Sore itu adalah sore yang sangat biasa, langit sedikit berawan, dan selasar kampus ramai oleh mahasiswa. Sore itu menjadi agak berbeda karena seorang dosen pembimbing mengatakan bahwa ada yang salah pada kesimpulan skripsiku. Bukan hanya agak, tetapi sangat berbeda.
Mendadak suasana riuh ramai dan awan yang biru semu abu-abu jadi tidak bersahabat. Aku berjalan agak sempoyongan menghampiri sekelompok kursi di depan ruang organisasi mahasiswa. Sambil menunggu seseorang, aku berpikir tentang enam hari ke depan, tanggal pendadaran dan tes komprehensif yang telah ditentukan. Bayangan bahwa skripsiku akan “dihajar” menempel kuat di otak. Skripsi yang akan dihajar itu adalah beberapa lembar halaman yang teramat berharga bagiku, yang membuatku seringkali menghabiskan subuh untuk berjibaku bersamanya, dan tidur teramat larut untuk menuntaskannya. Skripsi itu adalah batu ukir yang membiarkanku jadi pemahat yang sangat bekerja keras, aku selalu membanggakannya, dan ternyata ia skripsi dengan kesimpulannya yang salah.
“Gimana tadi?” sapanya.
“Kesimpulanku ada yang salah. Mungkin presentasiku besok bakal sangat berbeda dengan yang kutulis kemarin.”
Kami berada dalam kebingungan yang sama. Beberapa kali dia meyakinkanku bahwa semua akan selesai dan akan baik-baik saja. Namun sulit bagiku untuk mencernanya dengan tenang.
“Kita pulang saja.” aku berusaha menyelesaikan perbincangan absurd pesimistis itu.
“Makan yuk!”
“Ya, boleh..”
“Bebek ya..”
“Ya.”
Kupasang helm dan kami segera melaju. Seperti biasanya, 15.30 adalah jam macetnya Jalan Gejayan (yang sekarang jadi Jalan Affandi). Sulit sekali menyembunyikan buliran air mataku, dia memutar spionnya sedikit untuk dapat melihat mimikku, tapi kutolak dengan melengoskan wajah ke arah kiri.
Bebek Goreng H. Slamet sore itu tidak terlalu ramai, kami segera duduk dan pesan makanan. Aku memesan asal-asalan. Kami makan dengan hikmat dan kembali membuka obrolan.
“Jadi, kamu mau gimana?” tandasnya.
Malas sekali menjawab, karena aku belum tahu harus apa. Yang kulakukan adalah memberi jawaban yang (mungkin) menyebalkan, dan menunduk menatap piring bebek gorengku yang tidak berkurang banyak. Ada apa dengan Pak Slamet sore itu, kenapa bebeknya tidak enak. Pak Slamet adalah seseorang yang kukagumi, hal itu terjadi begitu naturalnya karena seporsi bebek goreng di warungnya selalu berhasil membuatku ingin kembali lagi. Sore itu aku mengakhiri santapan di suapan keenam.
“Aku udah, pulang yuk.”
Dia menganguk maklum, menepuk pundakku, dan kami melaju lagi.
Sore itu adalah enam hari sebelum hari penentuan kelulusanku. Sore itu aku menangis berkali-kali, karena ketakutan yang teramat besar.
Enam hari setelah sore itu kutemui sore yang begitu hingar bingar. Skripsiku yang tidak sama sekali dihajar, dan dia yang tersenyum seakan berkata tuh kan, kamu bisa.
Andai saja aku bisa melihat hari depan, mungkin rasa bebek goreng itu akan selalu sama. Dan mungkin aku tidak akan terdewasakan oleh rasa khawatir, rasa takut, dan beberapa tangisan. Satu hal yang lebih penting adalah aku menjadi tahu bahwa dia selalu menemaniku, tetap tersenyum dan menyemangatiku. Baik di kala rasa bebek goreng itu nikmat, sedikit gosong, atau hambar sama sekali bagiku.
Untukmu yang sedang berjuang untuk skripsimu, setelah menemaniku tanpa lelah memperjuangkan skripsiku. Jutaan ucapan terima kasih dan doaku untukmu.
Komentar
Posting Komentar