasi liburannya yang jauh “tertinggal”. Foto itu membuatnya putar otak untuk mencapai destinasi yang bakal lebih mengundang decak kagum, walau harus kuras kocek sekalipun. Apa yang dikatakan gerbong-gerbong kereta listrik Jakarta sore? Mereka sampaikan tentang karyawan yang sudah s

Cita-Cita

Banyak sekali perubahan cita-cita yang telah terjadi dalam hidupku, cita-cita masa TK yang berubah menjadi cita-cita masa SD, dan seterusnya hingga tamat kuliah. Begitu seterusnya selayaknya waktu yang bergulir, saat ini bahkan cita-cita dapat berubah dalam hitungan minggu bahkan hari. Tidak jarang aku merasa membanding-bandingkan diriku dengan orang lain yang kukira akan punya jalan hidup yang sama, sehingga perubahan cita-cita pun terjadi. Kenyataannya, kakak adik sekalipun seringkali punya jalan hidup yang berbeda, akhirnya aku membebaskan diri dari kegiatan membanding-bandingkan. Di titik itu rasanya lebih bebas, lebih mudah, dan lebih bahagia. Segalanya. Masih berbicara tentang cita-cita, beberapa tahun lalu aku merasa cita-cita merupakan suatu hal yang harus diteriakan secara repetitif. Seolah semua orang harus tahu semangat apa yang ada dalam tujuan hidupku. Sampai aku sadar bahwa aku bukan Bung Karno yang punya semangat marhaenisme, yang punya semangat patriotik untuk