Langsung ke konten utama

"S"

Tidak tahu dari mana awalnya dan dimana rimbanya, namun proses ini terasa sangat tidak mudah. Sebuah proses menghasilan karya yang menjadi sebuah prasyarat kelulusan seorang mahasiswa strata satu. Elegi enam SKS yang tak selamanya mempertemukan antara gairah pribadi dengan dunia penelitian. Kadang prosesnya dipenuhi keluh, ada yang pergi ke tukang data, ada yang menyadur hampir sama dengan penelitian sebelumnya, dan ada pula yang merogoh kocek lalu “sim salabim”! Skipsi jadi dalam beberapa minggu tanpa banyak merepotkan jiwa, raga, hati, dan pikiran dari sebuah nama yang tertulis di halaman sampul. Beberapa orang mengernyit setiap hari meratapi model penelitian yang terlampau sulit dan tak dimengerti, teman-temannya mengolok dan berujar “salah sendiri”.



Seorang dosen mengatakan sebuah kalimat yang kurang lebih “Kalian pantas untuk menderita, karena kalian baru belajar sedikit saja.” Dalam konteks ilmu, barangkali ia benar. Walau sudah tahu tentang banyak hal yang ilmu pelajari, berbagai perjanjian dan aturan mengatakan bahwa kami harus tahu tentang gagasan serupa yang telah ada sebelumnya, siapa yang mengungkapkannya, dan nama apa yang diberikan pada teori tersebut.

Siapa yang mau percaya pada kami? Mungkin itu pertanyaan yang juga sebuah jawaban. Dari sebuah pertanyaan yang mendahuluinya, “Mengapa aku harus mempermasalahkan sesuatu yang sepertinya kutahu apa jawabnya?”, “Mengapa repot-repot berkeliling saat aku tahu asumsiku bisa jadi 100 persen akurat?”, atau “Aku melihat fakta mengatakan demikian, kuesioner dan pengolahan data kadang justru membuat yang ada jadi tak terbukti.” Lucu.

Pertanyaan tersebut jelas melukai para peneliti dan Damodar Gujarati (ilmuwan ekonometri). Ampun!

Pada akhirnya, walau disanggah setengah mati, dan demi sebuah cinta pada dunia. Entah dunia yang sebenarnya atau dunia ilmu saja, yang masih jauh dari realita kami harus mengalah dan terus berusaha. Duduk tenang di hadapan layar komputer, mata sibuk mengelilingi lembar demi lembar jurnal. Konsekuensi logis dari tuntutan gelar sarjana yang kredibel bagi nusa dan bangsa, agama, dunia sampai akhirat.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dalam Upacara Perpisahanku

Malam itu puluhan orang berkumpul, di ruang yang tak punya tembok, atap, lantai, maupun jendela Mereka tidak masuk lewat pintu, tetapi dari sesuatu bernama tautan   Sambutan demi sambutan, cerita indah hingga sedih, saut menyaut Ingin rasanya aku menanggapi tiap kisah yang mereka lontarkan Misalnya, ketika ada yang bilang aku orang yang tegar -- padahal tidak jarang aku mengeluh dan menangis diam-diam Atau.. Ketika ada yang mengatakan masih punya utang janji padaku, rasanya ingin kutagih tunai malam itu juga   Tapi apa, aku tak ada..  Di daftar nama peserta itu, namaku tak nampak Di layar itu, fotoku tak terlihat Ternyata begini rasanya bisa menyembunyikan tawa dan tangis tanpa harus menutup  microphone  atau kamera -- yang biasa aku lakukan beberapa bulan ini, setiap hari   Dalam upacara tersebut, tidak ada lagi kesal.. Tak ada lagi benci.. Tuntas sudah yang belum selesai Yang ada hanya rasa sayang, rasa syukur aku pernah bertemu mereka dan mencipta banyak...

Jalan Kesana

Kata mama saya, sejak dulu anaknya ini terobsesi dengan Inggris. Asumsi yang didasari oleh hobi masa kecil saya mengumpulkan post card gratisan dari majalah Bobo. Salah satu favorit saya waktu itu yang bergambar Princess Diana. Gak paham lagi, dia anggun banget dan berjiwa sosial, super ngefans! Waktu kecil belum paham tentang skandal percintaannya, jadi tiada celah baginya wkwk. Lalu suatu hari saya pasang post card tersebut di album foto, di sebelah gambar saya lagi tiup lilin ulang tahun ke-5. Kayaknya random aja waktu itu, bukan ala ala sikap yang penting untuk dikenang bertahun-tahun kemudian. Saya sendiri lupa sama sekali kejadian itu. Dan ingin ke London karena entah kenapa saya penasaran sama Inggris, belum pernah kesana, dan negara itu tampak sangat unik. Banyak musikus yang karyanya saya nikmati berasal dari Inggris, seperti The Beatles, Elton John, Sting, Coldplay. Saya selalu yakin nuansa sebuah kota berpengaruh terhadap jiwa seni warganya, semacam Jogja atau Ba...

Dalaila Gisdara

Sebuah frase yang masih membuat saya sedikit geli tiap kali diucapkan, ketika kami ke klinik anak untuk imunisasi misalnya. Sebuah nama lengkap yang 100 persen dibuat oleh ayahnya, semudah mencuplik nama Dalai Lama dan Gusdur. Sejak awal kami berkomitmen untuk membuat nama yang sederhana dan Indonesia banget. Kendatipun demikian masih banyak yang bilang nama ini rumit dan berat. Yasudah, mudahnya panggil saja dia Agis. Agis punya wajah yang manis, entah, sampai sekarang masih dalam perdebatan mirip siapakah bayi ini. Saya suka sekali dengan senyumnya yang menyapa di pagi hari dan setiap malam sepulang saya dari kantor. Saya juga suka sekali dengan tangisnya saat minta minum atau merasa popoknya sudah tidak lagi nyaman. Saya menyukai tiap senti yang ada pada Agis, entah indah atau tidak. Kadang masih tidak percaya bahwa Agis adalah bagian dari saya, bahwa keberadaannya dimulai dari kehidupan saya.  Beberapa minggu setelah melahirkan Agis, saya sempat m...