Langsung ke konten utama

Cinta Ideologis



Saya tidak sedang bercerita tentang sebuah mahzab atau gagasan besar hingga membawa sebuah tulisan dengan embel-embel ideologis. Saya justru sedang ingin bercerita tanpa berpikir dan mengikuti kemana jari-jari ini akan menuntun bola mata.

Tentang seseorang yang membuat saya bisa memikirkannya kapan saja. Ia dapat ditemukan di sela lagu-lagu favorit, dalam hembusan angin sore yang teduh, atau bahkan ketika lamunan saya dibangunkan oleh suara ukulele pengamen jalanan.

Setiap kali bahagia atau sedih, saya tidak punya pertimbangan apapun untuk mengadu padanya. Walau tanggapannya tak selalu hangat, tetapi tidak pernah kapok untuk membajirinya dengan berbagai cerita panjang. Setiap harinya.

Pada Rabu lalu saat membuka file chat history BBM beberapa tahun ke belakang, saya makin menyadari kedermawanannya. Dukungan, candaan, dan nasihat harian tulus yang sudah ada disana sejak saya masih egois dalam mencintainya. 

Memori pun berputar mundur mengingat indahnya saat-saat kami suka mendengar lagu slow berdua sambil berbicara tentang mimpi, melintasi Jalan Malioboro sembari saling melontarkan dialog random, atau duduk berhadapan di sebuah warung kopi di depan laptop diselingi sesekali melempar pandang. 

Kata orang, pada saat pacaran semua terasa manis; tunggu saja setelah menikah semua akan berubah.

Beruntung sampai saat ini saya masih merasakan manis yang sama. Bahkan lebih besar. Karena dialah cinta ideologis saya, yang datang perlahan bagai kehendak waktu, memikat diam-diam seolah tanpa alasan. Dia cinta ideologis saya, yang ada dalam berbagai proses, menikmati rasa pahit berkali-kali tapi tak juga jera, teman terbaik mencecap setiap sudut manis kehidupan. 

Dia tidak akan menjelma jadi tua dan keriput, karena saya mencintai caranya berpikir, caranya bertutur, caranya menenangkan. Saya mencintainya seperti menganut sebuah ideologi.


“Hanya cinta, perlombaan yang dimainkan bersama dan dimenangkan berdua” (RRP)


Jakarta, 27 Januari 2015
Saya menulis seperti remaja yang sedang jatuh cinta. Bukan lagi jatuh, kali ini saya terjun bebas.

Komentar

  1. Kak Mia. Selamat ya dan semoga selalu berbahagia he he he :)

    BalasHapus
  2. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  3. Mia izin share ya, bagus banget tulisannya :')

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hari-hari Menjadi Ibu

Hampir tujuh tahun menjadi ibu, sekarang jadi sadar bahwa perjuangan dan perjalanan yang luar biasa itu bukan sekedar jargon atau ungkapan klise. Di dua sampai tiga tahun pertama merasakan mengurus bayi hingga batita membuat aku sadar tentang: 1. Hal yang biasa terlihat mudah, ternyata luar biasa menantang Sebut saja, menyusui, menyuapi anak sampai bisa makan sesuai porsi, tetap tenang ketika mereka sakit, atau tidak menangis ketika ASI yang baru kita perah tumpah. Hal-hal tersebut tidak pernah terpikir akan menantang ketika aku belum merasakan sendiri. 2. Ibu merespon apa yang dia dengar dan dia baca dengan cara berbeda Aku akan terima saja kalau dibilang baper, tetapi memang setelah melewati banyak proses rasanya jadi ibu membuatku lebih thoughtful dalam berucap dan menulis. Karena ibu merasakan apa yang ia dengar dan ia baca dengan mendalam, sambil memutar kembali rekaman peristiwa yang ia alami. Hal ini tidak remeh, karena mengasah empati. Suatu skill yang penting dimiliki seseor

Dalam Upacara Perpisahanku

Malam itu puluhan orang berkumpul, di ruang yang tak punya tembok, atap, lantai, maupun jendela Mereka tidak masuk lewat pintu, tetapi dari sesuatu bernama tautan   Sambutan demi sambutan, cerita indah hingga sedih, saut menyaut Ingin rasanya aku menanggapi tiap kisah yang mereka lontarkan Misalnya, ketika ada yang bilang aku orang yang tegar -- padahal tidak jarang aku mengeluh dan menangis diam-diam Atau.. Ketika ada yang mengatakan masih punya utang janji padaku, rasanya ingin kutagih tunai malam itu juga   Tapi apa, aku tak ada..  Di daftar nama peserta itu, namaku tak nampak Di layar itu, fotoku tak terlihat Ternyata begini rasanya bisa menyembunyikan tawa dan tangis tanpa harus menutup  microphone  atau kamera -- yang biasa aku lakukan beberapa bulan ini, setiap hari   Dalam upacara tersebut, tidak ada lagi kesal.. Tak ada lagi benci.. Tuntas sudah yang belum selesai Yang ada hanya rasa sayang, rasa syukur aku pernah bertemu mereka dan mencipta banyak kisah indah, unik, atau mela

Jalan Kesana

Kata mama saya, sejak dulu anaknya ini terobsesi dengan Inggris. Asumsi yang didasari oleh hobi masa kecil saya mengumpulkan post card gratisan dari majalah Bobo. Salah satu favorit saya waktu itu yang bergambar Princess Diana. Gak paham lagi, dia anggun banget dan berjiwa sosial, super ngefans! Waktu kecil belum paham tentang skandal percintaannya, jadi tiada celah baginya wkwk. Lalu suatu hari saya pasang post card tersebut di album foto, di sebelah gambar saya lagi tiup lilin ulang tahun ke-5. Kayaknya random aja waktu itu, bukan ala ala sikap yang penting untuk dikenang bertahun-tahun kemudian. Saya sendiri lupa sama sekali kejadian itu. Dan ingin ke London karena entah kenapa saya penasaran sama Inggris, belum pernah kesana, dan negara itu tampak sangat unik. Banyak musikus yang karyanya saya nikmati berasal dari Inggris, seperti The Beatles, Elton John, Sting, Coldplay. Saya selalu yakin nuansa sebuah kota berpengaruh terhadap jiwa seni warganya, semacam Jogja atau Ba