Sejak kecil, aku tinggal berjarak dengan ayah. Hanya bertemu beberapa hari, lalu ia pergi lagi. Datang dengan sekantong penuh roti, lalu ia pergi lagi. Padahal roti itu belum habis ku makan.
Yang aku bilang tadi memang hanya tentang roti, sebuah benda mati. Tapi rasanya jadi berbeda dengan ada atau ketiadaan ayah. Aku tak ingat lapar, tak ingat memilikinya, saat ayah ada. Tapi saat ayah pergi, roti lahap ku makan karena ku ingin merasakan, bahwa ayah yang telah membelinya. Membawa benda itu, dari toko ke rumah ini. Yang sungguh berjarak. Maka aku ingin merasakan sisa ruhnya yang masih tinggal.
Siang itu ayah datang, membawa bahagia ke dalam rumah. Melontarkan candaan tak lucu, namun ku tertawa. Mengernyit seram saat ku buat kesal, namun semakin aku menyayanginya. Mendengkur keras saat tertidur di tengah pertandingan bola kesukaannya, namun membuatku tenang.
Kini, hanya dapat aku lihat, ada gambarnya, ada roti yang ia beli. Di rumah yang sama, dimana biasa ia bawa pulang kebahagiaan di tengah keluargaku. Kursi yang sama, hanya tak ada ia yang pulas tidur mendengkur.
Mungkin disana ayah sedang makan roti, sama denganku. Tapi di antara kami ada jarak. Bagiku jarak itu lawannya waktu. Semakin banyak jarak, semakin sedikit waktu. Waktu untuk kami bertemu kembali. Waktu untuk kami bersenang hati.
Sore ini, di depan kamarku ada awan cerah, biru semu jingga. Mungkin di depan kamar ayah pun begitu. Aku memikirkannya, ia pun sama, mungkin sedang pikirkanku. Namun, lagi-lagi jarak membuat kami hanya bisa saling diam walau ingin berbagi. Hanya bisa termenung, meski ingin tertawa menyapa. Di saat yang sama, waktu berjalan semakin mendekat pada hari pertemuan, pun pada hari berpisah lagi.
Lalu ku tersenyum, dalam indahnya angin sore, dan hangatnya mentari yang perlahan tenggelam, ku titipkan rindu untuk ayah. Rindu sama dengan makan rempah, cengkeh sampai kapulaga. Sekuat apapun ingin kau nyatakan, rasa pekatnya tak terdengar.
Aku menanti, bertemu dengan ayah lagi. Namun ingatkan aku, untuk tak menanti waktu untuk berpisah kembali. Walaupun yang kedua selalu datang lebih cepat, walau tanpa dinanti. Di selanya hanya ada dua pilihan, bahagia dan rindu.
Partikel jarak, waktu, rindu, dan bahagia sulit untuk ku mengerti. Tapi untuk apa, mereka juga tak mengerti aku.
Mungkin aku akan merindu sambil bahagia, agar penantianku terasa cepat, penantian untuk segera bertemu.
Jarak, ku titipkan rinduku..
Di depan kamarku, di bawah langit sore yang cerah
27 Juni 2010
Yang aku bilang tadi memang hanya tentang roti, sebuah benda mati. Tapi rasanya jadi berbeda dengan ada atau ketiadaan ayah. Aku tak ingat lapar, tak ingat memilikinya, saat ayah ada. Tapi saat ayah pergi, roti lahap ku makan karena ku ingin merasakan, bahwa ayah yang telah membelinya. Membawa benda itu, dari toko ke rumah ini. Yang sungguh berjarak. Maka aku ingin merasakan sisa ruhnya yang masih tinggal.
Siang itu ayah datang, membawa bahagia ke dalam rumah. Melontarkan candaan tak lucu, namun ku tertawa. Mengernyit seram saat ku buat kesal, namun semakin aku menyayanginya. Mendengkur keras saat tertidur di tengah pertandingan bola kesukaannya, namun membuatku tenang.
Kini, hanya dapat aku lihat, ada gambarnya, ada roti yang ia beli. Di rumah yang sama, dimana biasa ia bawa pulang kebahagiaan di tengah keluargaku. Kursi yang sama, hanya tak ada ia yang pulas tidur mendengkur.
Mungkin disana ayah sedang makan roti, sama denganku. Tapi di antara kami ada jarak. Bagiku jarak itu lawannya waktu. Semakin banyak jarak, semakin sedikit waktu. Waktu untuk kami bertemu kembali. Waktu untuk kami bersenang hati.
Sore ini, di depan kamarku ada awan cerah, biru semu jingga. Mungkin di depan kamar ayah pun begitu. Aku memikirkannya, ia pun sama, mungkin sedang pikirkanku. Namun, lagi-lagi jarak membuat kami hanya bisa saling diam walau ingin berbagi. Hanya bisa termenung, meski ingin tertawa menyapa. Di saat yang sama, waktu berjalan semakin mendekat pada hari pertemuan, pun pada hari berpisah lagi.
Lalu ku tersenyum, dalam indahnya angin sore, dan hangatnya mentari yang perlahan tenggelam, ku titipkan rindu untuk ayah. Rindu sama dengan makan rempah, cengkeh sampai kapulaga. Sekuat apapun ingin kau nyatakan, rasa pekatnya tak terdengar.
Aku menanti, bertemu dengan ayah lagi. Namun ingatkan aku, untuk tak menanti waktu untuk berpisah kembali. Walaupun yang kedua selalu datang lebih cepat, walau tanpa dinanti. Di selanya hanya ada dua pilihan, bahagia dan rindu.
Partikel jarak, waktu, rindu, dan bahagia sulit untuk ku mengerti. Tapi untuk apa, mereka juga tak mengerti aku.
Mungkin aku akan merindu sambil bahagia, agar penantianku terasa cepat, penantian untuk segera bertemu.
Jarak, ku titipkan rinduku..
Di depan kamarku, di bawah langit sore yang cerah
27 Juni 2010
mia, walaupun jiwa tak pernah jumpa tak apa. asal jangan lupa berjumpa dalam setiap doa.
BalasHapus