Langsung ke konten utama

Hibernasi


Kebiasaan sangat buruk sudah menggelayuti saya –setidaknya setahunan ini- membiarkan laptop dalam hibernate mode. Bukannya sekalian melakukan shut down. Alasan utama kepraktisan selalu jadi pemenang dalam setiap pergulatan hati -yang khawatir perangkatnya akan rusak-. Salahkan skripsi dan kroninya. Membuat saya jadi tak rela membiarkan inspirasi “ilmiah” pergi karena menanti loading saat menyalakan laptop.

Hampir menginjak dua bulan, pasca jadi sarjana, akhirnya saya ampuni laptop itu. Mati beberapa saat. Benar-benar mati. Pasti akan saya nyalakan lagi sih, tapi belum tahu kapan karena komputer rumah atau kantor barangkali jauh lebih menarik.


Mungkin sudah sadar lama, tetapi baru mencoba mengakui bahwa nggak cuma laptop yang telah berhibernasi sering-sering dan lama-lama. Pemiliknya juga, saya. Sudah lama sekali hati terasa amat rapuh dan digerogoti melankolia kamar tertutup.Melankolia kamar tertutup adalah perasaan sedih berlebihan yang disebabkan berpikir sendiri berlebihan; berencana, mengkonsepkan, dan menyimpulkan sendiri secara keterlaluan. Minim aksi. Setidaknya itu definisi bikinan saya sendiri, karena daftar istilah psikologi yang masih rendahan.

Sudah saatnya menyala kembali. Bukan sleep, bukan hibernate. Sudah saatnya membuka pintu kamar, menyadari kehangatan matahari, deru mobil di jalan, semilir angin sore, romantisme malam, kehangatan keluarga, keceriaan sahabat, dan panggilanTuhan dari luar pagar. Di kepala –dari dulu- sudah dapat tercium aroma bukit tinggi yang mesti dan (harusnya) bisa didaki. Tak hanya itu, peta sudah dibuat di tangan. Entah sejak kapan. Think, conceive, plan. Tapi apalah artinya tanpa aksi. Sudah terlalu lama saya jadi manusia tanpa aksi. Atau melakukan aksi yang justru di luar rencana, atau melakukan aksi sesuai rencana tapi tidak terlalu bersungguh-sungguh, atau berkonsep tanpa henti, atau apalah yang membuat darah di tubuh terasa tidak benar-benar mengalir.

Sebenarnya saya tidak seberuntung laptop, karena saya tidak mungkin menyala lagi bila sampai di-shut down. Masih bagus berkutat di hibernate mode


Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dalam Upacara Perpisahanku

Malam itu puluhan orang berkumpul, di ruang yang tak punya tembok, atap, lantai, maupun jendela Mereka tidak masuk lewat pintu, tetapi dari sesuatu bernama tautan   Sambutan demi sambutan, cerita indah hingga sedih, saut menyaut Ingin rasanya aku menanggapi tiap kisah yang mereka lontarkan Misalnya, ketika ada yang bilang aku orang yang tegar -- padahal tidak jarang aku mengeluh dan menangis diam-diam Atau.. Ketika ada yang mengatakan masih punya utang janji padaku, rasanya ingin kutagih tunai malam itu juga   Tapi apa, aku tak ada..  Di daftar nama peserta itu, namaku tak nampak Di layar itu, fotoku tak terlihat Ternyata begini rasanya bisa menyembunyikan tawa dan tangis tanpa harus menutup  microphone  atau kamera -- yang biasa aku lakukan beberapa bulan ini, setiap hari   Dalam upacara tersebut, tidak ada lagi kesal.. Tak ada lagi benci.. Tuntas sudah yang belum selesai Yang ada hanya rasa sayang, rasa syukur aku pernah bertemu mereka dan mencipta banyak...

Jalan Kesana

Kata mama saya, sejak dulu anaknya ini terobsesi dengan Inggris. Asumsi yang didasari oleh hobi masa kecil saya mengumpulkan post card gratisan dari majalah Bobo. Salah satu favorit saya waktu itu yang bergambar Princess Diana. Gak paham lagi, dia anggun banget dan berjiwa sosial, super ngefans! Waktu kecil belum paham tentang skandal percintaannya, jadi tiada celah baginya wkwk. Lalu suatu hari saya pasang post card tersebut di album foto, di sebelah gambar saya lagi tiup lilin ulang tahun ke-5. Kayaknya random aja waktu itu, bukan ala ala sikap yang penting untuk dikenang bertahun-tahun kemudian. Saya sendiri lupa sama sekali kejadian itu. Dan ingin ke London karena entah kenapa saya penasaran sama Inggris, belum pernah kesana, dan negara itu tampak sangat unik. Banyak musikus yang karyanya saya nikmati berasal dari Inggris, seperti The Beatles, Elton John, Sting, Coldplay. Saya selalu yakin nuansa sebuah kota berpengaruh terhadap jiwa seni warganya, semacam Jogja atau Ba...

Dalaila Gisdara

Sebuah frase yang masih membuat saya sedikit geli tiap kali diucapkan, ketika kami ke klinik anak untuk imunisasi misalnya. Sebuah nama lengkap yang 100 persen dibuat oleh ayahnya, semudah mencuplik nama Dalai Lama dan Gusdur. Sejak awal kami berkomitmen untuk membuat nama yang sederhana dan Indonesia banget. Kendatipun demikian masih banyak yang bilang nama ini rumit dan berat. Yasudah, mudahnya panggil saja dia Agis. Agis punya wajah yang manis, entah, sampai sekarang masih dalam perdebatan mirip siapakah bayi ini. Saya suka sekali dengan senyumnya yang menyapa di pagi hari dan setiap malam sepulang saya dari kantor. Saya juga suka sekali dengan tangisnya saat minta minum atau merasa popoknya sudah tidak lagi nyaman. Saya menyukai tiap senti yang ada pada Agis, entah indah atau tidak. Kadang masih tidak percaya bahwa Agis adalah bagian dari saya, bahwa keberadaannya dimulai dari kehidupan saya.  Beberapa minggu setelah melahirkan Agis, saya sempat m...