Langsung ke konten utama

Jarak, Ku Titipkan Rinduku..

Sejak kecil, aku tinggal berjarak dengan ayah. Hanya bertemu beberapa hari, lalu ia pergi lagi. Datang dengan sekantong penuh roti, lalu ia pergi lagi. Padahal roti itu belum habis ku makan.

Yang aku bilang tadi memang hanya tentang roti, sebuah benda mati. Tapi rasanya jadi berbeda dengan ada atau ketiadaan ayah. Aku tak ingat lapar, tak ingat memilikinya, saat ayah ada. Tapi saat ayah pergi, roti lahap ku makan karena ku ingin merasakan, bahwa ayah yang telah membelinya. Membawa benda itu, dari toko ke rumah ini. Yang sungguh berjarak. Maka aku ingin merasakan sisa ruhnya yang masih tinggal.

Siang itu ayah datang, membawa bahagia ke dalam rumah. Melontarkan candaan tak lucu, namun ku tertawa. Mengernyit seram saat ku buat kesal, namun semakin aku menyayanginya. Mendengkur keras saat tertidur di tengah pertandingan bola kesukaannya, namun membuatku tenang.

Kini, hanya dapat aku lihat, ada gambarnya, ada roti yang ia beli. Di rumah yang sama, dimana biasa ia bawa pulang kebahagiaan di tengah keluargaku. Kursi yang sama, hanya tak ada ia yang pulas tidur mendengkur.

Mungkin disana ayah sedang makan roti, sama denganku. Tapi di antara kami ada jarak. Bagiku jarak itu lawannya waktu. Semakin banyak jarak, semakin sedikit waktu. Waktu untuk kami bertemu kembali. Waktu untuk kami bersenang hati.



















Sore ini, di depan kamarku ada awan cerah, biru semu jingga. Mungkin di depan kamar ayah pun begitu. Aku memikirkannya, ia pun sama, mungkin sedang pikirkanku. Namun, lagi-lagi jarak membuat kami hanya bisa saling diam walau ingin berbagi. Hanya bisa termenung, meski ingin tertawa menyapa. Di saat yang sama, waktu berjalan semakin mendekat pada hari pertemuan, pun pada hari berpisah lagi.

Lalu ku tersenyum, dalam indahnya angin sore, dan hangatnya mentari yang perlahan tenggelam, ku titipkan rindu untuk ayah. Rindu sama dengan makan rempah, cengkeh sampai kapulaga. Sekuat apapun ingin kau nyatakan, rasa pekatnya tak terdengar.

Aku menanti, bertemu dengan ayah lagi. Namun ingatkan aku, untuk tak menanti waktu untuk berpisah kembali. Walaupun yang kedua selalu datang lebih cepat, walau tanpa dinanti. Di selanya hanya ada dua pilihan, bahagia dan rindu.

Partikel jarak, waktu, rindu, dan bahagia sulit untuk ku mengerti. Tapi untuk apa, mereka juga tak mengerti aku.

Mungkin aku akan merindu sambil bahagia, agar penantianku terasa cepat, penantian untuk segera bertemu.

Jarak, ku titipkan rinduku..


Di depan kamarku, di bawah langit sore yang cerah
27 Juni 2010

Komentar

  1. mia, walaupun jiwa tak pernah jumpa tak apa. asal jangan lupa berjumpa dalam setiap doa.

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hari-hari Menjadi Ibu

Hampir tujuh tahun menjadi ibu, sekarang jadi sadar bahwa perjuangan dan perjalanan yang luar biasa itu bukan sekedar jargon atau ungkapan klise. Di dua sampai tiga tahun pertama merasakan mengurus bayi hingga batita membuat aku sadar tentang: 1. Hal yang biasa terlihat mudah, ternyata luar biasa menantang Sebut saja, menyusui, menyuapi anak sampai bisa makan sesuai porsi, tetap tenang ketika mereka sakit, atau tidak menangis ketika ASI yang baru kita perah tumpah. Hal-hal tersebut tidak pernah terpikir akan menantang ketika aku belum merasakan sendiri. 2. Ibu merespon apa yang dia dengar dan dia baca dengan cara berbeda Aku akan terima saja kalau dibilang baper, tetapi memang setelah melewati banyak proses rasanya jadi ibu membuatku lebih thoughtful dalam berucap dan menulis. Karena ibu merasakan apa yang ia dengar dan ia baca dengan mendalam, sambil memutar kembali rekaman peristiwa yang ia alami. Hal ini tidak remeh, karena mengasah empati. Suatu skill yang penting dimiliki seseor

Dalam Upacara Perpisahanku

Malam itu puluhan orang berkumpul, di ruang yang tak punya tembok, atap, lantai, maupun jendela Mereka tidak masuk lewat pintu, tetapi dari sesuatu bernama tautan   Sambutan demi sambutan, cerita indah hingga sedih, saut menyaut Ingin rasanya aku menanggapi tiap kisah yang mereka lontarkan Misalnya, ketika ada yang bilang aku orang yang tegar -- padahal tidak jarang aku mengeluh dan menangis diam-diam Atau.. Ketika ada yang mengatakan masih punya utang janji padaku, rasanya ingin kutagih tunai malam itu juga   Tapi apa, aku tak ada..  Di daftar nama peserta itu, namaku tak nampak Di layar itu, fotoku tak terlihat Ternyata begini rasanya bisa menyembunyikan tawa dan tangis tanpa harus menutup  microphone  atau kamera -- yang biasa aku lakukan beberapa bulan ini, setiap hari   Dalam upacara tersebut, tidak ada lagi kesal.. Tak ada lagi benci.. Tuntas sudah yang belum selesai Yang ada hanya rasa sayang, rasa syukur aku pernah bertemu mereka dan mencipta banyak kisah indah, unik, atau mela

Jalan Kesana

Kata mama saya, sejak dulu anaknya ini terobsesi dengan Inggris. Asumsi yang didasari oleh hobi masa kecil saya mengumpulkan post card gratisan dari majalah Bobo. Salah satu favorit saya waktu itu yang bergambar Princess Diana. Gak paham lagi, dia anggun banget dan berjiwa sosial, super ngefans! Waktu kecil belum paham tentang skandal percintaannya, jadi tiada celah baginya wkwk. Lalu suatu hari saya pasang post card tersebut di album foto, di sebelah gambar saya lagi tiup lilin ulang tahun ke-5. Kayaknya random aja waktu itu, bukan ala ala sikap yang penting untuk dikenang bertahun-tahun kemudian. Saya sendiri lupa sama sekali kejadian itu. Dan ingin ke London karena entah kenapa saya penasaran sama Inggris, belum pernah kesana, dan negara itu tampak sangat unik. Banyak musikus yang karyanya saya nikmati berasal dari Inggris, seperti The Beatles, Elton John, Sting, Coldplay. Saya selalu yakin nuansa sebuah kota berpengaruh terhadap jiwa seni warganya, semacam Jogja atau Ba