Terkadang manusia lelah menangis. Lelah menghamba pada kesenduan. Ia hanya butuh suatu gerakan kecil, yang tak berdampak apapun. Ia hanya ingin mengadu.
Namanya Galuh. Buruh bangunan yang bekerja di bangunan tepi jalan besar menuju gang rumahku. Dia sama sekali tak cantik. Bahkan tak menarik. Bahkan mengerikan. Wajahnya bekas kebakaran di pipi kiri. Tadinya ia hidup dengan keadaan yang cukup baik, sampai suatu ketika api hampir saja melahap tubuh ibunya dan ia dengan segala kekuatan ingin menyelamatkan. Di saat yang sama ayahnya tiada. Karena si api.
Kata Pak Jarwanto, pemilik rumah yang sedang dibangun, Galuh walaupun seorang wanita, betapa kuat bekerja. Ibu dari empat anak yang tinggal di desa beberapa kilometer dari rumahku. Bibir galuh berbentuk huruf ‘u’ terbalik. Aku kira dia wanita yang hidupnya penuh lara. Suaranya luar biasa lembek. Kadang aku geram mendengar gaya dia bicara. Lemah. Dan tak menarik. Aku sungguh tak suka.
Tempo hari ibuku bercerita, Galuh tak pernah absen datang ke rumah Pak Jarwanto, sekalipun penyakit epilepsy anaknya kambuh. Sekali lagi, epilepsy. Tak dapat kubayangkan. Lalu aku pernah berbincang dengan beberapa tukang sayur di warung dekat gang, membicarakan Galuh. Aku pikir dia pasti suka bercurah isi hati dengan para pedagang. Nyatanya tidak. Galuh pun tak pernah berhutang disana. Selalu menyelesaikan urusan dengan baik.
Ternyata dia cukup tangguh. Entah bagaimana bisa.
Dua hari lalu, selepas aku turun dari bis sekolah ia memanggil. Aku kaget. Galuh memanggil. Tepatnya menyapa.
“ Baru pulang, Dik?”
“ I..i.. yaa..” jawabku terbata.
Lalu kami berbincang santai, sesudah itu mampir di warung soto sebelah rumah Pak Jarwanto. Galuh tanpa aba-aba memelukku sambil menangis. Isakannya dalam dan pilu.
“ Mbak, kamu kenapa nangis? “
Tangisan Galuh makin terdengar tragis. Aku bingung. Kupeluk ia, dalam dan erat. Entah kenapa, aku ikut menangis. Aku merasa kesedihannya merasuk ke tubuhku, lewat lengan, telapak tangan, dan bahuku. Aku berbisik, kamu wanita hebat jangan menangis, melalui kehangatan pelukan.
Setelah menyeruput teh panas Galuh sedikit lebih tenang. Benar-benar sedikit.
“ Mbak, cerita dong sama aku.. Kamu kok tiba-tiba nangis. “
“ Nggak kok mbak, aku nggak apa-apa.”
“ Mana mungkin.. “
“ Suamiku poligami diam-diam, hatiku rasanya sakit. ”
Aku tercengang. Seketika, kehebatan Galuh meningkat satu level dari sebelumnya. Setidaknya di mataku.
“ Mbak, kamu jangan bunuh diri ya.. Yang sabar.. ”
“ Nggak. Aku bukan orang bodoh. Bukan bocah lagi. Kasian anakku nanti kalau aku mati. Dimana-mana ibu tiri itu jahat. Aku nggak mau anakku diurus istri baru bapaknya. ”
“ Mbak, kamu mau tak bantuin laporin kejadian ini?”
Seketika aku merasa bodoh. Laporan tentang suami poligami diam-diam. Entah harus lapor kemana, entah adakah tempatnya? Tapi tetap aku pasang wajah meyakinkan agar Galuh merasa dibela.
“ Haha.. aneh-aneh aja kamu. Nanti aku malah disuruh sewa pengacara. Mana mampu?”
Kali ini pemahaman Galuh seaneh kalimat penawaranku.
“ Aku udah kebal kok. Bapakku nggak ada aku nangis, tapi yo sebentar. Wajahku rusak aku nangis, tapi yo nggak lama. Anakku sakit keras aku nangis, tapi yo uwis mau diapakan lagi. Kalau aku nangis, hidup gak akan nge-cup-cup-ke aku tha mbak..”
Hening sesaat.
“ Lagipula, aku merasa aku nggak pernah punya waktu untuk mengiba. Harus tetap kerja, di rumah anak-anak menunggu aku bawa pulang makan. Menunggu aku bayar biaya sekolah mereka. Pura-pura lupa saja aku sama masalah. Kalau sudah lupa betulan, maka aku tidak akan sedih lagi. Malah kadang aku merasa malu sama diri sendiri karena pernah serapuh itu.”
“ Mbak, kamu benci sama suamimu? “
“ Nggak. Istrinya lebih cantik juga dari aku. Lumrah wae. Biar deh, aku nggak perlu melankolis. Toh dia tidak akan kembali seperti yang dulu. “
Aku menegak teh di cangkir coklat sederhana sambil berpikir. Tak lama Galuh bangkit, seakan ingin buru-buru pergi.
“ Eh, taktraktir ya kamu tehnya, gorengane bayar dhewe lho. Hehehe.”
Aku mengernyit. Galuh melangkah pelan, bentuk tubuhnya yang ‘berantakan’ pergi menjauh. Dia tampak sangat tidak wanita. Dia tak pernah mengeluh. Dia sudah kebal, tak lagi ingin menangis. Tiba-tiba ia berbalik.
“ Aku hanya ingin mengadu..”
Seketika kulihat aura yang selama ini tak pernah ia tampakkan. Ada tangannya yang gemulai melambai, walaupun dibungkus kulit yang kasar. Dan aku sungguh-sungguh mendengar aduanmu, Galuh..
Aku benar-benar tahu. Kamu tak ingin lemah, pupus, galau, ataupun gundah. Kamu hanya ingin mengadu dan lalu merasa lebih baik. Tanpa ingin aduan itu berbuah atau beranak. Cukup dengan mengadu.
Namanya Galuh. Buruh bangunan yang bekerja di bangunan tepi jalan besar menuju gang rumahku. Dia sama sekali tak cantik. Bahkan tak menarik. Bahkan mengerikan. Wajahnya bekas kebakaran di pipi kiri. Tadinya ia hidup dengan keadaan yang cukup baik, sampai suatu ketika api hampir saja melahap tubuh ibunya dan ia dengan segala kekuatan ingin menyelamatkan. Di saat yang sama ayahnya tiada. Karena si api.
Kata Pak Jarwanto, pemilik rumah yang sedang dibangun, Galuh walaupun seorang wanita, betapa kuat bekerja. Ibu dari empat anak yang tinggal di desa beberapa kilometer dari rumahku. Bibir galuh berbentuk huruf ‘u’ terbalik. Aku kira dia wanita yang hidupnya penuh lara. Suaranya luar biasa lembek. Kadang aku geram mendengar gaya dia bicara. Lemah. Dan tak menarik. Aku sungguh tak suka.
Tempo hari ibuku bercerita, Galuh tak pernah absen datang ke rumah Pak Jarwanto, sekalipun penyakit epilepsy anaknya kambuh. Sekali lagi, epilepsy. Tak dapat kubayangkan. Lalu aku pernah berbincang dengan beberapa tukang sayur di warung dekat gang, membicarakan Galuh. Aku pikir dia pasti suka bercurah isi hati dengan para pedagang. Nyatanya tidak. Galuh pun tak pernah berhutang disana. Selalu menyelesaikan urusan dengan baik.
Ternyata dia cukup tangguh. Entah bagaimana bisa.
Dua hari lalu, selepas aku turun dari bis sekolah ia memanggil. Aku kaget. Galuh memanggil. Tepatnya menyapa.
“ Baru pulang, Dik?”
“ I..i.. yaa..” jawabku terbata.
Lalu kami berbincang santai, sesudah itu mampir di warung soto sebelah rumah Pak Jarwanto. Galuh tanpa aba-aba memelukku sambil menangis. Isakannya dalam dan pilu.
“ Mbak, kamu kenapa nangis? “
Tangisan Galuh makin terdengar tragis. Aku bingung. Kupeluk ia, dalam dan erat. Entah kenapa, aku ikut menangis. Aku merasa kesedihannya merasuk ke tubuhku, lewat lengan, telapak tangan, dan bahuku. Aku berbisik, kamu wanita hebat jangan menangis, melalui kehangatan pelukan.
Setelah menyeruput teh panas Galuh sedikit lebih tenang. Benar-benar sedikit.
“ Mbak, cerita dong sama aku.. Kamu kok tiba-tiba nangis. “
“ Nggak kok mbak, aku nggak apa-apa.”
“ Mana mungkin.. “
“ Suamiku poligami diam-diam, hatiku rasanya sakit. ”
Aku tercengang. Seketika, kehebatan Galuh meningkat satu level dari sebelumnya. Setidaknya di mataku.
“ Mbak, kamu jangan bunuh diri ya.. Yang sabar.. ”
“ Nggak. Aku bukan orang bodoh. Bukan bocah lagi. Kasian anakku nanti kalau aku mati. Dimana-mana ibu tiri itu jahat. Aku nggak mau anakku diurus istri baru bapaknya. ”
“ Mbak, kamu mau tak bantuin laporin kejadian ini?”
Seketika aku merasa bodoh. Laporan tentang suami poligami diam-diam. Entah harus lapor kemana, entah adakah tempatnya? Tapi tetap aku pasang wajah meyakinkan agar Galuh merasa dibela.
“ Haha.. aneh-aneh aja kamu. Nanti aku malah disuruh sewa pengacara. Mana mampu?”
Kali ini pemahaman Galuh seaneh kalimat penawaranku.
“ Aku udah kebal kok. Bapakku nggak ada aku nangis, tapi yo sebentar. Wajahku rusak aku nangis, tapi yo nggak lama. Anakku sakit keras aku nangis, tapi yo uwis mau diapakan lagi. Kalau aku nangis, hidup gak akan nge-cup-cup-ke aku tha mbak..”
Hening sesaat.
“ Lagipula, aku merasa aku nggak pernah punya waktu untuk mengiba. Harus tetap kerja, di rumah anak-anak menunggu aku bawa pulang makan. Menunggu aku bayar biaya sekolah mereka. Pura-pura lupa saja aku sama masalah. Kalau sudah lupa betulan, maka aku tidak akan sedih lagi. Malah kadang aku merasa malu sama diri sendiri karena pernah serapuh itu.”
“ Mbak, kamu benci sama suamimu? “
“ Nggak. Istrinya lebih cantik juga dari aku. Lumrah wae. Biar deh, aku nggak perlu melankolis. Toh dia tidak akan kembali seperti yang dulu. “
Aku menegak teh di cangkir coklat sederhana sambil berpikir. Tak lama Galuh bangkit, seakan ingin buru-buru pergi.
“ Eh, taktraktir ya kamu tehnya, gorengane bayar dhewe lho. Hehehe.”
Aku mengernyit. Galuh melangkah pelan, bentuk tubuhnya yang ‘berantakan’ pergi menjauh. Dia tampak sangat tidak wanita. Dia tak pernah mengeluh. Dia sudah kebal, tak lagi ingin menangis. Tiba-tiba ia berbalik.
“ Aku hanya ingin mengadu..”
Seketika kulihat aura yang selama ini tak pernah ia tampakkan. Ada tangannya yang gemulai melambai, walaupun dibungkus kulit yang kasar. Dan aku sungguh-sungguh mendengar aduanmu, Galuh..
Aku benar-benar tahu. Kamu tak ingin lemah, pupus, galau, ataupun gundah. Kamu hanya ingin mengadu dan lalu merasa lebih baik. Tanpa ingin aduan itu berbuah atau beranak. Cukup dengan mengadu.
Komentar
Posting Komentar