Di dinas kemarin, bagian yang menurut saya penting, selain membuat resume diskusi dengan bank sentral dan ekonom adalah sesi ngobrol dengan Bapak-bapak. Ini maksudnya bukan Bapak-bapak yang ketemu di jalan terus ngobrol-ngobrol ya. Kebetulan saya adalah satu-satunya perempuan di rombongan kunjungan kerja kali ini. Sejujurnya, saya sering sekali mempersiapkan obrolan dengan orang yang baru dikenal. Kalau saya bisa, biasanya kepo dulu orangnya seperti apa, latar belakangnya dari mana, supaya saya bisa menciptakan obrolan berbobot yang membuatnya tertarik. Bukannya mau fake, tapi menurut saya sayang sekali kalau kita bisa bertemu dengan orang hebat tetapi menyia-nyiakannya hanya dengan cheap talk seperti, “Pak, anaknya ada berapa?” atau “ohh anak Bapak tiga, ada yang sudah nikah?” atau “Bapak aslinya mana?” Enggak jarang juga sih saya bahas hal seperti itu, tetapi dalam rangka revolusi mental saya harus berubah (terJokowi 2017 hahaha).
Dalam perjalanan ini saya sangat terkesan dengan Pak Erwin, beliau adalah kepala Kantor perwakilan BI New York. Hal yang paling membuat saya kagum adalah, sudah pasti beliau pintar dan sangat banyak membaca. Tetapi di luar itu hal yang membuat saya amat sangat terkesima adalah bahwa beliau amat humble dan open minded. Dalam makan malam bersama rombongan kita tidak mungkin bisa ngobrol dengan semua orang, biasanya saya suka ngobrol dengan yang se-geng saja. Kalau dalam lingkup teman kantor, biasanya kita lebih suka diskusi dengan staf yang sepantaran, karena lebih nyaman dibanding ngobrol sama atasan. Beliau punya pendekatan lain, setiap sesi makan Pak Erwin memilih untuk mengganti teman ngobrol. Misalnya hari ini dengan saya dan Pak X, besoknya dengan Pak W dan Pak C, dst dst. Turns out, beliau jadi tahu setiap orang secara personal dan memberi inspirasi secara merata.
Saya bisa bilang beliau open minded karena beberapa kali beliau menanggapi dengan dalam tanggapan saya atas topik obrolan kami. Hal itu jarang saya temui, coba saja bayangkan kalau sedang ngobrol dengan atasan yang usianya bahkan lebih tua dari ayah kita. Mungkin mereka berpikir kita anak kecil, mungkin tanggapan kita dianggap sepele, atau barangkali kita sudah terlalu siap untuk tidak digubris (miris banget haha). Saya juga sangat kagum ketika beliau beberapa kali melihat bahwa bisa jadi apa yang selama ini diyakini para senior di organisasi bukanlah yang paling benar, atau bisa saja hal yang selama ini dianggap bodoh sebetulnya lebih tepat buat institusi. Hal yang paling brilian buat saya adalah ketika beliau mengatakan bahwa sebuah organisasi kalau bisa jangan terlalu mau jadi hero untuk semua hal, harus fokus sama definisi fungi dari organisasi. Jangan bikin semuanya harus dikerjakan, kasihan pegawainya. Meski sederhana, menurut saya cara pandang beliau sangat realistis dan cerdas.
Orang-orang seperti Pak Erwin inilah yang menurut saya menjadi nilai tambah lain dalam sebuah perjalanan dinas. Hal baru yang saya ambil darinya adalah untuk tidak selalu merasa paling benar dan sudah melakukan yang terbaik. Sekarang saya jadi selalu berpikir atau men-challenge banyak hal yang saya rasa sudah tepat dan berpikir bagaimana kalau pendapat lain yang benar. Tentunya masih dalam koridornya, karena kalau terlalu banyak pertimbangan kapan kita berani melangkah.
Komentar
Posting Komentar