Lorong yang senyap itu mendadak
berisik, oleh suara sepatu Jean. Parasnya yang sangat Indonesia timur tampak
lelah setelah seharian mengitari kota Malang mencari data. Jadi peneliti
bukanlah sesuatu yang dipilih banyak karibnya, namun sebagai wanita –yang relatif
muda- dan masih ingin mengejar mimpi idealnya, Jean menjalani perkerjaan ini.
Jadi surveyor. Gaji minimum dengan tingkat keletihan maksimum. Entah kenapa ia
tetap jalani, meski seringkali dia tidak terlalu menikmatimya. Atau bahkan sama
sekali tidak mensyukurinya.
Sesampainya di salah satu kamar
hotel kelas melati tempatnya menginap, dia memeriksa telepon selular bututnya. Tujuh
panggilan tak terjawab dari Jono. Secepat kilat ia tekan tombol “call” ke nomor
Jono, tak diangkat. Waktu menunjukkan pukul 23.37, apa daya. Ia rebahkan
tubuhnya di kasur beraroma debu. Ada gurat kesedihan di wajah Jean, ia begitu
merindukan Jono. Meski bila sedang bersama mereka sering kali tak akur,
sesepele urusan bisnis Jono yang tidak kunjung jelas. Seremeh Jean yang setiap
akhir pekan berkeluh kesah ingin pindah pekerjaan, kendati begitu ia sudah
memasuki tahun keempat pekerjaan ini. Oh tidak, dua perkara itu tidak sepele
dan remeh sama sekali. Jono selalu jadi tempat Jean ingin berbagi.
Biasanya selepas mencari data seharian
Jane memilih untuk cepat-cepat tidur. Tetapi di hari ketujuhnya di kota apel
ini, ia justru membuka novel yang dibelinya dua bulan lalu. Baru dibaca 15
halaman, Hujan Bulan Juni karya Sapardi Djoko Damono. Sepuluh menit berlalu, ia
letakkan novel itu di meja samping tempat tidurnya. Kali ini dia ingin melamun
saja. Melamunkan hidupnya, melamunkan Jono, melamunkan waktu, melamunkan
pergerakan.
Surat keluar sudah ia layangkan
kepada atasan lembaga riset ini 21 hari lalu, yang artinya proyek Malang akan jadi tugas terakhir yang harus ia jalankan. Jean masih punya mimpi untuk jadi
peneliti, ia ingin melanjutkan sekolah strata satu. Ia tahu betul bahwa gelar
diploma tidak bisa mengantarnya pada jenjang karir yang lebih tinggi di jalur
penelitian ini. Perubahan besar akan terjadi di hidupnya tak lama lagi. Sebuah perubahan
yang ia ciptakan dengan penuh perhitungan, meski ternyata ia merasa tak siap. Tak siap belajar lagi, tak siap kere lagi tak punya gaji.
Jono oh Jono, bagaimana mungkin
Jean bisa tak mengenalnya lagi. Atau setidaknya Jean sudah tidak menjadi
pengisi hari-hari Jono lagi, beberapa waktu belakangan. Ia hampir menangis bila
mengingat betapa dulu sangat menginginkan Jono. Dari ujung rambut hingga ujung
kaki ia puja lelaki itu seolah Jono merupakan titisan Nabi Yusuf. Jean
mengingat kebiasaan lamanya melihat lampu kota yang temaram bersama suaminya. Ia
pun mengingat betapa banyak waktu luang yang mereka bagi satu sama lain
beberapa tahun lalu. Obrolan panjang tentang cita-cita. Pembahasan serius
tentang kisah di balik hobi Jean makan nasi goreng. Jean merindukan waktu ketika
ia dan Jono bisa begadang hanya untuk saling bersahutan membahas topik
ecek-ecek. Jono oh Jono, sekarang bahkan Jean tak lagi sempat menanyakan apa
yang suaminya makan siang tadi.
Di tengah kelelahan yang membabi
buta ini, Jean mengutuk laju waktu puluhan kali. Ia pun menangis tersedu-sedu
akan kekalahannya dalam berperang melawan waktu. Hari demi hari, minggu
berganti, bulan berlalu. Jean merasa tak lagi bertemu dan tak lagi dipedulikan orang-orang
yang ia cintai. Sang waktu telah menguyah dan menelan cepat semua yang ia
miliki. Akhir pekan yang dulu diisi dengan pergi ke rumah teman tergantikan
dengan penerbangan minggu siang ke lokasi survey. Malam yang indah kini
seringkali diisi dengan memandang monitor menyelesaikan urusan pekerjaan. Hari libur
yang bebas dilibas oleh utang tidur. Jean merasa lemah, ia merasa selalu
kehabisan waktu.
Di atas segala lamunannya, Jean
mencoba melakukan refleksi. Apa yang telah didapatnya dari bersibuk beberapa
bulan ini. Makin pintarkah ia? Untuk siapa ia berlelah-lelah? Tanpa berusaha
mengarang skenario jawaban memotivasi diri sendiri, Jane merasa bahwa dunia menuntutnya
bergerak terlalu banyak tetapi belajar memahami terlalu sedikit. Ia merasa
pergerakannya punya tujuan, tetapi miskin makna. Jean yang dulu suka menulis
puisi dalam perjalanannya kini lebih memilih untuk tidur di pesawat. Jean yang
dulu getol menyelesaikan novelnya, kini memilih untuk membuka sosial media di
waktu luangnya. Sebagai hiburan instan. Jean mempertanyakan arti dari gerak
cepatnya saat ini.
Tak lama, Jean kembali
menengelamkan hidungnya pada novel Sapardi. Ia ingin berhenti sejenak. Jean ingin menjadi manusia yang lebih manusiawi.
tak ada yang lebih tabah dari
hujan bulan Juni
dirahasiakannya rintik rindunya
kepada pohon berbunga itu
tak ada yang lebih bijak dari
hujan bulan Juni
dihapusnya jejak-jejak kakinya
yang ragu-ragu di jalan itu
tak ada yang lebih arif dari
hujan bulan Juni
dibiarkannya yang tak terucapkan
diserap akar pohon bunga itu
Tiap detik, tiap langkah, tiap
lamunan, malam itu Jean berusaha menelannya sendirian. Tak ada keluarga. Jauh dari sahabat. Tanpa Jono. Seperti yang
Jono juga telah lakukan –pikir Jean-.
[bersambung]
Sibolga, 10 (menuju 11) Desember
2015
Ditemani suara ombak. Berselimut
lelah. Ditemani gelisah, dan rasa rindu yang bertengger di sembarang tempat.
Komentar
Posting Komentar