Langsung ke konten utama

Memberi Secercah Cahaya

“Cahaya! Beri aku cahaya!” adalah tangisan tak bersuara dari jiwaku, dan cahaya cinta menyinariku tepat pada saat itu. ( Helen Keller )



Kalimat itu merupakan kutipan dari ungkapan salah seorang wanita tuna rungu dan tuna netra asal Amerika yang hidup pada abad 18. Dengan pendidikan ia berhasil keluar dari belenggu keterbatasan yang menghujam jiwanya setiap detik. Jadilah ia wanita pertama peraih gelar sarjana dari perguruan tinggi terkemuka, Harvard University.

Tak berbeda dengan keadaan fisik seorang Helen Keller, pada kehidupan rakyat kita, terutama bagi kelompok menengah ke bawah banyak terjadi kebutaan, ketulian, kebisuan, sampai kepincangan. Kebutaan itu ada karena ketidakmampuan untuk mengenyam pendidikan. Selanjutnya, mereka sulit mendengar atau mencerna tentang banyak fakta di negeri mereka sendiri karena minimnya konsumsi informasi. Keterbatasan itu membuat mereka menjadi bisu, tak tahu apa argumen yang tepat untuk membela hak, tak yakin pula suaranya didengar. Lalu, kepincangan terjadi saat mereka tak dapat berbuat apapun untuk mematahkan nasib kurang mujur.

Adalah sekelompok kaum intelektual yang mencoba terbebas dari keterbatasan, mengisi waktu dengan memahami disiplin ilmu, mencintai budaya diskusi dan menulis, mempunyai visi membangun negeri, bernama mahasiswa. Tak seorang pun dapat membuat stereotype tentang perilaku mahasiswa, namun penjelasan tadi kiranya mewakili beberapa persen dari mereka.

Apalah artinya kelengkapan atribut itu tanpa kemauan untuk berbagi dan berkontribusi. Keresahan itu telah ada di benak sebagian besar dari mahasiswa, dan nafas pergerakan pun berdentum di berbagai penjuru negeri. Idealisme mahasiswa merupakan benda termahal, di dalam setiap kepala terukir utopia yang ingin diwujudkan. Lembaga pers mahasiswa salah satunya, menjadi squad yang skeptis terhadap keadaan yang dirasa tak beres, tanpa lelah mencari fakta yang harus diketahui publik. Berusaha menyuarakan ketidakadilan demi kebenaran tanpa sepeser pun insentif, demi niatan mulia untuk mendidik masyarakat. Walau posisi pers mahasiswa tak sekuat di era 70-an, dimana mereka justru menjadi rujukan, melebihi pers umum, namun karakter kejujuran dan keberanian itu tak pernah luntur.

Selain pers mahasiswa, terdapat berbagai pergerakan mahasiswa yang memiliki idealismenya masing-masing. Badan eksekutif mahasiswa, kelompok riset dan kajian keilmuan, kelompok pemerhati seni dan budaya, dan sebagainya. Tak ada satu bagian pun yang lebih penting dari yang lainnya, masyarakat yang plural perlu berbagai tangan lihai untuk menjangkau mereka.

Mahasiswa telah memiliki kemampuan dan kemauan untuk berkontribusi, selanjutnya yang tak kalah penting adalah mempelajari medan pertempuran. Kuliah Kerja Nyata yang masih diberlakukan oleh beberapa universitas di Indonesia menyadarkan banyak mahasiswa bahwa ilmu dan asumsi yang mereka miliki ternyata tak cukup untuk membangun masyarakat secara efektif. Banyak fakta baru yang tak pernah terpikir sebelumnya dan membuat mahasiswa tak siap untuk menghadapi problema yang ada. Inilah pentingnya budaya riset dan penanaman local wisdom bagi mahasiswa. Berbagai fakta yang kita dapat dari media sampai buku diktat keluaran asing ternyata tak mampu memetakan tantangan yang sesungguhnya, untuk itu porsi observasi lapangan perlu ditambah dalam proses pembelajaran. Kecenderungan arogansi mahasiswa cukup besar dilihat dari kacamata masyarakat, maka diperlukan penanaman local wisdom agar terjadi keselarasan antara mahasiswa dan masyarakat.

Tak ada yang dapat membatasi mereka yang mau dan mampu untuk membangun, namun mahasiswa masih memiliki banyak pekerjaan rumah untuk dapat memaksimalkan kontribusi. Kebutaan, ketulian, kebisuan, dan kepincangan yang dalam kehidupan rakyat akan perlahan hilang dengan keinginan penuh mahasiswa untuk memulai langkah konkret. Tak harus selalu dengan berteriak frontal kritik pejabat negara, karena perubahan bisa dimulai dari yang kecil dan bukan hasil dari menyalahkan keadaan. Masyarakat membutuhkan titik terang yang dapat memberi harapan dan motivasi untuk kehidupan lebih baik, dan mahasiswa mempunyai tugas untuk memberi secercah cahaya perubahan.


Rahmia Hasniasari
Mahasiswa Akuntansi FEB UGM
Pemimpin Umum BPPM Equilibrium



*tulisan ini pernah dimuat di Harian Seputar Indonesia Rabu, 3 Agustus 2010

Komentar

  1. mengapa terang harus berawal dari satu titik bila terang itu telah memiliki banyak sumbernya.

    "Terus terang,kita terang, teruss...",lampu Philips

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hari-hari Menjadi Ibu

Hampir tujuh tahun menjadi ibu, sekarang jadi sadar bahwa perjuangan dan perjalanan yang luar biasa itu bukan sekedar jargon atau ungkapan klise. Di dua sampai tiga tahun pertama merasakan mengurus bayi hingga batita membuat aku sadar tentang: 1. Hal yang biasa terlihat mudah, ternyata luar biasa menantang Sebut saja, menyusui, menyuapi anak sampai bisa makan sesuai porsi, tetap tenang ketika mereka sakit, atau tidak menangis ketika ASI yang baru kita perah tumpah. Hal-hal tersebut tidak pernah terpikir akan menantang ketika aku belum merasakan sendiri. 2. Ibu merespon apa yang dia dengar dan dia baca dengan cara berbeda Aku akan terima saja kalau dibilang baper, tetapi memang setelah melewati banyak proses rasanya jadi ibu membuatku lebih thoughtful dalam berucap dan menulis. Karena ibu merasakan apa yang ia dengar dan ia baca dengan mendalam, sambil memutar kembali rekaman peristiwa yang ia alami. Hal ini tidak remeh, karena mengasah empati. Suatu skill yang penting dimiliki seseor

Dalam Upacara Perpisahanku

Malam itu puluhan orang berkumpul, di ruang yang tak punya tembok, atap, lantai, maupun jendela Mereka tidak masuk lewat pintu, tetapi dari sesuatu bernama tautan   Sambutan demi sambutan, cerita indah hingga sedih, saut menyaut Ingin rasanya aku menanggapi tiap kisah yang mereka lontarkan Misalnya, ketika ada yang bilang aku orang yang tegar -- padahal tidak jarang aku mengeluh dan menangis diam-diam Atau.. Ketika ada yang mengatakan masih punya utang janji padaku, rasanya ingin kutagih tunai malam itu juga   Tapi apa, aku tak ada..  Di daftar nama peserta itu, namaku tak nampak Di layar itu, fotoku tak terlihat Ternyata begini rasanya bisa menyembunyikan tawa dan tangis tanpa harus menutup  microphone  atau kamera -- yang biasa aku lakukan beberapa bulan ini, setiap hari   Dalam upacara tersebut, tidak ada lagi kesal.. Tak ada lagi benci.. Tuntas sudah yang belum selesai Yang ada hanya rasa sayang, rasa syukur aku pernah bertemu mereka dan mencipta banyak kisah indah, unik, atau mela

Jalan Kesana

Kata mama saya, sejak dulu anaknya ini terobsesi dengan Inggris. Asumsi yang didasari oleh hobi masa kecil saya mengumpulkan post card gratisan dari majalah Bobo. Salah satu favorit saya waktu itu yang bergambar Princess Diana. Gak paham lagi, dia anggun banget dan berjiwa sosial, super ngefans! Waktu kecil belum paham tentang skandal percintaannya, jadi tiada celah baginya wkwk. Lalu suatu hari saya pasang post card tersebut di album foto, di sebelah gambar saya lagi tiup lilin ulang tahun ke-5. Kayaknya random aja waktu itu, bukan ala ala sikap yang penting untuk dikenang bertahun-tahun kemudian. Saya sendiri lupa sama sekali kejadian itu. Dan ingin ke London karena entah kenapa saya penasaran sama Inggris, belum pernah kesana, dan negara itu tampak sangat unik. Banyak musikus yang karyanya saya nikmati berasal dari Inggris, seperti The Beatles, Elton John, Sting, Coldplay. Saya selalu yakin nuansa sebuah kota berpengaruh terhadap jiwa seni warganya, semacam Jogja atau Ba