Langsung ke konten utama

DINAS ATAU JALAN-JALAN (catatan perjalanan AS bagian 5)



Saya selalu setuju sekaligus tidak setuju tentang pendapat enak banget ya kantor kamu jalan-jalan terus atau eh, buang uang negara deh jalan-jalan doang paling kerjanya sebentar. Berbicara tentang travelling, dalam kehidupan sehari-hari saya memang bukan tipe orang yang mengalokasikan perhatian besar untuk jalan-jalan tahunan, semesteran, atau triwulanan. Bahkan untuk liburan ke Bandung saja saya suka menunggu dinas di akhir pekan biar hemat, shameless confession ya ini haha. Siapa sih yang tidak suka jalan-jalan, tetapi dari kecil papa saya selalu bilang, “Mia jadi orang pinter ya biar bisa kemana-mana gratis”, karena beliau dulunya juga penikmat jalan-jalan jauh gratisan dari kantor. Refreshing buat saya bisa melalui banyak hal, seperti main sama suami dan anak, ngobrol sama temen, beli jilbab atau bahkan nonton di bioskop aja rasanya sudah senang. 

Rapat dengan tim Kantor Perwakilan Bank Indonesia New York

Hal yang paling terasa bahwa jalan-jalan karena dinas kurang enak adalah tidak bebas. Saya tidak bisa memilih destinasi yang mau saya kunjungi sendirian, atau seenaknya kabur. Apalagi di level saat ini yang masih butiran debu, saya harus mengerjakan banyak pekerjaan teknis dan memastikan para atasan saya tidak seperti orang hilang di negara orang. Jadi, walaupun kemarin sudah ke New York, saya belom ketemu Patung Liberty. Sudah berusaha ambil gambarnya dari seberang, tapi enggak kelihatan, syediih. Kenapa? Karena saya harus ngikutin jadwal rombongan yang mayoritas sudah pernah ke AS dan lihat Patung Liberty. 

Mampir Time Square gak sampe 5 menit

Tentang uang negara, saya selalu berusaha memastikan bahwa uang negara tidak terbuang percuma saat saya pergi ke suatu tempat. Memang, rapatnya tidak berhari-hari non stop, tetapi masa iya jauh-jauh pergi cuma buat rapat 3 jam terus pulang. Rapatnya bukan tiga jam juga sih, kemarin rombongan saya pergi ke empat kota dengan jarak cukup jauh-jauh dan harus ditempuh dengan pesawat terbang. Itupun durasinya terbangnya kayak dari Jakarta ke Makassar. Kedua, saya berusaha mencerna dan membuat laporan diskusi semaksimal mungkin, agar bisa bermanfaat bagi organisasi saya dan orang luas. Saya menganggap membagi tentang cerita di blog ini juga termasuk tanggung jawab moral atas anggaran yang telah saya gunakan (backsound Indonesia Raya 😁). 

Saya meyakini sebuah perjalanan merupakan bagian pendewasaan diri yang amat besar, itulah sebabnya banyak orang rela menyisihkan tabungan, jatah cuti, serta menempuh puluhan jam perjalanan untuk melihat daratan baru yang tidak mereka ditemui setiap hari. Dengan melihat dunia yang begitu luas, saya makin sadar bahwa tidak ada gunanya jadi orang hebat kalau hanya untuk jalan-jalan, pakai barang bagus, atau dikenal banyak orang. Hal yang membuat saya merasa bernilai dimanapun kaki ini berpijak adalah kesadaran untuk menjadi warga dunia yang terus memberi manfaat, tidak merugikan orang lain, serta senantiasa bersemangat untuk belajar. Pada perjalanan ini pula saya banyak melakukan introspeksi, melihat diri yang penuh ketidaksempurnaan dengan kacamata baru. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hari-hari Menjadi Ibu

Hampir tujuh tahun menjadi ibu, sekarang jadi sadar bahwa perjuangan dan perjalanan yang luar biasa itu bukan sekedar jargon atau ungkapan klise. Di dua sampai tiga tahun pertama merasakan mengurus bayi hingga batita membuat aku sadar tentang: 1. Hal yang biasa terlihat mudah, ternyata luar biasa menantang Sebut saja, menyusui, menyuapi anak sampai bisa makan sesuai porsi, tetap tenang ketika mereka sakit, atau tidak menangis ketika ASI yang baru kita perah tumpah. Hal-hal tersebut tidak pernah terpikir akan menantang ketika aku belum merasakan sendiri. 2. Ibu merespon apa yang dia dengar dan dia baca dengan cara berbeda Aku akan terima saja kalau dibilang baper, tetapi memang setelah melewati banyak proses rasanya jadi ibu membuatku lebih thoughtful dalam berucap dan menulis. Karena ibu merasakan apa yang ia dengar dan ia baca dengan mendalam, sambil memutar kembali rekaman peristiwa yang ia alami. Hal ini tidak remeh, karena mengasah empati. Suatu skill yang penting dimiliki seseor

Dalam Upacara Perpisahanku

Malam itu puluhan orang berkumpul, di ruang yang tak punya tembok, atap, lantai, maupun jendela Mereka tidak masuk lewat pintu, tetapi dari sesuatu bernama tautan   Sambutan demi sambutan, cerita indah hingga sedih, saut menyaut Ingin rasanya aku menanggapi tiap kisah yang mereka lontarkan Misalnya, ketika ada yang bilang aku orang yang tegar -- padahal tidak jarang aku mengeluh dan menangis diam-diam Atau.. Ketika ada yang mengatakan masih punya utang janji padaku, rasanya ingin kutagih tunai malam itu juga   Tapi apa, aku tak ada..  Di daftar nama peserta itu, namaku tak nampak Di layar itu, fotoku tak terlihat Ternyata begini rasanya bisa menyembunyikan tawa dan tangis tanpa harus menutup  microphone  atau kamera -- yang biasa aku lakukan beberapa bulan ini, setiap hari   Dalam upacara tersebut, tidak ada lagi kesal.. Tak ada lagi benci.. Tuntas sudah yang belum selesai Yang ada hanya rasa sayang, rasa syukur aku pernah bertemu mereka dan mencipta banyak kisah indah, unik, atau mela

Jalan Kesana

Kata mama saya, sejak dulu anaknya ini terobsesi dengan Inggris. Asumsi yang didasari oleh hobi masa kecil saya mengumpulkan post card gratisan dari majalah Bobo. Salah satu favorit saya waktu itu yang bergambar Princess Diana. Gak paham lagi, dia anggun banget dan berjiwa sosial, super ngefans! Waktu kecil belum paham tentang skandal percintaannya, jadi tiada celah baginya wkwk. Lalu suatu hari saya pasang post card tersebut di album foto, di sebelah gambar saya lagi tiup lilin ulang tahun ke-5. Kayaknya random aja waktu itu, bukan ala ala sikap yang penting untuk dikenang bertahun-tahun kemudian. Saya sendiri lupa sama sekali kejadian itu. Dan ingin ke London karena entah kenapa saya penasaran sama Inggris, belum pernah kesana, dan negara itu tampak sangat unik. Banyak musikus yang karyanya saya nikmati berasal dari Inggris, seperti The Beatles, Elton John, Sting, Coldplay. Saya selalu yakin nuansa sebuah kota berpengaruh terhadap jiwa seni warganya, semacam Jogja atau Ba