Bapak Asmi Ahmad, orang yang sama
sekali tidak saya kenal. Ia pergi sebelum kami sempat bertemu. Mendadak ia
membuat saya berpikir lama seraya menangis sesekali di pergantian tahun ini.
Seorang calon insinyur dari Universitas Indonesia yang tidak punya kesempatan
meraih gelar kesarjanaannya. Namun, ia patri kuat semangat bagi penerusnya untuk
kembali ke kampus itu.
Setiap pagi ia bangunkan Si
Bungsu dengan suara cukup menggelegar, “Ayo bangun, bagaimana mau masuk UI
kalau tidak biasa bangun pagi!” Ia membangunkan dengan kalimat itu bahkan sejak Si Bungsu belum belajar tentang
baca tulis. Bila ada lima soal latihan yang diberikan Bu Guru, Si Bungsu harus
mengerjakannya ditambah lima soal lain. Ia tuntun anaknya untuk selalu
memberikan lebih dari yang orang lain minta.
Ia pergi cepat, beberapa tahun
sebelum melihat keturunannya sempat berjas kuning.
Pada 2008 janji Si Bungsu tunai, namanya
dalam daftar mahasiswa UI. Meski demikian Si Bungsu pada akhirnya
tidak sekalipun menyentuh jas kuningnya. Ia justru memilih pergi ke selatan,
kampus biru di Jogjakarta. Hijrah ke kota itu merupakan sebuah keraguan di awal,
walau akhirnya menjadi hal yang selalu ia syukuri.
Lama berselang, hingga kini
pekikan pagi ayahnya tetap nyaring di kuping. Sesekali ia mengingat bagaimana Sang
Ayah selalu meyakini akan masa depan yang cerah, di tengah segala
keterbatasan yang ada. Dari sebuah desa di Batipuh, berjarak dua jam dari Kota
Padang. Jalan ke rumahnya bahkan tak dapat dilalui kendaraan roda empat. Ia hadir
dari sebuah rumah teduh dimana batok kelapa masih digunakan untuk kompor kayu, dipetik langsung dari pohon halaman belakang. Ia istimewa karena rasa
pantangnya mengalah pada kondisi, ia selalu yakin akan menang dari hal-hal yang
dijadikan alasan penghambat bagi banyak orang.
Dalam sebuah penerbangan GA 149
Padang-Jakarta Si Bungsu menangis, seperti biasa ia menangis setiap rindu
ayahnya. Tetapi jangan pernah sekalipun mengasihaninya karena ia tak akan
terima. Si Bungsu yang kuat, ia selalu siap berlari, menghentak, dan
bertanding. Si Bungsu yang lembut, hatinya seperti kapas, sekalinya ia basah
akan sulit kering. Saya bertanya-tanya seperti apakah ayah yang membesarkannya
sampai ia menjadi begitu berbeda namun mudah disayangi.
Dalam perjalanan itu saya tak
bisa menahan derai air mata, Pak Asmi pergi cepat meninggalkan Si Bungsu yang
ingin memeluknya saat ia memakai toga, memulai langkah pertama jadi abdi negara, atau
bercerita bahwa ia akan jadi ayah.
Dari sebuah tempat yang jauh, di
Minang sana. Si Bungsu bilang tidak boleh sebut Minang saja, harus satu paket, Minang
Kabau. Tetapi, kali ini acuhkan saja. Ada hawa magis yang membuat saya ribuan
kali bersyukur telah menginjakkan kaki ke tanah itu. Kampung Si Bungsu yang
sangat bersahaja mengingatkan saya akan kehangatan keluarga yang selalu tanpa
syarat. Tidak perlu makan di restoran ternama untuk merayakan hari ulang tahun,
tidak butuh perangkat canggih untuk menghindar dari kebosanan, dan tidak usah
memberikan kado besar untuk menyatakan rasa sayang. Inspirasi, harapan, dan
rasa syukur menyeruak di ruang-ruang teduh Rumah Batipuh.
Di sebuah tempat yang jauh, di
Minang sana, sebagian hati ini saya tinggalkan. Untuk pulang, untuk kembali. Bersama
Si Bungsu, dan semoga tak lama lagi, dengan satu anggota baru keluarga kecil kami.
Setelah kembali dari Batipuh, Sumatera Barat, 5 Januari 2015
Setelah kembali dari Batipuh, Sumatera Barat, 5 Januari 2015
Komentar
Posting Komentar