Langsung ke konten utama

Agustus


Selalu ada yang istimewa di bulan Agustus. Begitulah yang kupahami sejak kecil. Agustus berarti perayaan hari kemerdekaan Republik Indonesia. Yang artinya lomba-lomba di komplek rumahku dan malam pentas seni. Aku selalu menyambutnya dengan kegirangan, dan memenangkan banyak perlombaan. Mulai dari lomba membaca teks proklamasi, sepeda gembira, dan makan kerupuk. Hal itu tak pernah lepas dari dorongan ayahku yang lebay-lebaynya mengalokasikan waktu seharian penuh untuk menghias sepedaku dan adikku dengan kertas krep beraneka warna.

Beranjak dewasa, lomba-lomba agustusan sudah tak lagi aku ikuti, Agustus menyepi. Aku dipaksa untuk memahami makna lain tentang hari kemerdekaan, barangkali tentang cerita perjuangan pemuda masa itu. Sejak itu aku mulai menulis.

Agustus tahun ini tentu tak sama, Ramadhan dan Idul Fitri akan turut menghiasi. Aku ingat betul saat kecil lebaran selalu berdekatan dengan natal di akhir tahun. Tanggal lebaran yang bergeser tiap tahun menjadikan kali ini Agustus yang dapat giliran. Tak jadi soal, kuucapkan selamat kepada Agustus atas keberkahan yang terlimpah baginya di tahun ini.

Lebaran juga selalu jadi yang kutunggu-tunggu dulu, karena mudiknya, kue-kue manis, baju baru, dan bersenang-senang dengan saudara. Kesenangan macam itu terdegradasi tiap tahun, kurasa. Beberapa tahun belakangan lebaran jadi membosankan, terutama setelah nenekku tiada yang artinya acara kumpul keluarga jadi tereliminasi. Baju baru juga tidak lagi menciptakan kesenangan yang segitunya. Akupun mulai (harus) mencari sumber kebahagiaan baru untuk memaknai Idul Fitri. Sejak itu aku mulai belajar tentang konsep kembali fitrah dan sebagainya.

Ya, semakin dewasa semakin aku merasakan ilmu “penciptaan” kebahagiaan untuk diri sendiri haruslah dikuasai. Sejak aku tahu bahwa manisnya permen hanya begitu-begitu saja dan ternyata terlalu banyak mengkonsumsinya dapat berdampak buruk pada kesehatan gigi, aku menyadari bukan sebuah bendalah sumber dari kebahagiaan. Sama halnya, sejak ayahku mulai marah bila aku mendapat nilai jelek di sekolah dan ibuku dengan banyak tuntutannya, aku makin memahami, manusia lain pun tak akan pernah jadi sumber kebahagiaan utama.

Tetapi tidak bisa begitu saja dinafikkan. Bahwa kehadiran keluarga, sahabat, kekasih, kembang gula, baju baru, dan buku kesayangan, merupakan pelengkap hidup yang dapat membiarkan diriku dengan leluasa belajar menemukan kebahagiaan baru setiap waktu.

Saat aku melihat kalender sore ini, dan melihat tanggal menunjukkan 31 Juli 2012, entah kenapa ada rasa haru dan syukur yang luar biasa besar. Agustus kuharap akan sama indahnya seperti saat aku masih duduk di bangku taman kanak-kanak. Agustus kuharap menjadi sebuah pembebasan dari Juli kemarin yang cukup kelabu. Agustus kuharap akan terlengkapi dengan benda hidup dan benda mati kesayanganku. Agustus ini kuharap jadi waktu yang tepat untuk memperdalam kecakapanku dalam menyayangi hati dengan berusaha senantiasa bahagia.


Agustus ini aku akan wisuda. Sebuah alasan besar mengapa seharusnya bahagia, setelah empat tahun bergulat dengan buku-buku super tebal, 51 mata kuliah, dan 61 halaman skripsi.


gambar

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hari-hari Menjadi Ibu

Hampir tujuh tahun menjadi ibu, sekarang jadi sadar bahwa perjuangan dan perjalanan yang luar biasa itu bukan sekedar jargon atau ungkapan klise. Di dua sampai tiga tahun pertama merasakan mengurus bayi hingga batita membuat aku sadar tentang: 1. Hal yang biasa terlihat mudah, ternyata luar biasa menantang Sebut saja, menyusui, menyuapi anak sampai bisa makan sesuai porsi, tetap tenang ketika mereka sakit, atau tidak menangis ketika ASI yang baru kita perah tumpah. Hal-hal tersebut tidak pernah terpikir akan menantang ketika aku belum merasakan sendiri. 2. Ibu merespon apa yang dia dengar dan dia baca dengan cara berbeda Aku akan terima saja kalau dibilang baper, tetapi memang setelah melewati banyak proses rasanya jadi ibu membuatku lebih thoughtful dalam berucap dan menulis. Karena ibu merasakan apa yang ia dengar dan ia baca dengan mendalam, sambil memutar kembali rekaman peristiwa yang ia alami. Hal ini tidak remeh, karena mengasah empati. Suatu skill yang penting dimiliki seseor

Dalam Upacara Perpisahanku

Malam itu puluhan orang berkumpul, di ruang yang tak punya tembok, atap, lantai, maupun jendela Mereka tidak masuk lewat pintu, tetapi dari sesuatu bernama tautan   Sambutan demi sambutan, cerita indah hingga sedih, saut menyaut Ingin rasanya aku menanggapi tiap kisah yang mereka lontarkan Misalnya, ketika ada yang bilang aku orang yang tegar -- padahal tidak jarang aku mengeluh dan menangis diam-diam Atau.. Ketika ada yang mengatakan masih punya utang janji padaku, rasanya ingin kutagih tunai malam itu juga   Tapi apa, aku tak ada..  Di daftar nama peserta itu, namaku tak nampak Di layar itu, fotoku tak terlihat Ternyata begini rasanya bisa menyembunyikan tawa dan tangis tanpa harus menutup  microphone  atau kamera -- yang biasa aku lakukan beberapa bulan ini, setiap hari   Dalam upacara tersebut, tidak ada lagi kesal.. Tak ada lagi benci.. Tuntas sudah yang belum selesai Yang ada hanya rasa sayang, rasa syukur aku pernah bertemu mereka dan mencipta banyak kisah indah, unik, atau mela

Jalan Kesana

Kata mama saya, sejak dulu anaknya ini terobsesi dengan Inggris. Asumsi yang didasari oleh hobi masa kecil saya mengumpulkan post card gratisan dari majalah Bobo. Salah satu favorit saya waktu itu yang bergambar Princess Diana. Gak paham lagi, dia anggun banget dan berjiwa sosial, super ngefans! Waktu kecil belum paham tentang skandal percintaannya, jadi tiada celah baginya wkwk. Lalu suatu hari saya pasang post card tersebut di album foto, di sebelah gambar saya lagi tiup lilin ulang tahun ke-5. Kayaknya random aja waktu itu, bukan ala ala sikap yang penting untuk dikenang bertahun-tahun kemudian. Saya sendiri lupa sama sekali kejadian itu. Dan ingin ke London karena entah kenapa saya penasaran sama Inggris, belum pernah kesana, dan negara itu tampak sangat unik. Banyak musikus yang karyanya saya nikmati berasal dari Inggris, seperti The Beatles, Elton John, Sting, Coldplay. Saya selalu yakin nuansa sebuah kota berpengaruh terhadap jiwa seni warganya, semacam Jogja atau Ba