Langsung ke konten utama

Lamunan Jean (Bagian I)

Lorong yang senyap itu mendadak berisik, oleh suara sepatu Jean. Parasnya yang sangat Indonesia timur tampak lelah setelah seharian mengitari kota Malang mencari data. Jadi peneliti bukanlah sesuatu yang dipilih banyak karibnya, namun sebagai wanita –yang relatif muda- dan masih ingin mengejar mimpi idealnya, Jean menjalani perkerjaan ini. Jadi surveyor. Gaji minimum dengan tingkat keletihan maksimum. Entah kenapa ia tetap jalani, meski seringkali dia tidak terlalu menikmatimya. Atau bahkan sama sekali tidak mensyukurinya.

Sesampainya di salah satu kamar hotel kelas melati tempatnya menginap, dia memeriksa telepon selular bututnya. Tujuh panggilan tak terjawab dari Jono. Secepat kilat ia tekan tombol “call” ke nomor Jono, tak diangkat. Waktu menunjukkan pukul 23.37, apa daya. Ia rebahkan tubuhnya di kasur beraroma debu. Ada gurat kesedihan di wajah Jean, ia begitu merindukan Jono. Meski bila sedang bersama mereka sering kali tak akur, sesepele urusan bisnis Jono yang tidak kunjung jelas. Seremeh Jean yang setiap akhir pekan berkeluh kesah ingin pindah pekerjaan, kendati begitu ia sudah memasuki tahun keempat pekerjaan ini. Oh tidak, dua perkara itu tidak sepele dan remeh sama sekali. Jono selalu jadi tempat Jean ingin berbagi.

Biasanya selepas mencari data seharian Jane memilih untuk cepat-cepat tidur. Tetapi di hari ketujuhnya di kota apel ini, ia justru membuka novel yang dibelinya dua bulan lalu. Baru dibaca 15 halaman, Hujan Bulan Juni karya Sapardi Djoko Damono. Sepuluh menit berlalu, ia letakkan novel itu di meja samping tempat tidurnya. Kali ini dia ingin melamun saja. Melamunkan hidupnya, melamunkan Jono, melamunkan waktu, melamunkan pergerakan.

Surat keluar sudah ia layangkan kepada atasan lembaga riset ini 21 hari lalu, yang artinya proyek Malang akan jadi tugas terakhir yang harus ia jalankan. Jean masih punya mimpi untuk jadi peneliti, ia ingin melanjutkan sekolah strata satu. Ia tahu betul bahwa gelar diploma tidak bisa mengantarnya pada jenjang karir yang lebih tinggi di jalur penelitian ini. Perubahan besar akan terjadi di hidupnya tak lama lagi. Sebuah perubahan yang ia ciptakan dengan penuh perhitungan, meski ternyata ia merasa tak siap. Tak siap belajar lagi, tak siap kere lagi tak punya gaji.

Jono oh Jono, bagaimana mungkin Jean bisa tak mengenalnya lagi. Atau setidaknya Jean sudah tidak menjadi pengisi hari-hari Jono lagi, beberapa waktu belakangan. Ia hampir menangis bila mengingat betapa dulu sangat menginginkan Jono. Dari ujung rambut hingga ujung kaki ia puja lelaki itu seolah Jono merupakan titisan Nabi Yusuf. Jean mengingat kebiasaan lamanya melihat lampu kota yang temaram bersama suaminya. Ia pun mengingat betapa banyak waktu luang yang mereka bagi satu sama lain beberapa tahun lalu. Obrolan panjang tentang cita-cita. Pembahasan serius tentang kisah di balik hobi Jean makan nasi goreng. Jean merindukan waktu ketika ia dan Jono bisa begadang hanya untuk saling bersahutan membahas topik ecek-ecek. Jono oh Jono, sekarang bahkan Jean tak lagi sempat menanyakan apa yang suaminya makan siang tadi.

Di tengah kelelahan yang membabi buta ini, Jean mengutuk laju waktu puluhan kali. Ia pun menangis tersedu-sedu akan kekalahannya dalam berperang melawan waktu. Hari demi hari, minggu berganti, bulan berlalu. Jean merasa tak lagi bertemu dan tak lagi dipedulikan orang-orang yang ia cintai. Sang waktu telah menguyah dan menelan cepat semua yang ia miliki. Akhir pekan yang dulu diisi dengan pergi ke rumah teman tergantikan dengan penerbangan minggu siang ke lokasi survey. Malam yang indah kini seringkali diisi dengan memandang monitor menyelesaikan urusan pekerjaan. Hari libur yang bebas dilibas oleh utang tidur. Jean merasa lemah, ia merasa selalu kehabisan waktu.

Di atas segala lamunannya, Jean mencoba melakukan refleksi. Apa yang telah didapatnya dari bersibuk beberapa bulan ini. Makin pintarkah ia? Untuk siapa ia berlelah-lelah? Tanpa berusaha mengarang skenario jawaban memotivasi diri sendiri, Jane merasa bahwa dunia menuntutnya bergerak terlalu banyak tetapi belajar memahami terlalu sedikit. Ia merasa pergerakannya punya tujuan, tetapi miskin makna. Jean yang dulu suka menulis puisi dalam perjalanannya kini lebih memilih untuk tidur di pesawat. Jean yang dulu getol menyelesaikan novelnya, kini memilih untuk membuka sosial media di waktu luangnya. Sebagai hiburan instan. Jean mempertanyakan arti dari gerak cepatnya saat ini.

Tak lama, Jean kembali menengelamkan hidungnya pada novel Sapardi. Ia ingin berhenti sejenak. Jean ingin menjadi manusia yang lebih manusiawi.


tak ada yang lebih tabah dari hujan bulan Juni
dirahasiakannya rintik rindunya
kepada pohon berbunga itu
tak ada yang lebih bijak dari hujan bulan Juni
dihapusnya jejak-jejak kakinya
yang ragu-ragu di jalan itu
tak ada yang lebih arif dari hujan bulan Juni
dibiarkannya yang tak terucapkan
diserap akar pohon bunga itu

Tiap detik, tiap langkah, tiap lamunan, malam itu Jean berusaha menelannya sendirian. Tak ada keluarga. Jauh dari sahabat. Tanpa Jono. Seperti yang Jono juga telah lakukan –pikir Jean-.

[bersambung]

Sibolga, 10 (menuju 11) Desember 2015

Ditemani suara ombak. Berselimut lelah. Ditemani gelisah, dan rasa rindu yang bertengger di sembarang tempat. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dalam Upacara Perpisahanku

Malam itu puluhan orang berkumpul, di ruang yang tak punya tembok, atap, lantai, maupun jendela Mereka tidak masuk lewat pintu, tetapi dari sesuatu bernama tautan   Sambutan demi sambutan, cerita indah hingga sedih, saut menyaut Ingin rasanya aku menanggapi tiap kisah yang mereka lontarkan Misalnya, ketika ada yang bilang aku orang yang tegar -- padahal tidak jarang aku mengeluh dan menangis diam-diam Atau.. Ketika ada yang mengatakan masih punya utang janji padaku, rasanya ingin kutagih tunai malam itu juga   Tapi apa, aku tak ada..  Di daftar nama peserta itu, namaku tak nampak Di layar itu, fotoku tak terlihat Ternyata begini rasanya bisa menyembunyikan tawa dan tangis tanpa harus menutup  microphone  atau kamera -- yang biasa aku lakukan beberapa bulan ini, setiap hari   Dalam upacara tersebut, tidak ada lagi kesal.. Tak ada lagi benci.. Tuntas sudah yang belum selesai Yang ada hanya rasa sayang, rasa syukur aku pernah bertemu mereka dan mencipta banyak...

Jalan Kesana

Kata mama saya, sejak dulu anaknya ini terobsesi dengan Inggris. Asumsi yang didasari oleh hobi masa kecil saya mengumpulkan post card gratisan dari majalah Bobo. Salah satu favorit saya waktu itu yang bergambar Princess Diana. Gak paham lagi, dia anggun banget dan berjiwa sosial, super ngefans! Waktu kecil belum paham tentang skandal percintaannya, jadi tiada celah baginya wkwk. Lalu suatu hari saya pasang post card tersebut di album foto, di sebelah gambar saya lagi tiup lilin ulang tahun ke-5. Kayaknya random aja waktu itu, bukan ala ala sikap yang penting untuk dikenang bertahun-tahun kemudian. Saya sendiri lupa sama sekali kejadian itu. Dan ingin ke London karena entah kenapa saya penasaran sama Inggris, belum pernah kesana, dan negara itu tampak sangat unik. Banyak musikus yang karyanya saya nikmati berasal dari Inggris, seperti The Beatles, Elton John, Sting, Coldplay. Saya selalu yakin nuansa sebuah kota berpengaruh terhadap jiwa seni warganya, semacam Jogja atau Ba...

Dalaila Gisdara

Sebuah frase yang masih membuat saya sedikit geli tiap kali diucapkan, ketika kami ke klinik anak untuk imunisasi misalnya. Sebuah nama lengkap yang 100 persen dibuat oleh ayahnya, semudah mencuplik nama Dalai Lama dan Gusdur. Sejak awal kami berkomitmen untuk membuat nama yang sederhana dan Indonesia banget. Kendatipun demikian masih banyak yang bilang nama ini rumit dan berat. Yasudah, mudahnya panggil saja dia Agis. Agis punya wajah yang manis, entah, sampai sekarang masih dalam perdebatan mirip siapakah bayi ini. Saya suka sekali dengan senyumnya yang menyapa di pagi hari dan setiap malam sepulang saya dari kantor. Saya juga suka sekali dengan tangisnya saat minta minum atau merasa popoknya sudah tidak lagi nyaman. Saya menyukai tiap senti yang ada pada Agis, entah indah atau tidak. Kadang masih tidak percaya bahwa Agis adalah bagian dari saya, bahwa keberadaannya dimulai dari kehidupan saya.  Beberapa minggu setelah melahirkan Agis, saya sempat m...