Langsung ke konten utama

Untitled



Sudah sekitar tiga bulan ini saya kembali tinggal bersama orang tua –pasca pindah ke apartemen bersama suami-. Usia kehamilan yang muda membuat saya tidak sekuat dulu lagi untuk berdesakan di kereta listrik setiap pagi dan sore, sedangkan pergi ke kantor dengan kendaraan pribadi dari apartemen di Kalibata sungguhlah buang waktu. Selain itu, Riski cukup intens bepergian keluar kota sehingga cukup nelangsa rasanya saat muntah di pagi hari saya harus menolong diri sendiri untuk menegakkan kepala dari wastafel.


Kurang lebih tiga bulan saat itu saya tinggal berdua dengan Riski di sebuah ruangan 30 meter persegi dengan segala benda mini di dalamnya. Sebentar sekali ya, lha wong menikah saja baru tujuh bulan. 


Enak juga rasanya pindah ke rumah orang tua lagi, setiap harinya bisa lebih fokus berjibaku dengan urusan kantor, yayasan, main sama teman, baca buku, dan merenungkan ide buka usaha –yang tidak dapat dilakukan secara bersamaan kala tinggal di apartemen-. Bagaimana tidak, pagi-pagi sarapan sudah terhidang di meja makan, urusan beres-beres rumah tidak perlu dikerjakan, dan posisi rumah yang cukup dekat dengan kantor serta yayasan membuat mobilitas terasa mudah.


Satu hal yang sering ditanyakan Riski, kapan kita mandiri lagi? Yang ia maksud adalah mandiri dalam artian tinggal terpisah dari orang tua dan mengurusi berbagai urusan rumah tangga sendiri. Jawaban saya masih bersembunyi di balik cobaan trimester pertama kehamilan, dimana saat itu mencium aroma kompor saja rasanya sangat tidak nyaman. Selain itu, kedua orang tua selalu berharap agar saya tinggal bersama mereka setidaknya sampai selesai cuti melahirkan. Masih lama sekali.


Entah kenapa, tiba-tiba hari ini saya rindu dengan kerepotan tinggal di apartemen bersama suami. Di saat saya tidak boleh tidur lagi sehabis subuh karena harus beres-beres, mempersiapkan sarapan atau –bila memungkinkan- bekal makan siang, bergegas siap-siap untuk mengejar kereta 07.15 Kalibata-Gondangdia, berdesakan di KRL, mampir supermarket sepulang kantor untuk membeli logistik makan malam, dan sesekali menyiapkan adonan gorengan untuk menemani Riski menonton televisi. Sungguh bukanlah hidup yang mudah di saat saya bukan tipe gadis rumah yang pandai memasak dan membersihkan rumah. Waktu itu saya sempat merasa luar biasa tidak punya waktu hanya untuk mengurusi kehidupan kami berdua. Di sisi lain, amatlah menyenangkan untuk menyadari bahwa dalam posisi itu saya bahkan tidak sempat merasakan kegundahan akan hal-hal kurang penting –yang selalu datang di saat sedang selo-.


Lebih dari itu, saya merindukan menonton acara-acara di Net TV dan tertawa terbahak-bahak bersama Riski tiap after office hour; atau menyulap ruang tengah apartemen untuk jadi bioskop pribadi pada Jumat malam. 


Di tengah kerinduan ini, selalu bersyukur bisa berkumpul dengan kedua orang tua setiap harinya, dua orang yang paling penting bagi saya. Tapi bagaimanapun, saat ini saya sudah punya keluarga kecil yang harus membangun kehidupannya sendiri. Berdiri di atas kakinya sendiri.


“Kalau dulu yang prioritas buat aku adalah Bundo dan kakak-kakakku. Tapi kalau sekarang, aku udah punya keluarga sendiri. Keluarga kecil ini yang utama buat aku, prioritas. Semua yang aku usahain ya buat kamu.” (*)


(*) dikatakan oleh Riski, 3 Januari 2015

Semoga keluarga kecil yang berdikari segera terwujud, selamat tanggal tujuh yang ketujuh...

Komentar

  1. Mbamiiiiii, subhanallooooh
    semoga sehat-sehat terus mamah dan dedenya
    :D/

    BalasHapus
    Balasan
    1. Makasi Diba, kamu juga yaa selamat menikmati Bumi Kalimantan :)

      Hapus
  2. Sama banget sih kita! Kalau nanti sudah ada si kecil, kehidupan bertiga, bukan berdua lagi, tidak akan lebih mudah, tapi di saat bersamaan jadi lebih bahagia. Stress meningkat, rasa syukur pun demikian. Kontradiksi ya.. Selamat menikmati, Mi! And see you super soon!! *smooch*

    BalasHapus
    Balasan
    1. Bisa dibayangkan, bertiga plus merantau pasti perjuangannya super. Tapi tetep alhamdulillah ya, semoga selalu kuat dan naik kelas. Can't wait to see you, Kal, and Sinyo :)

      Hapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dalam Upacara Perpisahanku

Malam itu puluhan orang berkumpul, di ruang yang tak punya tembok, atap, lantai, maupun jendela Mereka tidak masuk lewat pintu, tetapi dari sesuatu bernama tautan   Sambutan demi sambutan, cerita indah hingga sedih, saut menyaut Ingin rasanya aku menanggapi tiap kisah yang mereka lontarkan Misalnya, ketika ada yang bilang aku orang yang tegar -- padahal tidak jarang aku mengeluh dan menangis diam-diam Atau.. Ketika ada yang mengatakan masih punya utang janji padaku, rasanya ingin kutagih tunai malam itu juga   Tapi apa, aku tak ada..  Di daftar nama peserta itu, namaku tak nampak Di layar itu, fotoku tak terlihat Ternyata begini rasanya bisa menyembunyikan tawa dan tangis tanpa harus menutup  microphone  atau kamera -- yang biasa aku lakukan beberapa bulan ini, setiap hari   Dalam upacara tersebut, tidak ada lagi kesal.. Tak ada lagi benci.. Tuntas sudah yang belum selesai Yang ada hanya rasa sayang, rasa syukur aku pernah bertemu mereka dan mencipta banyak...

Jalan Kesana

Kata mama saya, sejak dulu anaknya ini terobsesi dengan Inggris. Asumsi yang didasari oleh hobi masa kecil saya mengumpulkan post card gratisan dari majalah Bobo. Salah satu favorit saya waktu itu yang bergambar Princess Diana. Gak paham lagi, dia anggun banget dan berjiwa sosial, super ngefans! Waktu kecil belum paham tentang skandal percintaannya, jadi tiada celah baginya wkwk. Lalu suatu hari saya pasang post card tersebut di album foto, di sebelah gambar saya lagi tiup lilin ulang tahun ke-5. Kayaknya random aja waktu itu, bukan ala ala sikap yang penting untuk dikenang bertahun-tahun kemudian. Saya sendiri lupa sama sekali kejadian itu. Dan ingin ke London karena entah kenapa saya penasaran sama Inggris, belum pernah kesana, dan negara itu tampak sangat unik. Banyak musikus yang karyanya saya nikmati berasal dari Inggris, seperti The Beatles, Elton John, Sting, Coldplay. Saya selalu yakin nuansa sebuah kota berpengaruh terhadap jiwa seni warganya, semacam Jogja atau Ba...

Dalaila Gisdara

Sebuah frase yang masih membuat saya sedikit geli tiap kali diucapkan, ketika kami ke klinik anak untuk imunisasi misalnya. Sebuah nama lengkap yang 100 persen dibuat oleh ayahnya, semudah mencuplik nama Dalai Lama dan Gusdur. Sejak awal kami berkomitmen untuk membuat nama yang sederhana dan Indonesia banget. Kendatipun demikian masih banyak yang bilang nama ini rumit dan berat. Yasudah, mudahnya panggil saja dia Agis. Agis punya wajah yang manis, entah, sampai sekarang masih dalam perdebatan mirip siapakah bayi ini. Saya suka sekali dengan senyumnya yang menyapa di pagi hari dan setiap malam sepulang saya dari kantor. Saya juga suka sekali dengan tangisnya saat minta minum atau merasa popoknya sudah tidak lagi nyaman. Saya menyukai tiap senti yang ada pada Agis, entah indah atau tidak. Kadang masih tidak percaya bahwa Agis adalah bagian dari saya, bahwa keberadaannya dimulai dari kehidupan saya.  Beberapa minggu setelah melahirkan Agis, saya sempat m...