Beberapa kali aku bermimpi tentang kondisi kematian diri sendiri. Pernah sesak napas, pernah dibunuh orang, pernah pula ditabrak bus kota. Dari kesemuanya tidak ada satupun yang menyakitkan, selain rasa takut menjelang kematian itu sendiri. Aku selalu diselamatkan oleh sebuah pagi, bangun tidur, dan bernapas lega. Oh, cuma mimpi. Kuharap aku akan mati dalam ketidaksadaran, di atas ranjang harianku. Tidak heroik memang, tetapi itulah inginku.
Mati karena sakit mungkin akan sangat menyakitkan, atau justru penuh persiapan. Entahlah. Yang pasti tidak semua penyakit punya obat, dan tidak semua obat mampu menyembuhkan penyakit. Terpujilah para dokter di dunia yang selalu memenangkan hati seorang pasien. Setidaknya pesakitan yang datang akan berpikir bahwa mereka dapat disembuhkan, terlepas dari apakah yang mereka dengar adalah fakta atau sekedar bius sosial. Bagiku mempercayai kabar baik merupakan setengah dari kesembuhan itu sendiri. Syukurlah.
Sakit pada fisik selalu punya rujukan terdekat untuk disembuhkan dengan obat, sayangnya tidak dengan sakit hati-dalam artian konotasi-. Efek sakit hati tak seorang pun bisa memprediksikan, penuh dengan subjektivitas dan faktor historis. Bila ditanya apa saja gejalanya jelas tak terjelaskan. Stadium, masa penyembuhan, dan tingkat kesembuhan dari sakit hati pun bisa jadi jauh lebih misteri dari Gunung Merapi.
Sakit hati dapat diproyeksikan menjadi kesedihan berkepanjangan mendalam, tanpa dapat dieksaminasi. Semua orang bisa sedih, dan berhak sedih tanpa terkecuali. Banyak orang berkata bahwa setiap kesedihan pasti akan bertemu dengan kesembuhannya. Namun, kembali, berapa lama harus menanti datangnya kesembuhan? Atau, apa sesungguhnya yang mengisi kesedihan itu sendiri? Kebencian, kenangan, ekspektasi, ataukah kekecewaan? Hanya Tuhan dan pesakitan yang tahu.
Aku pernah berpikir, apakah sakit hati dapat membunuh seperti yang dilakukan oleh penyakit bernama leukimia atau HIV AIDS. Yang aku tahu adalah bukan kesedihan yang secara langsung membunuh, melainkan dampak dari kesedihan itu. Salah satunya bunuh diri-yang pada akhirnya bersinggungan dengan sakit yang diderita fisik-.
Berkali-kali aku dihajar oleh sedih yang tak terperi, tetapi untuk kali yang sama aku tak juga menemukan imun atas sakit ini. Barangkali aku memang belum pernah sembuh.
Analisisku menemui kebuntuannya, kututup dengan sebuah pertanyaan, "Tuhan, apakah sebuah kesedihan dapat membuat hamba mati?".
Lalu Tuhan menjawab, bila aku mati karena kesedihan akan ada sebuah kesedihan lain yang jauh lebih besar. Bahwa aku sesungguhnya tidak benar-benar mempercayai kemahaanNya.
[Gambar]
Komentar
Posting Komentar