Langsung ke konten utama

Jalan-jalan


Macet seperti biasa masih menghiasi jendela kantor yang menyuguhi pemandangan jalanan Jakarta. Dua menit, lima menit, setengah jam. Rasanya sama saja untuk beranjak sekarang atau harus menunggu agak lama, otak sudah gusar. Dia minta pulang.

Mari kita jalan-jalan! Jalan pulang yang semestinya hanya berjarak Seturan-Jalan Magelang berubah jadi Jogja-Karanganyar. Dibumbui dengan berhenti lama-lama dan pengap dalam busway yang penuh sesak. Tak ada satu perjalanan pun yang tak menyenangkan.

Aku melangkah ke kursi dekat supir, hanya untuk melihat selama apa dia akan bersabar karena jalurnya selalu diserobot orang. Sesekali ia melirik lewat spion tengah, hanya untuk memastikan banyak nyawa yang menumpang. Banyak orang yang sedang ditunggu di rumah masing-masing sedang ia bawa. Lalu si juru mudi menghela napas. Sabar telah menjadi pilihan pertama sekaligus terakhir baginya. Setiap hari.

Di busway aku kehilangan efek grafitasi, karena tiap aku doyong tubuhku akan terdorong tegak lagi. Untuk memiringkan tubuh pun tak ada tempat tersisa. Kadang-kadang aku mengintip layar ponsel mbak-mbak di sebelah, yang sedang berkirim pesan dengan orang yang ia namai “suamiku”. Kali ini aku mau menghela napas agak lama.

Saat aku kelewat letih, saat merasa mengapa mesti hidup dengan sebegini susahnya, selalu ada saja hal kecil yang mengingatkan. Misalnya, wajah seorang bapak dengan pakaian kotor dan wajah berkeringatnya. Ia jelas lebih lelah, setidaknya secara fisik. Dengan tas ransel yang sobek di beberapa bagian dan sepatu kebesaran yang sepertinya tidak nyaman dikenakan, kami turun di halte yang sama. Mataku tak lepas dari setiap langkahnya.

Begitulah jalan-jalan sore yang terpaksa harus kunikmati. Dan kebetulan, aku selalu menikmatinya.


Tergugah oleh semangat para pekerja ibukota dan perjalanan mereka.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dalam Upacara Perpisahanku

Malam itu puluhan orang berkumpul, di ruang yang tak punya tembok, atap, lantai, maupun jendela Mereka tidak masuk lewat pintu, tetapi dari sesuatu bernama tautan   Sambutan demi sambutan, cerita indah hingga sedih, saut menyaut Ingin rasanya aku menanggapi tiap kisah yang mereka lontarkan Misalnya, ketika ada yang bilang aku orang yang tegar -- padahal tidak jarang aku mengeluh dan menangis diam-diam Atau.. Ketika ada yang mengatakan masih punya utang janji padaku, rasanya ingin kutagih tunai malam itu juga   Tapi apa, aku tak ada..  Di daftar nama peserta itu, namaku tak nampak Di layar itu, fotoku tak terlihat Ternyata begini rasanya bisa menyembunyikan tawa dan tangis tanpa harus menutup  microphone  atau kamera -- yang biasa aku lakukan beberapa bulan ini, setiap hari   Dalam upacara tersebut, tidak ada lagi kesal.. Tak ada lagi benci.. Tuntas sudah yang belum selesai Yang ada hanya rasa sayang, rasa syukur aku pernah bertemu mereka dan mencipta banyak...

Jalan Kesana

Kata mama saya, sejak dulu anaknya ini terobsesi dengan Inggris. Asumsi yang didasari oleh hobi masa kecil saya mengumpulkan post card gratisan dari majalah Bobo. Salah satu favorit saya waktu itu yang bergambar Princess Diana. Gak paham lagi, dia anggun banget dan berjiwa sosial, super ngefans! Waktu kecil belum paham tentang skandal percintaannya, jadi tiada celah baginya wkwk. Lalu suatu hari saya pasang post card tersebut di album foto, di sebelah gambar saya lagi tiup lilin ulang tahun ke-5. Kayaknya random aja waktu itu, bukan ala ala sikap yang penting untuk dikenang bertahun-tahun kemudian. Saya sendiri lupa sama sekali kejadian itu. Dan ingin ke London karena entah kenapa saya penasaran sama Inggris, belum pernah kesana, dan negara itu tampak sangat unik. Banyak musikus yang karyanya saya nikmati berasal dari Inggris, seperti The Beatles, Elton John, Sting, Coldplay. Saya selalu yakin nuansa sebuah kota berpengaruh terhadap jiwa seni warganya, semacam Jogja atau Ba...

Dalaila Gisdara

Sebuah frase yang masih membuat saya sedikit geli tiap kali diucapkan, ketika kami ke klinik anak untuk imunisasi misalnya. Sebuah nama lengkap yang 100 persen dibuat oleh ayahnya, semudah mencuplik nama Dalai Lama dan Gusdur. Sejak awal kami berkomitmen untuk membuat nama yang sederhana dan Indonesia banget. Kendatipun demikian masih banyak yang bilang nama ini rumit dan berat. Yasudah, mudahnya panggil saja dia Agis. Agis punya wajah yang manis, entah, sampai sekarang masih dalam perdebatan mirip siapakah bayi ini. Saya suka sekali dengan senyumnya yang menyapa di pagi hari dan setiap malam sepulang saya dari kantor. Saya juga suka sekali dengan tangisnya saat minta minum atau merasa popoknya sudah tidak lagi nyaman. Saya menyukai tiap senti yang ada pada Agis, entah indah atau tidak. Kadang masih tidak percaya bahwa Agis adalah bagian dari saya, bahwa keberadaannya dimulai dari kehidupan saya.  Beberapa minggu setelah melahirkan Agis, saya sempat m...