Langsung ke konten utama

Dua Ribu Dua Belas

Suara terompet dan kembang api menyeruak di luar rumah tepat pada saat saya menuliskan ini. Sesuatu berangka belakang 13 segera datang dengan segala resolusi yang harus ditelannya mentah-mentah pagi ini. Resolusi orang sedunia.

Bukannya saya tidak peduli pada masa depan dan resolusi-reaolusi untuk tahun baru, namun kali ini menuliskan tentang masa yang telah dilalui terasa lebih menarik. Setidaknya sebelum mengucapkan selamat tinggal pada 2012.

Butuh waktu beberapa saat untuk kembali mengingat kejadian yang mengisi 2012 lalu. Hal-hal yang bombastis tentu saja dengan mudah diingat karena sudah terlanjur menempel di otak. Pada 2012, setidaknya saya memiliki tiga buku catatan pribadi yang bila dibaca akan bikin senyum-senyum sendiri, satu di antaranya adalah buku catatan pekembangan skripsi. Dan di sanalah saya menemukan serangkaian kejadian biasa-biasa saja yang justru lebih menggigit saat diingat kembali.

Awal 2012 beberapa kawan saya berangkat magang dan kami mulai menyadari betapa berharganya kebersamaan selama ini.

Melakukan penelitian tentang subsidi BBM bersama seorang dosen kawakan menjadi pembuka yang baik di 2012. Waktu itu enam asisten peneliti harus mendatangi berbagai perkampungan kumuh di Yogyakarta, mendadak menjadi kenek bus, menjadi translator Indonesia-Jawa Kromo. Saat itu saya menemukan begitu berartinya dua ratus ribu rupiah bagi seorang kuli angkut hingga mereka rela pergi ke FEB untuk mengikuti eksperimen.

Kegalauan maha dahsyat tentang perskripsian dan cita-cita pasca lulus. Betapa besar saya berusaha memotivasi diri sendiri untuk menyelesaikan skripsi tersebut, membuat deadline pribadi, menghadiahi diri dengan makan enak setiap habis menghadap dosen pembimbing, dan menolak jalan-jalan bila merasa skripsi tidak berprogres.



Buku tentang pengalaman KKN di Papua yang naskahnya sudah rampung sejak November 2011, namun belum juga sampai pada titik final untuk diserahkan penerbit dengan segala naik-turun yang terjadi pada masa edit. (Pada saat tulisan ini diposting, naskah sudah ada di tangan penerbit. Semoga lekas sampai di tangan pembaca.)

Tahun 2012 sebenarnya saya nobatkan jadi tahunnya Paris. Betapa saya sangat terobsesi untuk pergi ke sana lagi. Bukan karena Paris kota fashion, tetapi karena di sanalah saya dapat menemukan diri saya yang timbul tenggelam saat di sini. Di setiap sudutnya ada perpustakaan tua sebanyak Circle K tersebar di sini, café yang syarat dengan nuansa diskusi santai di sore hari. Setelah sempat mengambil kelas bahasa Prancis yang teramat sangat sulit, saya kira akan ada di sana hari ini dalam rangka melanjutkan sekolah. Tapi Tuhan mengatakan “belum”.

Magang di suatu perusahaan consumer goods saya pikir adalah salah satu keputusan terbaik yang pernah saya ambil di 2012. Bukan hanya karena kesempatan kerja yang ditawarkan, tetapi bagaimana saya menyelami ilmu teoritis dan kemudian mentransformasikannya ke ranah praktis. Dari sana saya juga banyak belajar tentang lika-liku dunia kerja dan sinergi antara berbagai sektor.

Masih dalam rangka periode magang, perjalanan busway Slipi-Gatot Subroto-Slipi setiap hari merupakan momen kontemplasi yang luar biasa. Di samping itu, saya bisa menyelesaikan beberapa buku yang bertahun-tahun terlantar di rak begitu saja.

Ada satu hal yang entah berada di awal, tengah, atau akhir 2012 ini, atau bisa jadi sepanjang tahun. Adalah roller coaster proses saya memahami calon pendamping hidup kelak. Saya menemukan begitu banyak prosa dan puisi tercipta untuknya di catatan harian saya. Di penghujung 2012 ini semua terasa lebih mudah untuk memahami dinamika kami.

2012 bisa dibilang tahun pelunasan kewajiban kepada diri sendiri dan orang tua, tahun perjuangan, dan tahun redefinisi tujuan hidup.

Sebuah tulisan acak ini saya paksakan untuk selesai walau dalam diri terasa tidak begitu menyukainya. Mengapa? Karena saya ingin kembali menulis setelah beberapa waktu melulu absen.

Saya berharap tahun yang baru akan memberikan nuansa baru bagi diri saya untu berkarya dan bermanfaat bagi orang lain.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dalam Upacara Perpisahanku

Malam itu puluhan orang berkumpul, di ruang yang tak punya tembok, atap, lantai, maupun jendela Mereka tidak masuk lewat pintu, tetapi dari sesuatu bernama tautan   Sambutan demi sambutan, cerita indah hingga sedih, saut menyaut Ingin rasanya aku menanggapi tiap kisah yang mereka lontarkan Misalnya, ketika ada yang bilang aku orang yang tegar -- padahal tidak jarang aku mengeluh dan menangis diam-diam Atau.. Ketika ada yang mengatakan masih punya utang janji padaku, rasanya ingin kutagih tunai malam itu juga   Tapi apa, aku tak ada..  Di daftar nama peserta itu, namaku tak nampak Di layar itu, fotoku tak terlihat Ternyata begini rasanya bisa menyembunyikan tawa dan tangis tanpa harus menutup  microphone  atau kamera -- yang biasa aku lakukan beberapa bulan ini, setiap hari   Dalam upacara tersebut, tidak ada lagi kesal.. Tak ada lagi benci.. Tuntas sudah yang belum selesai Yang ada hanya rasa sayang, rasa syukur aku pernah bertemu mereka dan mencipta banyak...

Jalan Kesana

Kata mama saya, sejak dulu anaknya ini terobsesi dengan Inggris. Asumsi yang didasari oleh hobi masa kecil saya mengumpulkan post card gratisan dari majalah Bobo. Salah satu favorit saya waktu itu yang bergambar Princess Diana. Gak paham lagi, dia anggun banget dan berjiwa sosial, super ngefans! Waktu kecil belum paham tentang skandal percintaannya, jadi tiada celah baginya wkwk. Lalu suatu hari saya pasang post card tersebut di album foto, di sebelah gambar saya lagi tiup lilin ulang tahun ke-5. Kayaknya random aja waktu itu, bukan ala ala sikap yang penting untuk dikenang bertahun-tahun kemudian. Saya sendiri lupa sama sekali kejadian itu. Dan ingin ke London karena entah kenapa saya penasaran sama Inggris, belum pernah kesana, dan negara itu tampak sangat unik. Banyak musikus yang karyanya saya nikmati berasal dari Inggris, seperti The Beatles, Elton John, Sting, Coldplay. Saya selalu yakin nuansa sebuah kota berpengaruh terhadap jiwa seni warganya, semacam Jogja atau Ba...

Dalaila Gisdara

Sebuah frase yang masih membuat saya sedikit geli tiap kali diucapkan, ketika kami ke klinik anak untuk imunisasi misalnya. Sebuah nama lengkap yang 100 persen dibuat oleh ayahnya, semudah mencuplik nama Dalai Lama dan Gusdur. Sejak awal kami berkomitmen untuk membuat nama yang sederhana dan Indonesia banget. Kendatipun demikian masih banyak yang bilang nama ini rumit dan berat. Yasudah, mudahnya panggil saja dia Agis. Agis punya wajah yang manis, entah, sampai sekarang masih dalam perdebatan mirip siapakah bayi ini. Saya suka sekali dengan senyumnya yang menyapa di pagi hari dan setiap malam sepulang saya dari kantor. Saya juga suka sekali dengan tangisnya saat minta minum atau merasa popoknya sudah tidak lagi nyaman. Saya menyukai tiap senti yang ada pada Agis, entah indah atau tidak. Kadang masih tidak percaya bahwa Agis adalah bagian dari saya, bahwa keberadaannya dimulai dari kehidupan saya.  Beberapa minggu setelah melahirkan Agis, saya sempat m...