Langsung ke konten utama

Momen Terakhir

Beruntunglah mereka yang dapat menikmati seremonial maupun momen yang terakhir.

Ada bakso ikan yang sangat enak di SD saya, harganya 250 rupiah saja. Setiap hari saya beli dua bungkus untuk dihabiskan kurang dari dua menit. Saking sukanya. Sampai sekarang saya masih suka memikirkan makanan itu, gurih bercampur pedas bakso kanji dengan bumbu kacangnya buat saya istimewa dan irreplaceable.

Sepertinya saya tidak akan bisa makan camilan magis itu lagi. Selain karena SD saya ada di kota yang jauh dari tempat tinggal saya sekarang, bakso ikan buatan seorang "Ece" itu mungkin sudah tidak ada lagi. Sebuah warung yang hanya punya satu meja dan berjualan di dekat kamar mandi (saat itu) barangkali akan sangat mudah kena gusur atau mundur sukarela. 

Iseng-iseng saya memikirkan kapan terakhir kali makan bakso ikan itu. Apakah saat perpisahan SD -yang biasanya tidak terdapat pedagang di sana-, atau mungkin saat saya UNAS -yang biasanya saya dilarang keras jajan sembarangan-. Melihat kedua kemungkinan yang sepertinya tidak mungkin terjadi, saya pikir terakhir kali saya makan bakso ikan tersebut adalah di sebuah hari yang biasa. Bukan sebuah hari istimewa saat saya bersedih dan akan "ngamuk" dengan makan bakso itu banyak-banyak, sebelum saya tidak akan dapat menjumpainya lagi selamanya.

Upacara kelulusan selalu jadi momen yang penting. untuk sebuah pekerjaan yang selesai sekaligus sebuah perpisahan besar. Ada momen tangis menangis dan buku kenangan dan yang dibagikan. Bahagia sekaligus sendu mewarnai, sampai kita sadar bahwa dalam liburan panjang mendatang akan dapat senantiasa berkumpul kembali dengan sahabat-sahabat lama di sekolah. "Pokoknya sebelum perpisahan kita harus jalan dulu ya", "Eh, mana utangmu, yang dulu buat beli mi ayam? Udah 2 tahun sampe lulus belum dibayar juga! hahaha". Setiap orang selalu punya cara untuk "ancang-ancang" sebelum yang terakhir itu datang dan berharap mampu membuat kenangan akan jadi lebih maha daya dibanding kerinduan, penyesalan, dan kesepian.

Bisa jadi keistimewaan acara perpisahan pagi ini bukan sebuah akhir, karena budhe yang mau berangkat jadi TKW ke Mekkah punya kemungkinan untuk kembali. Kalaupun tidak, setidaknya ada kalimat selamat jalan dan ucapan "aku sayang Budhe" yang mengantarnya. Hari ini juga bisa jadi (tanpa disadari) istimewa, karena besok kucing dapur yang lucu itu mungkin sudah kabur entah ke mana, dan aku belum sempat berterima kasih kepadanya sudah setia menemani saat sepi di rumah selama ini.


Bukan karena hari ini yang terakhir, maka ia jadi istimewa. Ketidaktahuan manusia akan momen terakhir yang membuat banyak hal jadi istimewa.


Diilhami oleh upacara pemakaman ibu dari seorang sahabat, di sebuah hari di tahun 2010.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hari-hari Menjadi Ibu

Hampir tujuh tahun menjadi ibu, sekarang jadi sadar bahwa perjuangan dan perjalanan yang luar biasa itu bukan sekedar jargon atau ungkapan klise. Di dua sampai tiga tahun pertama merasakan mengurus bayi hingga batita membuat aku sadar tentang: 1. Hal yang biasa terlihat mudah, ternyata luar biasa menantang Sebut saja, menyusui, menyuapi anak sampai bisa makan sesuai porsi, tetap tenang ketika mereka sakit, atau tidak menangis ketika ASI yang baru kita perah tumpah. Hal-hal tersebut tidak pernah terpikir akan menantang ketika aku belum merasakan sendiri. 2. Ibu merespon apa yang dia dengar dan dia baca dengan cara berbeda Aku akan terima saja kalau dibilang baper, tetapi memang setelah melewati banyak proses rasanya jadi ibu membuatku lebih thoughtful dalam berucap dan menulis. Karena ibu merasakan apa yang ia dengar dan ia baca dengan mendalam, sambil memutar kembali rekaman peristiwa yang ia alami. Hal ini tidak remeh, karena mengasah empati. Suatu skill yang penting dimiliki seseor

Dalam Upacara Perpisahanku

Malam itu puluhan orang berkumpul, di ruang yang tak punya tembok, atap, lantai, maupun jendela Mereka tidak masuk lewat pintu, tetapi dari sesuatu bernama tautan   Sambutan demi sambutan, cerita indah hingga sedih, saut menyaut Ingin rasanya aku menanggapi tiap kisah yang mereka lontarkan Misalnya, ketika ada yang bilang aku orang yang tegar -- padahal tidak jarang aku mengeluh dan menangis diam-diam Atau.. Ketika ada yang mengatakan masih punya utang janji padaku, rasanya ingin kutagih tunai malam itu juga   Tapi apa, aku tak ada..  Di daftar nama peserta itu, namaku tak nampak Di layar itu, fotoku tak terlihat Ternyata begini rasanya bisa menyembunyikan tawa dan tangis tanpa harus menutup  microphone  atau kamera -- yang biasa aku lakukan beberapa bulan ini, setiap hari   Dalam upacara tersebut, tidak ada lagi kesal.. Tak ada lagi benci.. Tuntas sudah yang belum selesai Yang ada hanya rasa sayang, rasa syukur aku pernah bertemu mereka dan mencipta banyak kisah indah, unik, atau mela

Jalan Kesana

Kata mama saya, sejak dulu anaknya ini terobsesi dengan Inggris. Asumsi yang didasari oleh hobi masa kecil saya mengumpulkan post card gratisan dari majalah Bobo. Salah satu favorit saya waktu itu yang bergambar Princess Diana. Gak paham lagi, dia anggun banget dan berjiwa sosial, super ngefans! Waktu kecil belum paham tentang skandal percintaannya, jadi tiada celah baginya wkwk. Lalu suatu hari saya pasang post card tersebut di album foto, di sebelah gambar saya lagi tiup lilin ulang tahun ke-5. Kayaknya random aja waktu itu, bukan ala ala sikap yang penting untuk dikenang bertahun-tahun kemudian. Saya sendiri lupa sama sekali kejadian itu. Dan ingin ke London karena entah kenapa saya penasaran sama Inggris, belum pernah kesana, dan negara itu tampak sangat unik. Banyak musikus yang karyanya saya nikmati berasal dari Inggris, seperti The Beatles, Elton John, Sting, Coldplay. Saya selalu yakin nuansa sebuah kota berpengaruh terhadap jiwa seni warganya, semacam Jogja atau Ba