Dalam film The Book Thief, diceritakan bahwa suatu pagi, Liesel, tokoh utama yang berusia tak lebih dari 9 tahun, melihat reklame di jalan dan bertanya kepada ayahnya, “What’s an accountant?”. Dengan singkat sang ayah menjawab, “Something we will never need”. Pernyataan itu sangat kontradiktif dengan jalan cerita pada film The Shawshank Redemption yang mengisahkan si pemeran utama, Andy Dufesne (diperankan oleh Tim Robbins), yang mampu menarik simpati petugas penjara dan akhirnya terbebas dan hidup sangat sejahtera setelah itu, karena kelihaiannya membuat dan menganalisis rencana keuangan. Kutub yang berlawanan pada dua cerita tersebut ada hubungannya dengan operasi tangkap tangan (OTT) pejabat Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Kemendes PDTT) dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) beberapa pekan lalu.
Setiap tahun BPK diaudit oleh kantor akuntan
publik (KAP) yang diajukan oleh BPK dan Menteri Keuangan yang kemudian ditunjuk
oleh DPR-RI untuk memastikan akuntabilitas lembaga supreme audit tersebut. Untuk memperkuat ikhtiar penguatan
akuntabilitasnya, per 5 tahun BPK diaudit oleh badan pemeriksa
keuangan negara lain yang laporannya disebut peer review. Salah satu rekomendasi peer review yang dilakukan
oleh Netherlands Court of Audit (NCA) pada 2009 adalah BPK harus melakukan
pendalaman terhadap kasus korupsi, salah satunya melalui audit investigasi. NCA
menyarankan agar BPK lebih fokus pada hubungan sebab-akibat praktik korupsi
daripada melihat kejadian tersebut sebagai kesalahan individual semata.
Ironisnya, rekomendasi tersebut tidak
ditanggapi secara serius. Hingga pada 2014 peer
review yang dilakukan oleh Audit
Office of Poland (AOP) masih menyuarakan hal yang sama. Saat
laporan tersebut dikeluarkan, di tubuh BPK telah digaungkan kebutuhan untuk
membentuk unit investigasi sebagai alat untuk mengaudit praktik korupsi, namun
konsep tersebut belum diterima oleh jajaran komisioner.
Profesor di bidang
akuntansi dari Universitas Gadjah Mada, Soewardjono, dalam bukunya berjudul Teori
Akuntansi mendeskripsikan laporan keuangan sebagai bahasa bisnis. Laporan
keuangan bukanlah hanya deretan angka yang menjabarkan pemasukan dan
pengeluaran, serta diakhiri dengan pernyataan balance.
Lebih dari itu, laporan keuangan semestinya dapat menjadi dashboard atas kesehatan operasional perusahaan, pengukuran implementasi
atas perencanaan, dan penilaian kinerja. Sebagaimana bahasa, laporan
keuangan harus mampu mengkomunikasikan kondisi internal organisasi kepada pihak
eksternal atau stakeholders.
Dalam konteks
kementerian dan lembaga negara, stakeholder
utama adalah masyarakat yang sebagai konstituen telah memberikan
mandat dan ikut
mendanai kegiatan pemerintah melalui pajak. Dengan
demikian, semestinya masyarakat mampu menilai atau mengkritisi suatu lembaga
publik lewat laporan keuangan yang disajikan institusi negara. Sayangnya,
selama ini laporan keuangan dianggap hanya menjadi pekerjaan bagi akuntan dan
auditor. Setiap tahun laporan audit BPK dimaknai sebagai peristiwa monumental,
melalui penghargaan bagi penerima opini wajib tanpa pengecualian (WTP); diikuti
beberapa artikel di media masa yang mengritisi lembaga yang mendapat opini
wajar dengan pengecualian (WDP) atau tidak menyatakan pendapat (disclaimer) yang biasanya tak
terlalu mendapat tanggapan. Sekali lagi, laporan keuangan masih dianggap tidak
memiliki peran besar dalam negara.
Pembiaran yang dilakukan oleh pemerintah (atas
rekomendasi dalam peer review BPK)
dan ketidakpedulian masyarakat atas laporan audit institusi negara memberikan
celah bagi penyalahgunaan wewenang di badan BPK. Hal
tersebut diperparah oleh risiko independensi yang mengancam BPK. Badan audit
ini nampaknya masih sulit melepaskan diri dari berbagai tekanan politik. Proses
pemilihan pimpinan yang harus melalui fit
and proper test oleh legislatif serta komisioner BPK yang sebagian besar adalah eks
pengurus partai adalah pangkal dari risiko tersebut. Terbukti bahwa kelemahan
kontrol dari pemerintah maupun masyarakat dan ancaman yang dihadapi BPK telah
membuka ruang pelanggaran, setidaknya ada empat peristiwa “jual-beli” opini
audit BPK dalam kurun delapan tahun tahun terakhir.
Selama 70 tahun BPK
telah menjadi otoritas tunggal yang berperan sebagai auditor eksternal
kementerian dan lembaga negara. Posisi yang amatlah terhormat sekaligus
berbahaya. Sekalipun tidak banyak yang memerdulikan isinya, opini audit sangat
penting untuk menjaga marwah suatu institusi. Peristiwa OTT pejabat BPK harus
ditindaklanjuti dengan penataan ulang organisasi tersebut. Dari aspek
sumber daya manusia, sebenarnya perhatian lebih telah diberikan kepada pegawai
BPK dengan remunerasi yang tinggi (tunjangan kinerja BPK telah mencapai 100 persen)
agar tidak mudah diiming-imingi imbalan dari institusi yang diperiksanya. Peer review oleh NCA dan AOP menyatakan hal senada, sumber daya manusia BPK dianggap kompeten dan
profesional. Sayangnya, sistem yang ada belum dapat menghindarkan sumber
daya yang baik itu dari fraud dan
korupsi.
Solusi yang dapat
diambil untuk mencegah
kasus ini terulang kembali adalah, pertama, menjajaki
kemungkinan joint audit BPK dan kantor
akuntan publik seperti Pricewaterhouse Cooper, Ernst and Young, KPMG, atau
Deloitte. Joint audit telah dilakukan di sektor lembaga keuangan pada
beberapa negara seperti Amerika Serikat, Denmark, dan Prancis.
Kedua, transparansi hasil
audit harus ditingkatkan. Selain mempublikasikan laporan keuangan yang telah
diaudit pada website lembaga,
pemerintah harus berani untuk mengkomunikasikan bagaimana suatu laporan
keuangan telah merefleksikan program kerja yang diamanatkan pada mereka. Dengan
demikian, masyarakat akan lebih familiar dengan informasi yang ada di laporan
keuangan sehingga dapat memberikan feedback
bagi peningkatan kinerja institusi publik.
Kasus OTT pejabat BPK tempo hari tidak akan terjadi seandainya
pemerintah menjalankan rekomendasi bahwa BPK sebaiknya fokus pada hubungan sebab-akibat
praktik korupsi. Pembenahan BPK bukan semata-mata demi kepentingan opini audit,
tetapi managemen negara secara luas.
*tulisan ini dibuat sebagai opini atas OTT pejabat BPK dan Kemendes PDDT oleh KPK
pada 27 Mei 2017
sumber gambar
sumber gambar
Komentar
Posting Komentar