Banyak sekali perubahan cita-cita
yang telah terjadi dalam hidupku, cita-cita masa TK yang berubah menjadi
cita-cita masa SD, dan seterusnya hingga tamat kuliah. Begitu seterusnya
selayaknya waktu yang bergulir, saat ini bahkan cita-cita dapat berubah dalam
hitungan minggu bahkan hari. Tidak jarang aku merasa membanding-bandingkan
diriku dengan orang lain yang kukira akan punya jalan hidup yang sama, sehingga
perubahan cita-cita pun terjadi. Kenyataannya, kakak adik sekalipun seringkali
punya jalan hidup yang berbeda, akhirnya aku membebaskan diri dari kegiatan
membanding-bandingkan. Di titik itu rasanya lebih bebas, lebih mudah, dan lebih
bahagia. Segalanya.
Masih berbicara tentang
cita-cita, beberapa tahun lalu aku merasa cita-cita merupakan suatu hal yang
harus diteriakan secara repetitif. Seolah semua orang harus tahu semangat apa
yang ada dalam tujuan hidupku. Sampai aku sadar bahwa aku bukan Bung Karno yang
punya semangat marhaenisme, yang punya semangat patriotik untuk memerdekakan
Indonesia. Ternyata sekarang aku lebih menikmati untuk menyimpan cita-citaku
rapat-rapat, kecuali pada orang-orang terdekat. Mereka tidak pernah menanyakan
cita-cita hanya untuk basa-basi.
Kadang aku membayangkan bahwa
perjuangan untuk mencapai cita-cita adalah seperti lari sprint satu kilometer,
dilanjutkan dengan berenang menyeberangi Selat Bali, diteruskan dengan mendaki
Gunung Rinjani dalam dua jam, dan diteruskan dengan lari marathon sampai Papua.
Hal-hal itu belum pernah kulakukan, dan kalaupun benar harus dilakukan,
semuanya hanya diawali dengan selangkah, selangkah, sedayung, sedayung lagi,
dakian kecil, dan dakian kecil terus. Di selanya kita bisa istirahat, di
selanya kita boleh makan, di selanya kita bisa becanda dengan teman. Di ujung
papua sana, setelah kita sampai pada satu cita-cita, cita-cita lain menanti.
Sehingga dari analogi yang
kubayangkan itu, saat ini aku merasa bahwa tidak ada langkah kecil yang tak
perlu. Aku jalan saja, ikuti arah angin dan menikmati udara yang kadang hangat
kadang dingin. Aku berjalan seperti orang kerdil yang melakukan hal
remeh-temeh. Tapi orang kerdil ini berusaha keras menikmati apa yang ia
lakukan, walau kadang tetap tidak nikmat. Jadilah ia orang kerdil paling
beruntung.
Di sebuah siang, di dalam masjid,
seorang ustadz berkata, “ Yang kita cari di dunia ini sebenarnya adalah
ketenangan hidup. Bukan harta, kedudukan, atau penghargaan. Karena apalah arti
itu semua kalau hati kita tidak tenang.” Kata-kata yang bagiku klise betul,
tetapi kebenarannya tidak perlu diragukan. Buat apa berlelah-lelah mengejar
sesuatu yang kalau sudah dinikmati hanya menarik kita pada keinginan-keinginan
lain, target-target lain yang justru menjauhkan diri dari ketenangan.
Ini dunia baru yang kutemukan.
Masa-masa dimana aku butuh apresiasi sudah hampir lewat, saat ini aku merasa
sedang masuk ke gua gelap yang di dalamnya terdapat cahaya terang, ribuan buku,
dan sebuah perahu yang bisa kudayung untuk sampai di sisi lain gua; sebuah
surga. Surga dimana hatiku akan selalu senang, surga bagi orang lain yang akan
kubuat senang. Semoga aku tidak melebur dalam gua, yang meskipun terang, ia
tetaplah gua yang jauh dari ladang, jauh dari pasar. Tempat orang berkumpul dan
saling menafkahi.
Ilmu yang paling sulit dipelajari
adalah ilmu mengalah, ilmu rendah hati, dan ilmu ikhlas. Tanpa ilmu-ilmu itu
cita-cita akan menjadi hal yang menyakitkan dan penuh pengorbanan. Cita-cita
akan jadi pertarungan pengakuan, pembuktian penolakan, dan beban atas
kebebasan.
Komentar
Posting Komentar