Langsung ke konten utama

Cara Berdoa


Ya Tuhan, ampunilah dosaku dan dosa orang tuaku. Sayangilah mereka sebagaimana mereka menyayangiku di waktu kecil.

Mungkin itulah doa pertama yang saya hapalkan (dan berusaha pahami) di waktu kecil. Doa yang bagi saya teramat indah, doa yang rendah hati, doa yang tidak egois. Seiring berjalannya waktu saya menyadari bahwa doa itu tidak melulu harus berbahasa Arab, tidak melulu harus seperti yang ada di buku doa. Seperti halnya kue ulang tahun, doa bisa dikustomisasi. Boleh dibuat sesuai selera dan kebutuhan.

Beranjak remaja begitu banyak mimpi yang ingin saya gapai, dan untuknya saya selalu berdoa. Doa jadi bintang kelas, bisa masuk sekolah favorit, memenangkan lomba dengan hadiah menarik, diizinkan oleh ayah liburan ke luar kota, dan doa tendensius lainnya. Di usia dua puluh tahun doa saya menjadi makin dewasa (sepertinya), semacam ya Tuhan, bila memang jodoh maka dekatkanlah, bila memang bukan berilah petunjuk (atau jauhkanlah).




Tuhan memang arsitek, Tuhan memang manager, Tuhan juga penulis, Dia tidak akan membagi otoritasnya. Saya hanya bisa berusaha memantaskan diri untuk menjadi layak mendapatkan apa yang diingini. Saya hanya mampu berusaha agar saat Tuhan berkehendak lain, di hati tidak akan terasa sesak karena sudah melakukan yang terbaik. Tuhan juga dokter, kalau saya gagal dia tentu akan menyembuhkannya -dalam tempo yang hanya Dia yang tahu-.

Ada dua sahabat saya yang beberapa bulan lalu menjalani ujian komprehensif dan sidang skripsi hanya berselang sebulan satu sama lain. Mereka sama-sama pintar, sama-sama pekerja keras, dan sama-sama lulus di kali pertama sidang. Ada bedanya. Si A (alhamdulillah) mendapat dosen yang “dewa”. Sang dosen bahkan memintanya untuk mencari turunan fungsi pendapatan saat ujian, meneliti skripsi hingga tanda baca, dan tetap memberikan revisi berkali-kali pada saat Si A dinyatakan sudah lulus. Si B (juga alhamdulillah) mendapat dosen yang “baik”. Ia tidak merasa amat kesulitan saat berada di dalam ruang ujian, revisi yang didapatkannya pun tak terlalu memusingkan. Pada akhirnya –dengan lika-liku dan perjuangannya masing-masing- baik Si A maupun Si B sama-sama bersyukur. Mereka sama-sama mendapatkan yang terbaik.

Pasca lulus, kami bertemu untuk ngobrol santai. Berbincang ngalor-ngidul khas wanita, hingga sampailah pada topik cara berdoa.

Si A berkata,
“Waktu mau kompre aku berdoa ke Tuhan minta diberi yang terbaik. Dan benar, aku dapat dosen yang terbaik. Terbaik pinternya, terbaik telitinya, yang benar-benar memperhatikan skripsiku. Aku beruntung banget diuji sama dia.”

Berselang beberapa detik Si B menimpali,
“Kalau aku doanya minta dimudahkan. Dan alhamdulillah memang benar-benar dimudahkan. Tuhan Maha Baik.”

Perbincangan kami diakhiri senyum yang menggantung karena sama-sama sedang berpikir keras. Saya jadi ingat tentang berbagai jenis doa yang terus bertransformasi dari tahun ke tahun. Dari doa yang sangat text book, doa yang tendensius, doa yang legowo, doa yang bijak, dan doa-doa lainnya yang tentunya tetap terus mendoa. Tidak ada yang salah dengan cara berdoa, yang salah mungkin bila kita tidak lagi berdoa –yang menurut saya terasa amat angkuh-. 

Satu hal lagi yang penting selain cara berdoa, adalah cara kita memaknai doa, dan tentunya cara kita memahami nomena setelahnya. Atas nama segala perjuangan hidup, mari berusaha, dan perhatikan cara kita berdoa.

terinspirasi dari sebuah obrolan sore, kesendirian sore, dan usaha memotivasi diri sendiri yang tak berujung  (gambar)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dalam Upacara Perpisahanku

Malam itu puluhan orang berkumpul, di ruang yang tak punya tembok, atap, lantai, maupun jendela Mereka tidak masuk lewat pintu, tetapi dari sesuatu bernama tautan   Sambutan demi sambutan, cerita indah hingga sedih, saut menyaut Ingin rasanya aku menanggapi tiap kisah yang mereka lontarkan Misalnya, ketika ada yang bilang aku orang yang tegar -- padahal tidak jarang aku mengeluh dan menangis diam-diam Atau.. Ketika ada yang mengatakan masih punya utang janji padaku, rasanya ingin kutagih tunai malam itu juga   Tapi apa, aku tak ada..  Di daftar nama peserta itu, namaku tak nampak Di layar itu, fotoku tak terlihat Ternyata begini rasanya bisa menyembunyikan tawa dan tangis tanpa harus menutup  microphone  atau kamera -- yang biasa aku lakukan beberapa bulan ini, setiap hari   Dalam upacara tersebut, tidak ada lagi kesal.. Tak ada lagi benci.. Tuntas sudah yang belum selesai Yang ada hanya rasa sayang, rasa syukur aku pernah bertemu mereka dan mencipta banyak...

Jalan Kesana

Kata mama saya, sejak dulu anaknya ini terobsesi dengan Inggris. Asumsi yang didasari oleh hobi masa kecil saya mengumpulkan post card gratisan dari majalah Bobo. Salah satu favorit saya waktu itu yang bergambar Princess Diana. Gak paham lagi, dia anggun banget dan berjiwa sosial, super ngefans! Waktu kecil belum paham tentang skandal percintaannya, jadi tiada celah baginya wkwk. Lalu suatu hari saya pasang post card tersebut di album foto, di sebelah gambar saya lagi tiup lilin ulang tahun ke-5. Kayaknya random aja waktu itu, bukan ala ala sikap yang penting untuk dikenang bertahun-tahun kemudian. Saya sendiri lupa sama sekali kejadian itu. Dan ingin ke London karena entah kenapa saya penasaran sama Inggris, belum pernah kesana, dan negara itu tampak sangat unik. Banyak musikus yang karyanya saya nikmati berasal dari Inggris, seperti The Beatles, Elton John, Sting, Coldplay. Saya selalu yakin nuansa sebuah kota berpengaruh terhadap jiwa seni warganya, semacam Jogja atau Ba...

Dalaila Gisdara

Sebuah frase yang masih membuat saya sedikit geli tiap kali diucapkan, ketika kami ke klinik anak untuk imunisasi misalnya. Sebuah nama lengkap yang 100 persen dibuat oleh ayahnya, semudah mencuplik nama Dalai Lama dan Gusdur. Sejak awal kami berkomitmen untuk membuat nama yang sederhana dan Indonesia banget. Kendatipun demikian masih banyak yang bilang nama ini rumit dan berat. Yasudah, mudahnya panggil saja dia Agis. Agis punya wajah yang manis, entah, sampai sekarang masih dalam perdebatan mirip siapakah bayi ini. Saya suka sekali dengan senyumnya yang menyapa di pagi hari dan setiap malam sepulang saya dari kantor. Saya juga suka sekali dengan tangisnya saat minta minum atau merasa popoknya sudah tidak lagi nyaman. Saya menyukai tiap senti yang ada pada Agis, entah indah atau tidak. Kadang masih tidak percaya bahwa Agis adalah bagian dari saya, bahwa keberadaannya dimulai dari kehidupan saya.  Beberapa minggu setelah melahirkan Agis, saya sempat m...