Langsung ke konten utama

Jalan Kesana


Kata mama saya, sejak dulu anaknya ini terobsesi dengan Inggris. Asumsi yang didasari oleh hobi masa kecil saya mengumpulkan post card gratisan dari majalah Bobo. Salah satu favorit saya waktu itu yang bergambar Princess Diana. Gak paham lagi, dia anggun banget dan berjiwa sosial, super ngefans! Waktu kecil belum paham tentang skandal percintaannya, jadi tiada celah baginya wkwk. Lalu suatu hari saya pasang post card tersebut di album foto, di sebelah gambar saya lagi tiup lilin ulang tahun ke-5. Kayaknya random aja waktu itu, bukan ala ala sikap yang penting untuk dikenang bertahun-tahun kemudian.

Saya sendiri lupa sama sekali kejadian itu. Dan ingin ke London karena entah kenapa saya penasaran sama Inggris, belum pernah kesana, dan negara itu tampak sangat unik. Banyak musikus yang karyanya saya nikmati berasal dari Inggris, seperti The Beatles, Elton John, Sting, Coldplay. Saya selalu yakin nuansa sebuah kota berpengaruh terhadap jiwa seni warganya, semacam Jogja atau Bandung. Ditambah, dahulu kala saya suka sekali sama bangunan tua, yang tentunya mudah ditemui di sembarang sudut di London.

Di atas segalanya, saya ingin ke London karena LSE. Sekolah ini mungkin tidak lazim di telinga banyak orang, seperti kampus top macam Oxford dan Cambridge. Namun ketika menemukannya, saya cinta mati! Pertama tahu LSE dari artikel tentang daftar sekolah ilmu sosial top dunia, lalu pas cari-cari referensi kampus untuk master saya lihat satu-satunya program yang sesuai dengan minat saya ada di LSE. SATU-SATUNYA.

Sebagai pelengkap, cerita sedikit tentang jurusan saya di LSE. Namanya Accounting, Organisations, and Institutions (AOI). Beberapa teman saya lebih suka menjawab "accounting" saja kalau ditanya kuliah jurusan apa, karena nama tersebut cukup panjang lebar dan sebelum mulai kuliah kami juga kurang paham apa maksud AOI ini. Cinta mati kok gak tau sih, Bu! Hahaha. Dari dulu memang saya bukan tipe anak akuntansi sejati yang suka stream finance atau financial market. Saya lebih suka akuntansi manajemen atau tata kelola. Bahkan skripsi saya masuk ranah behavioral accounting yang ketika dijelaskan ke papa saya, beliau sampai bertanya, "Ini kamu sebetulnya kuliah akuntansi atau psikologi? Harusnya kan angka-angka." Saya bukannya anti angka, tetapi ketertarikan saya lebih kepada penjelasan di balik angka dan relevansi atas angka itu bagi penggunanya. Dan AOI ini memang banyak mendalami hal-hal filosofis dan rentetan peristiwa di balik akuntansi. Makanya, cinta!

Meskipun saya sesuka itu sama LSE, tidak banyak orang yang tahu saya mau kesana. Disclaimer, saya bukan mahasiswa straight A semasa S1, cerdas banget juga engga, kerjaan bukan yang mega hits; bahasa Inggris juga standar. Waktu itu pokoknya modal semangat, pengen banget nambah pinter, sama udah bikin timeline hidup yang cukup rigid. jadi malu banget kalau cerita mau masuk LSE. Sempet mikir, kayaknya hanya teman-teman lulusan terbaik yang bisa masuk ke sekolah ini. Maka dari itu, sebetulnya saya sudah mendaftar juga di kampus lain yang lebih realistis untuk bisa menerima diri ini apa adanya. Namun, tidak ada yang programnya membuat saya benar-benar suka, jadi diam-diam saya masih bermimpi masuk LSE.

Pertama kali daftar LSE tahun 2016 awal, sekitar tiga bulan menanti jawaban. Dan, hampir seperti dugaan di awal, saya ditolak. Waktu itu saya tidak terlalu sedih karena di saat yang bersamaan bisa masuk ke universitas alternatif yang sudah saya pilih plus diberi rezeki untuk mendapatkan sponsor. Namun, ada alasan penting yang membuat saya harus menunda keberangkatan, jiwa ini pun terpantik untuk 'kali kedua' mencoba LSE. Kali ini persiapannya jauh lebih 'ngamuk', saya mencoba  memperbaiki nilai IELTS, belajar GMAT untuk 'mendongkrak' reputasi pencapaian akademik di masa lampau, dan tiada henti memperjelas sekaligus mempercantik personal statement. Tentu, itu semua bukan pekerjaan satu malam, atau satu minggu, atau bahkan satu bulan. Kalau diingat-ingat proses itu sungguh berdarah-darah, menguras kebahagiaan, pergaulan, dan tentunya, kocek (les dan tes IELTS dan kroniknya mahal banget buat saya).

Dokumentasi belajar GMAT 20 Oktober 2016 (tak terhitung
 kalori dari cemilan di tubuh saya selama proses ini).

Tapi ya sudah, namanya juga cita-cita, walaupun belum tahu kemana ujungnya dan hasilnya, waktu itu saya berusaha semangat. Walaupun sering surut, sering mau udahan aja. Apalagi di sekeliling banyak orang yang mendapat hal-hal yang saya impikan dengan mudah. Kadang saya merasa, "Apa ini bukan jalanku? Apakah ini pertanda dari Allah." Namun rasa penasaran dan keinginan menyelesaikan ini sampai akhir selalu jadi pemenang. Coba sekali lagi, kalau enggak terima ya udah.

La la la ye ye ye, jauh sebelum dapat pengumuman dari LSE, saya sudah utarakan ke pihak sponsor niat untuk pindah kampus. Disclaimer lagi, karena merasa amat tidak percaya diri, saya menuliskan nama kampus lain yang lebih realistis sebagai kampus tujuan. Karena banyak sekali proses perpindahan kampus di lembaga sponsor tersebut, pengajuan saya ditolak. Entah berapa bulan saya mencoba berkorespondensi untuk meyakinkan bahwa perpindahan ini adalah logis dan untuk kebaikan, namun tetap ditolak. Sampai suatu hari saya sudah resmi menyerah, dan suatu malam ngobrol sama sahabat yang juga sedang menyiapkan sekolah. Topiknya: jangan ulangi kesalahanku, tulis kampus yang kamu benar-benar mau. Harus yakin! Saat itu saya mencoba untuk tidak lagi berlarut-larut, toh kemungkinan tembus LSE kecil sekali. Ketika jalan pulang dari ngobrol malam itu, masuklah email. Dari LSE. "Congratulations!" kadi kata pembukanya. Beberapa hari setelahnya email itu saya buka berkali-kali dalam sehari. Bagi sebagian orang, masuk LSE mungkin biasa saja. Tapi buat saya, ini sebuah berkah luar biasa.

Senang dan sedih di malam itu dan beberapa bulan setelahnya. Sekalipun bisa diterima, saya merasa mustahil bisa kesana. Tidak terhitung berapa surat yang saya layangkan untuk dapat pindah kampus ke sponsor. Untuk mencari sponsor lain waktunya sudah mepet. Dan saya tidak mungkin berangkat tanpa sponsor. Kalo diingat, sedih sekali masa-masa itu. Sampe saya suka kebangun malem-malem, terus nangis. Tidak ada yang sesedih cita-cita yang tak sampai, dan rasanya sudah tinggal selangkah lagi lalu harus berhenti. Namun, saya diyakinkan bahwa ini sudah skenario yang terbaik dari Allah dan memutuskan untu 'move on' dan mulai menata hidup ke kampus lain yang juga baik. Mulai cari akomodasi, gabung grup kota tempat kampus, dan sebagainya.

Tapi, hati saya masih terusik. Dengan bekal semangat "Ya namanya usaha, kalo tetep gak bisa juga gak rugi apa-apa", saya mencoba cara apapun yang bisa ditempuh untuk pindah. Sampai pada suatu hari, 5 Mei 2017, keajaiban terjadi. Saya diperkenankan sekolah di LSE oleh sponsor. Ini mukjizat.

Akhirnya, saya punya kesempatan untuk ke London. Banyak sekali pelajaran yang saya petik di saat itu, salah satunya tidak ada yang tak mungkin bila Allah sudah berkehendak. Hal yang semua orang juga pasti tahu, tetapi pengalaman seperti inilah yang bisa benar-benar menyadarkan saya. Tentunya, jalan yang mungkin itu harus diperjuangkan, dan perjuangan itu harus diisi dengan keyakinan. Saya kira jalan menuju London yang penuh drama telah berakhir ketika kepastian ke LSE sudah ada di tangan. Ternyata, itu baru awal, dari perjuangan lain yang jauh lebih menantang. Ceritanya menyusul di buah tangah berikutnya :)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dalam Upacara Perpisahanku

Malam itu puluhan orang berkumpul, di ruang yang tak punya tembok, atap, lantai, maupun jendela Mereka tidak masuk lewat pintu, tetapi dari sesuatu bernama tautan   Sambutan demi sambutan, cerita indah hingga sedih, saut menyaut Ingin rasanya aku menanggapi tiap kisah yang mereka lontarkan Misalnya, ketika ada yang bilang aku orang yang tegar -- padahal tidak jarang aku mengeluh dan menangis diam-diam Atau.. Ketika ada yang mengatakan masih punya utang janji padaku, rasanya ingin kutagih tunai malam itu juga   Tapi apa, aku tak ada..  Di daftar nama peserta itu, namaku tak nampak Di layar itu, fotoku tak terlihat Ternyata begini rasanya bisa menyembunyikan tawa dan tangis tanpa harus menutup  microphone  atau kamera -- yang biasa aku lakukan beberapa bulan ini, setiap hari   Dalam upacara tersebut, tidak ada lagi kesal.. Tak ada lagi benci.. Tuntas sudah yang belum selesai Yang ada hanya rasa sayang, rasa syukur aku pernah bertemu mereka dan mencipta banyak...

Dalaila Gisdara

Sebuah frase yang masih membuat saya sedikit geli tiap kali diucapkan, ketika kami ke klinik anak untuk imunisasi misalnya. Sebuah nama lengkap yang 100 persen dibuat oleh ayahnya, semudah mencuplik nama Dalai Lama dan Gusdur. Sejak awal kami berkomitmen untuk membuat nama yang sederhana dan Indonesia banget. Kendatipun demikian masih banyak yang bilang nama ini rumit dan berat. Yasudah, mudahnya panggil saja dia Agis. Agis punya wajah yang manis, entah, sampai sekarang masih dalam perdebatan mirip siapakah bayi ini. Saya suka sekali dengan senyumnya yang menyapa di pagi hari dan setiap malam sepulang saya dari kantor. Saya juga suka sekali dengan tangisnya saat minta minum atau merasa popoknya sudah tidak lagi nyaman. Saya menyukai tiap senti yang ada pada Agis, entah indah atau tidak. Kadang masih tidak percaya bahwa Agis adalah bagian dari saya, bahwa keberadaannya dimulai dari kehidupan saya.  Beberapa minggu setelah melahirkan Agis, saya sempat m...