Langsung ke konten utama

Tuhan, Apakah Sebuah Kesedihan Dapat Membuat Hamba Mati?

Beberapa kali aku bermimpi tentang kondisi kematian diri sendiri. Pernah sesak napas, pernah dibunuh orang, pernah pula ditabrak bus kota. Dari kesemuanya tidak ada satupun yang menyakitkan, selain rasa takut menjelang kematian itu sendiri. Aku selalu diselamatkan oleh sebuah pagi, bangun tidur, dan bernapas lega. Oh, cuma mimpi. Kuharap aku akan mati dalam ketidaksadaran, di atas ranjang harianku. Tidak heroik memang, tetapi itulah inginku.

Mati karena sakit mungkin akan sangat menyakitkan, atau justru penuh persiapan. Entahlah. Yang pasti tidak semua penyakit punya obat, dan tidak semua obat mampu menyembuhkan penyakit. Terpujilah para dokter di dunia yang selalu memenangkan hati seorang pasien. Setidaknya pesakitan yang datang akan berpikir bahwa mereka dapat disembuhkan, terlepas dari apakah yang mereka dengar adalah fakta atau sekedar bius sosial. Bagiku mempercayai kabar baik merupakan setengah dari kesembuhan itu sendiri. Syukurlah.

Sakit pada fisik selalu punya rujukan terdekat untuk disembuhkan dengan obat, sayangnya tidak dengan sakit hati-dalam artian konotasi-. Efek sakit hati tak seorang pun bisa memprediksikan, penuh dengan subjektivitas dan faktor historis. Bila ditanya apa saja gejalanya jelas tak terjelaskan. Stadium, masa penyembuhan, dan tingkat kesembuhan dari sakit hati pun bisa jadi jauh lebih misteri dari Gunung Merapi.

Sakit hati dapat diproyeksikan menjadi kesedihan berkepanjangan mendalam, tanpa dapat dieksaminasi. Semua orang bisa sedih, dan berhak sedih tanpa terkecuali. Banyak orang berkata bahwa setiap kesedihan pasti akan bertemu dengan kesembuhannya. Namun, kembali, berapa lama harus menanti datangnya kesembuhan? Atau, apa sesungguhnya yang mengisi kesedihan itu sendiri? Kebencian, kenangan, ekspektasi, ataukah kekecewaan? Hanya Tuhan dan pesakitan yang tahu.

Aku pernah berpikir, apakah sakit hati dapat membunuh seperti yang dilakukan oleh penyakit bernama leukimia atau HIV AIDS. Yang aku tahu adalah bukan kesedihan yang secara langsung membunuh, melainkan dampak dari kesedihan itu. Salah satunya bunuh diri-yang pada akhirnya bersinggungan dengan sakit yang diderita fisik-.


Berkali-kali aku dihajar oleh sedih yang tak terperi, tetapi untuk kali yang sama aku tak juga menemukan imun atas sakit ini. Barangkali aku memang belum pernah sembuh. 

Analisisku menemui kebuntuannya, kututup dengan sebuah pertanyaan, "Tuhan, apakah sebuah kesedihan dapat membuat hamba mati?". 

Lalu Tuhan menjawab, bila aku mati karena kesedihan akan ada sebuah kesedihan lain yang jauh lebih besar. Bahwa aku sesungguhnya tidak benar-benar mempercayai kemahaanNya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hari-hari Menjadi Ibu

Hampir tujuh tahun menjadi ibu, sekarang jadi sadar bahwa perjuangan dan perjalanan yang luar biasa itu bukan sekedar jargon atau ungkapan klise. Di dua sampai tiga tahun pertama merasakan mengurus bayi hingga batita membuat aku sadar tentang: 1. Hal yang biasa terlihat mudah, ternyata luar biasa menantang Sebut saja, menyusui, menyuapi anak sampai bisa makan sesuai porsi, tetap tenang ketika mereka sakit, atau tidak menangis ketika ASI yang baru kita perah tumpah. Hal-hal tersebut tidak pernah terpikir akan menantang ketika aku belum merasakan sendiri. 2. Ibu merespon apa yang dia dengar dan dia baca dengan cara berbeda Aku akan terima saja kalau dibilang baper, tetapi memang setelah melewati banyak proses rasanya jadi ibu membuatku lebih thoughtful dalam berucap dan menulis. Karena ibu merasakan apa yang ia dengar dan ia baca dengan mendalam, sambil memutar kembali rekaman peristiwa yang ia alami. Hal ini tidak remeh, karena mengasah empati. Suatu skill yang penting dimiliki seseor

Dalam Upacara Perpisahanku

Malam itu puluhan orang berkumpul, di ruang yang tak punya tembok, atap, lantai, maupun jendela Mereka tidak masuk lewat pintu, tetapi dari sesuatu bernama tautan   Sambutan demi sambutan, cerita indah hingga sedih, saut menyaut Ingin rasanya aku menanggapi tiap kisah yang mereka lontarkan Misalnya, ketika ada yang bilang aku orang yang tegar -- padahal tidak jarang aku mengeluh dan menangis diam-diam Atau.. Ketika ada yang mengatakan masih punya utang janji padaku, rasanya ingin kutagih tunai malam itu juga   Tapi apa, aku tak ada..  Di daftar nama peserta itu, namaku tak nampak Di layar itu, fotoku tak terlihat Ternyata begini rasanya bisa menyembunyikan tawa dan tangis tanpa harus menutup  microphone  atau kamera -- yang biasa aku lakukan beberapa bulan ini, setiap hari   Dalam upacara tersebut, tidak ada lagi kesal.. Tak ada lagi benci.. Tuntas sudah yang belum selesai Yang ada hanya rasa sayang, rasa syukur aku pernah bertemu mereka dan mencipta banyak kisah indah, unik, atau mela

Jalan Kesana

Kata mama saya, sejak dulu anaknya ini terobsesi dengan Inggris. Asumsi yang didasari oleh hobi masa kecil saya mengumpulkan post card gratisan dari majalah Bobo. Salah satu favorit saya waktu itu yang bergambar Princess Diana. Gak paham lagi, dia anggun banget dan berjiwa sosial, super ngefans! Waktu kecil belum paham tentang skandal percintaannya, jadi tiada celah baginya wkwk. Lalu suatu hari saya pasang post card tersebut di album foto, di sebelah gambar saya lagi tiup lilin ulang tahun ke-5. Kayaknya random aja waktu itu, bukan ala ala sikap yang penting untuk dikenang bertahun-tahun kemudian. Saya sendiri lupa sama sekali kejadian itu. Dan ingin ke London karena entah kenapa saya penasaran sama Inggris, belum pernah kesana, dan negara itu tampak sangat unik. Banyak musikus yang karyanya saya nikmati berasal dari Inggris, seperti The Beatles, Elton John, Sting, Coldplay. Saya selalu yakin nuansa sebuah kota berpengaruh terhadap jiwa seni warganya, semacam Jogja atau Ba