Pagi ini berbeda dari biasanya, aku
pergi ke kantor bersama Bapak. Obrolan tak terlalu santai mengalir
menyenangkan, tentang yang sedang sering kita dengar dan baca di banyak tempat,
kabinet baru. Bapak bukan orang yang sering muncul di hadapan publik sebagai
seseorang karena sangat berpengaruh atas pembentukan kabinet atau salah satu
nama yang digadang-gadangkan, tetapi dia tahu banyak tentang hal yang tidak dapat disampaikan media. Ada gurat
kecewa di sebagian besar komentarnya, aku pikir beberapa argumen di balik itu
memang logis.
Hal bernama kekecewaan tidak ia
rasakan sendirian, ketika seorang koleganya harus pulang dari istana sore itu
dengan kemeja putih, tanpa sempat berlari kecil saat dipanggil presiden. Kekecewaan
juga dirasakan mereka yang telah berekspektasi punya pemimpin baru yang mumpuni
namun yang datang justru jenis lainnya.
Sedangkan aku, rasanya tak punya
satu alasan pun untuk kecewa. Sebaliknya, aku punya satu alasan yang sudah
lebih dari cukup untuk membuat hati ini merasa legowo. Aku sudah berekspektasi bahwa kabinet tidak akan terisi
dengan semua orang yang kuharapkan ada di dalamnya, terlepas dari mampu atau
tidak mampu sang menteri. Toh, kita seringkali beranggapan yang layak
adalah yang kita sukai, bukan melulu yang terbaik.
Kembali ke perbincangan bersama
Bapak, aku merasa sangat dihargai setiap kali kami bicara tentang negara atau
politik. Bapak mendengarkan apapun argumenku dengan baik dan menanggapinya
dengan penuh rasa hormat walau terkadang pendapat itu terasa dangkal. Bagiku
satu dari banyak hal yang sangat sulit dilakukan adalah menundukan ego untuk
menghargai pendapat orang lain di saat kita merasa tahu segalanya. Bapak selalu
berhasil melakukan itu untukku.
Berbicara tentang kekecewaan, aku
rasa Bapak sudah menamatkannya. Ia pernah dijegal rekan kerjanya, ia pernah
gagal masuk parlemen, ia pernah pula merasakan sedihnya harus “turun tangga”
jabatan. Hal-hal itu tidak membuatnya karam. Ia tegak berdiri saat ini,
memegang amanah yang tidak banyak orang lihat tetapi amat terhormat. Menjelang usia
pensiunnya, tidak ada kecemasan kulihat dari wajahnya. Anak-anaknya sudah dapat
mengurusi hidup mereka sendiri dan ia akan selalu pulang sebagai penulis yang tak
kenal kata berhenti bekerja.
Pagi ini kudapati lagi Bapak
bertemu dengan kekecewaan yang telah lama ia tinggalkan. Sama halnya tahun lalu
dan beberapa waktu silam, kuisyaratkan padanya bahwa tak ada sesuatupun yang
pantas membuatnya merasa gagal atau menyalahkan keadaan. Bapak hanya perlu membuka
kembali jurnal hidupnya untuk menemukan banyak bekas jejaknya yang tak memudar
dan telah sangat berperan bagi banyak orang.
Kebon Sirih, 28 Oktober 2014
Komentar
Posting Komentar