Langsung ke konten utama

SALAH JALAN (catatan perjalanan AS bagian 4)


Di tulisan ini saya akan memberikan pengakuan, bahwa sering kali saya merasa salah jalan. Saya merasa pilihan-pilihan pekerjaan yang saya ambil cukup ‘ajaib’. Singkat cerita, sejak kuliah saya sangat ingin menjadi dosen, tetapi saya sadar bahwa tidak sepintar itu untuk dapat menjadi pengajar. Pasca lulus S1 saya berpikir untuk terlebih dahulu bekerja di sektor privat dan publik untuk mendapatkan sense yang memadai sebelum nantinya melanjutkan sekolah dan menggapai cita-cita menjadi dosen. Sejauh ini saya memang masih berada di track sesuai rencana, tetapi menjalani cita-cita ternyata tak semudah bayangan.

Pekerjaan saya sangat berbeda dengan yang umumnya digeluti teman-teman – yang mungkin di usia hampir lima tahun pengabdiannya ini sudah naik jabatan. Dalam Buku Lean In, Sheryl Sandberg menuliskan satu bagian khusus mengenai karir sebagai a jungle gym, not a ladder. Lebih luas dari itu menurut saya baik ladder maupun jungle gym sama-sama metode sebagaimana adanya di dunia kerja. Contohnya, ketika seseorang bekerja di lembaga negara dan beniat akan terus bertahan disana sampai pensiun, maka ia sedang menaiki berbagai anak tangga untuk sampai di puncak. Sedangkan, bagi sebagian peneliti (dan mungkin dosen), ada pola yang tidak dapat disamakan antara satu orang dan lainnya. Peneliti di bidang kesehatan harus melewati jalan yang berbeda dengan peneliti di bidang sosial. Bahkan dua dosen dari jurusan yang sama sekalipun belum tentu bisa melewati rute yang sama dalam perjuangan karir mereka.

Cita-cita atau karir yang sedang saya rintis saat ini lebih mengarah ke jungle gym. Dan hal yang paling berat dari ini adalah kesendirian. Saya paham betul bahwa saya akan sangat sering berganti rekan kerja, dan tidak banyak orang dapat memahami hal yang sedang diperjuangkan. Bahkan dalam pertemuan dengan inner circle sekalipun saya memilih tidak terlalu banyak menceritakan tentang pekerjaan dan memilih mendengarkan cerita tentang kantor “normal” lainnya. Ternyata tidak mudah untuk jadi anti mainstream :’)

Maaf atas curhatan yang (sok) konstruktif di beberapa paragraf di atas. Tak terbayangkan sebelumnya bahwa di usia kelima merintis karir saya masih menimbang-nimbang, apakah mau tetap di jalan yang sama? Mau cari pekerjaan beranak tangga? Atau berhenti memusingkan ini semua dan merumahkan diri untuk fokus membesarkan Agis saja?

Diskusi dengan The Fed St. Louis membuat saya semakin yakin bahwa wawasan saya yang masih selebar daun kelor. Sayang sekali saya tidak diperbolehkan membagi transkripnya disini. Hal yang pasti adalah disana saya banyak disadarkan mengenai substansi institusi keuangan dalam perekonomian, topik penelitian yang menarik, serta kesempatan karir bagi para pejuang jungle gym. Siang itu saya merasa tidak salah langkah, sejauh ini, dalam hal karir.




Hari itu adalah merupakan momen yang membuat saya bersyukur bahwa setiap langkah kecil yang saya ambil dengan penuh keraguan, ketakutan, dan kegelisahan, perlahan bertemu dengan alasan kenapa saya terus ada di rute tersebut. 

Amerika Serikat mungkin bukan negara favorit banyak orang, termasuk saya, tetapi tidak dapat saya pungkiri bahwa mereka ribuan langkah lebih maju dari kita. Saya mungkin tidak akan sampai ada di diskusi The Fed hari itu tanpa melewati jalan setapak ini. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dalam Upacara Perpisahanku

Malam itu puluhan orang berkumpul, di ruang yang tak punya tembok, atap, lantai, maupun jendela Mereka tidak masuk lewat pintu, tetapi dari sesuatu bernama tautan   Sambutan demi sambutan, cerita indah hingga sedih, saut menyaut Ingin rasanya aku menanggapi tiap kisah yang mereka lontarkan Misalnya, ketika ada yang bilang aku orang yang tegar -- padahal tidak jarang aku mengeluh dan menangis diam-diam Atau.. Ketika ada yang mengatakan masih punya utang janji padaku, rasanya ingin kutagih tunai malam itu juga   Tapi apa, aku tak ada..  Di daftar nama peserta itu, namaku tak nampak Di layar itu, fotoku tak terlihat Ternyata begini rasanya bisa menyembunyikan tawa dan tangis tanpa harus menutup  microphone  atau kamera -- yang biasa aku lakukan beberapa bulan ini, setiap hari   Dalam upacara tersebut, tidak ada lagi kesal.. Tak ada lagi benci.. Tuntas sudah yang belum selesai Yang ada hanya rasa sayang, rasa syukur aku pernah bertemu mereka dan mencipta banyak...

Jalan Kesana

Kata mama saya, sejak dulu anaknya ini terobsesi dengan Inggris. Asumsi yang didasari oleh hobi masa kecil saya mengumpulkan post card gratisan dari majalah Bobo. Salah satu favorit saya waktu itu yang bergambar Princess Diana. Gak paham lagi, dia anggun banget dan berjiwa sosial, super ngefans! Waktu kecil belum paham tentang skandal percintaannya, jadi tiada celah baginya wkwk. Lalu suatu hari saya pasang post card tersebut di album foto, di sebelah gambar saya lagi tiup lilin ulang tahun ke-5. Kayaknya random aja waktu itu, bukan ala ala sikap yang penting untuk dikenang bertahun-tahun kemudian. Saya sendiri lupa sama sekali kejadian itu. Dan ingin ke London karena entah kenapa saya penasaran sama Inggris, belum pernah kesana, dan negara itu tampak sangat unik. Banyak musikus yang karyanya saya nikmati berasal dari Inggris, seperti The Beatles, Elton John, Sting, Coldplay. Saya selalu yakin nuansa sebuah kota berpengaruh terhadap jiwa seni warganya, semacam Jogja atau Ba...

Dalaila Gisdara

Sebuah frase yang masih membuat saya sedikit geli tiap kali diucapkan, ketika kami ke klinik anak untuk imunisasi misalnya. Sebuah nama lengkap yang 100 persen dibuat oleh ayahnya, semudah mencuplik nama Dalai Lama dan Gusdur. Sejak awal kami berkomitmen untuk membuat nama yang sederhana dan Indonesia banget. Kendatipun demikian masih banyak yang bilang nama ini rumit dan berat. Yasudah, mudahnya panggil saja dia Agis. Agis punya wajah yang manis, entah, sampai sekarang masih dalam perdebatan mirip siapakah bayi ini. Saya suka sekali dengan senyumnya yang menyapa di pagi hari dan setiap malam sepulang saya dari kantor. Saya juga suka sekali dengan tangisnya saat minta minum atau merasa popoknya sudah tidak lagi nyaman. Saya menyukai tiap senti yang ada pada Agis, entah indah atau tidak. Kadang masih tidak percaya bahwa Agis adalah bagian dari saya, bahwa keberadaannya dimulai dari kehidupan saya.  Beberapa minggu setelah melahirkan Agis, saya sempat m...