Langsung ke konten utama

Cerdas Menilik Kebijakan


Kita terbiasa dididik dan hidup dengan pilihan yang longgar atau meringankan. Berbagai kebijakan diterabas dengan mencari solusi yang memudahkan. Lihat saja aturan three in one yang sebenarnya punya tujuan mengurangi kepadatan jalan dan polusi udara. Bukannya berusaha bergabung dengan mobil milik rekan, banyak orang berpikir praktis dengan membayar beberapa ribu rupiah untuk jasa joki. Jadilah aturan itu dianggap menyulitkan, dan sibuk ditentang. Tak terkecuali kebijakan kenaikan tarif dasar listrik yang jadi buah bibir beberapa pekan terakhir, protes berkembang, minta ampun agar tak ada aturan baru yang mengocek kantong rakyat lebih banyak lagi.

Kebijakan kenaikan tarif listrik berkisar antara 6% sampai 18%, yang diatur sesuai dengan pemakaian daya. Keluhan datang dari pemakai daya kecil (rumah tangga) sampai pelanggan bisnis dan industri. Bagi pelanggan kelas industri, timbul kekawatiran meningkatnya beban biaya produksi. Kenaikan tersebut memberikan pilihan bagi perusahaan antara mengulum pahitnya profit margin yang rendah atau meningkatkan pendapatan melalui pembebanan ke harga jual produk. Pilihan pertama tentu berat, karena telah tersusun anggaran yang meng-cover tak hanya kos langsung, namun juga kos tak langsung yang telah diterapkan dari periode dan benchmark penggapaian tertentu. Tak ayal pilihan berikutnya dengan meningkatkan harga produk, tentu akan mengakibatkan efek domino dengan melambungnya harga kebutuhan lain, dan makin tercekiknya masyarakat.

Kita tak punya banyak pilihan, karena kebijakan tetaplah kebijakan, yang juga telah disahkan dan harus kita telan sebagaimanapun getirnya. Mencoba menerawang bila kebijakan tersebut dapat ditaati dengan bijaksana, dorongan untuk melakukan efisiensi produksi dalam memanfaatkan energi listrik. Dalam hitungan penganggaran kos produksi tentu banyak terjadi ketidakefisienan yang harusnya dapat dikurangi, misalnya pengoptimalan set up cost yang tak sedikit. Bila dikaji lebih lanjut, sesungguhnya pemakaian mesin secara tepat aturan dan efisien akan menjaganya tetap ‘sehat’ dan selanjutnya dapat mengurangi kos depresiasi, pengurangan beban jangka panjang industri. Efisiensi produksi dalam memanfaatkan energi listrik dapat memberi banyak kemanfaatan secara ekonomis. Sama halnya dengan industri, pelanggan rumah tangga dan pelaku bisnis dituntut untuk melakukan penghematan listrik kalau tak mau kebijakan ini makin menipiskan dompetnya.

Sebenarnya ajakan untuk melakukan efisiensi penggunaan listrik telah didendangkan cukup lama, dengan pemadaman bergilir sampai ajakan waktu tertentu untuk mengurangi beban listrik. Selain melihat potensi dampak ekonomis pada industri dan beban PLN sendiri, efisiensi penting dilakukan karena dapat menekan laju pemanasan global.
Saat menilik akibat dan berpikir jernih bagaimana menyikapinya, sebelumnya perlu untuk menelaah penyebab diberlakukannya kebijakan ini, yaitu : perbaikan struktur keuangan PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) agar bisa meningkatkan investasinya. Kita perlu berempati secara logis saat fakta mengatakan bahwa PLN kesulitan mencari pinjaman bagi proyek investasinya bila tidak dijamin oleh pemerintah. Disamping itu, sudah saatnya pemerintah mengurangi subsidi yang diberikan pada PLN, agar selanjutnya dialokasikan pada sektor lain yang lebih membutuhkan.

Kebijakan akan baik selama dijalankan sesuai aturan dan proses yang terjaga ‘kebersihannya’ sehingga tak menghamba pada keuntungan pihak tertentu yang mengakibatkan terjadinya penyelewengan. Tak hanya rakyat yang dituntut untuk cerdas dan dewasa dalam memandang sebuah kebijakan yang tak selalu mencakup keuntungan semua golongan, namun juga pemerintah yang dapat membangun kepercayaan publik pada amanah dan keyakinan yang telah dititipkan.


Rahmia Hasniasari
Mahasiswa Akuntansi FEB UGM
Pemimpin Umum BPPM Equilibrium


*tulisan ini pernah dimuat di Harian Seputar Indonesia Rabu, 28 Juli 2010

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dalam Upacara Perpisahanku

Malam itu puluhan orang berkumpul, di ruang yang tak punya tembok, atap, lantai, maupun jendela Mereka tidak masuk lewat pintu, tetapi dari sesuatu bernama tautan   Sambutan demi sambutan, cerita indah hingga sedih, saut menyaut Ingin rasanya aku menanggapi tiap kisah yang mereka lontarkan Misalnya, ketika ada yang bilang aku orang yang tegar -- padahal tidak jarang aku mengeluh dan menangis diam-diam Atau.. Ketika ada yang mengatakan masih punya utang janji padaku, rasanya ingin kutagih tunai malam itu juga   Tapi apa, aku tak ada..  Di daftar nama peserta itu, namaku tak nampak Di layar itu, fotoku tak terlihat Ternyata begini rasanya bisa menyembunyikan tawa dan tangis tanpa harus menutup  microphone  atau kamera -- yang biasa aku lakukan beberapa bulan ini, setiap hari   Dalam upacara tersebut, tidak ada lagi kesal.. Tak ada lagi benci.. Tuntas sudah yang belum selesai Yang ada hanya rasa sayang, rasa syukur aku pernah bertemu mereka dan mencipta banyak...

Jalan Kesana

Kata mama saya, sejak dulu anaknya ini terobsesi dengan Inggris. Asumsi yang didasari oleh hobi masa kecil saya mengumpulkan post card gratisan dari majalah Bobo. Salah satu favorit saya waktu itu yang bergambar Princess Diana. Gak paham lagi, dia anggun banget dan berjiwa sosial, super ngefans! Waktu kecil belum paham tentang skandal percintaannya, jadi tiada celah baginya wkwk. Lalu suatu hari saya pasang post card tersebut di album foto, di sebelah gambar saya lagi tiup lilin ulang tahun ke-5. Kayaknya random aja waktu itu, bukan ala ala sikap yang penting untuk dikenang bertahun-tahun kemudian. Saya sendiri lupa sama sekali kejadian itu. Dan ingin ke London karena entah kenapa saya penasaran sama Inggris, belum pernah kesana, dan negara itu tampak sangat unik. Banyak musikus yang karyanya saya nikmati berasal dari Inggris, seperti The Beatles, Elton John, Sting, Coldplay. Saya selalu yakin nuansa sebuah kota berpengaruh terhadap jiwa seni warganya, semacam Jogja atau Ba...

Dalaila Gisdara

Sebuah frase yang masih membuat saya sedikit geli tiap kali diucapkan, ketika kami ke klinik anak untuk imunisasi misalnya. Sebuah nama lengkap yang 100 persen dibuat oleh ayahnya, semudah mencuplik nama Dalai Lama dan Gusdur. Sejak awal kami berkomitmen untuk membuat nama yang sederhana dan Indonesia banget. Kendatipun demikian masih banyak yang bilang nama ini rumit dan berat. Yasudah, mudahnya panggil saja dia Agis. Agis punya wajah yang manis, entah, sampai sekarang masih dalam perdebatan mirip siapakah bayi ini. Saya suka sekali dengan senyumnya yang menyapa di pagi hari dan setiap malam sepulang saya dari kantor. Saya juga suka sekali dengan tangisnya saat minta minum atau merasa popoknya sudah tidak lagi nyaman. Saya menyukai tiap senti yang ada pada Agis, entah indah atau tidak. Kadang masih tidak percaya bahwa Agis adalah bagian dari saya, bahwa keberadaannya dimulai dari kehidupan saya.  Beberapa minggu setelah melahirkan Agis, saya sempat m...