Langsung ke konten utama

PELAJARAN DARI THE FED ST. LOUIS (catatan perjalanan AS bagian 2)


Senin, 27 Februari 2017 kami berjalan santai menuju diskusi di The Federal Reserves Bank of St. Louis. Sejak malam sebelumnya rombongan saya tinggal di Hyatt Regency St. Louis, tak jauh dari perkantoran The Fed. Sekalipun berangkat dengan jalan kaki kami masih punya waktu untuk… foto-foto di loteng perkantoran demi mendapat pemandangan terbaik. Setelah masuk The Fed pun, beberapa dari rombongan (termasuk saya) juga masih foto-foto. Agak malu menceritakan keudikan ini, sampai kami ditegur staf keamanan dan dilarang ambil gambar. Sudah menjadi rahasia umum bahwa area bank sentral seringkali disterilkan atau dijaga dengan pengamanan ketat, hanya saja saya sudah terlalu terbiasa dengan budaya di Bank Indonesia yang tidak se-strict itu.

Selfie dari atas loteng
Sedikit berbicara tentang substansi diskusi hari itu, kami bertemu dengan perwakilan dari banyak bagian di The Fed St. Louis. Diskusi dibuka oleh James Fuchs, yang membahas tentang pandangannya terhadap kondisi perekonomian AS saat ini, lengkap dengan pengaruh Trump dan dampak dari sentimen global. Singkat cerita, dari sisi stabilitas keuangan tidak perlu terlalu dikhawatirkan dari negara bagian St. Louis, atau AS secara umum karena kondisi perbankan bisa dibilang aman.

Diskusi berlanjut dengan update dari staf Divisi Pemberdayaan Masyarakat yang membagi tentang sepak terjang mereka untuk memastikan pertumbuhan ekonomi dapat dinikmati oleh lebih banyak orang. Dalam hal ini, sama seperti Indonesia, AS mengalami dilema antara tren positif pada pertumbuhan ekonomi yang dibarengi oleh melebarnya ketimpangan. Isu yang cukup krusial disana adalah tentang perumahan dan keluarga miskin yang tidak memiliki dana darurat. Pengeluaran untuk perumahan bagi keluarga miskin menempati lebih dari 30 persen total penghasilan, ya tidak jauh lah dari yang terjadi di Jakarta, harga rumah/tanah disana super mahal. Sedihnya, sebetulnya St. Louis tidak termasuk daerah mahal di AS, berbeda dengan Jakarta yang merupakan kota terbesar di Indonesia, sehingga harusnya harga tanah masih dapat dijangkau. Sebelumnya saya sempat ngobrol sebentar dengan Daniel, staf Divisi Pemberdayaan Masyarakat yang memaparkan hal di atas. Selalu tertarik dengan hal berbau pemberdayaan masyarakat dimanapun saya berada, selain memang suka juga karena Riski bekerja di bidang ini, jadi gak sabar pengen cerita sepulangnya saya ke Indonesia.

Dari sesi diskusi tersebut ada fakta yang sangat menarik buat saya, yaitu bahwa mayoritas masyarakat di St. Louis adalah petani, sektor pertanian menyumbang hampir 50 persen pertumbuhan ekonomi pada kuartal-IV 2016. Bahkan The Fed memiliki laporan terpisah yang berfokus pada sektor tersebut, bernama Agricultural Finance Monitor. Ketika saya menanyakan apakah petani masuk ke kelompok keluarga miskin yang menjadi fokus bagi tim pemberdayaan masyarakat, mereka menjawab tidak. Kenapa? Karena petani disana sudah kaya, atau setidaknya tidak masuk ke golongan orang miskin. Saat saya menanyakan kenapa (lagi), mereka menjawab karena kebanyakan petani berproduksi dalam skala ekonomi yang besar, memiliki modal yang memadai, dan manajemen penyaluran produk yang profesional. Di otak saya langsung muncul, andai saja di Indonesia hasil tani bisa dikelola dengan profesional secara kumulatif dan tidak merugikan petani, mungkin banyak anak SD yang masih bercita-cita jadi petani hehe. Serius, saya beneran sedih karena sebagai negara agraris, anak-anak Indonesia justru menganggap petani bukan profesi yang menarik. Bukan hanya anaknya, orang tuanya juga kebanyakan demikian. Petani dianggap sebagai pekerjaan orang miskin di daerah yang diperuntukan bagi mereka yang tidak bisa sekolah tinggi. Sekalipun buat saya, agak kepikiran juga kalau suatu hari nanti Agis ternyata bercita-cita jadi petani akan bolehin gak ya.

Diskusi dilanjutkan dengan pembahasan mengenai anggaran, penelitian di bank sentral, dan strategi komunikasi. Saya sangat terkesima oleh Divisi Komunikasi The Fed St. Louis yang dapat melakukan analisis mendalam mengenai pemisahan publik dalam berbagai kelompok dan cara bank sentral menanggapinya. Setidaknya kelompok tersebut diklasifikasikan menjadi tiga tipe, yaitu: (1) publik yang cukup “berisik” namun sebetulnya tidak peduli dengan kebijakan apapun yang diambil oleh bank sentral, (2) publik yang peduli dengan kebijakan bank sentral dan perilakuknya secara agregat dapat berpengaruh terhadap perekonomian (contoh: investor), dan (3) publik yang sangat mengamati setiap langkah bank sentral dan dapat menciptakan moral suassion terkait hal tersebut. Dengan pemetaan itu bank sentral dapat memilah respon yang tepat dan efisien. Di zaman dengan teknologi super maju seperti saat ini sangatlah penting untuk mampu mengidentifikasi bagaimana harus bersikap dalam hal komunikasi publik, misalnya saat terjadi perang di sosial media. Scrunity yang terjadi di sosmed kadang tidak menggambarkan kondisi publik yang sesungguhnya dan hanya akan buang tenaga kalau suatu institusi terlalu jauh menanggapi desas-desus yang ada.

Saya kebayang sih, banyak institusi di Indonesia yang harus kerepotan mengurusi hal ini, alhasil energi mereka terserap untuk hal yang kurang produktif. Diskusi tersebut cukup membuka mata untuk selalu memolakan berbagai fenomena di sekeliling saya, apalagi bila sudah terkait pekerjaan atau ranah profesionalisme. Saya harus banyak belajar untuk memfokuskan energi dan waktu ke hal yang memang mendukung tujuan profesional dan pribadi saya (misal: mengurangi frekuensi bermain instagram dan megalihkan waktunya untuk membaca artikel yang berhubungan dengan ekonomi dan keuangan, ini susah banget haha).


Saya akan cerita beberapa hal menarik lainnya dari The Fed St. Louis di tulisan berikutnya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dalam Upacara Perpisahanku

Malam itu puluhan orang berkumpul, di ruang yang tak punya tembok, atap, lantai, maupun jendela Mereka tidak masuk lewat pintu, tetapi dari sesuatu bernama tautan   Sambutan demi sambutan, cerita indah hingga sedih, saut menyaut Ingin rasanya aku menanggapi tiap kisah yang mereka lontarkan Misalnya, ketika ada yang bilang aku orang yang tegar -- padahal tidak jarang aku mengeluh dan menangis diam-diam Atau.. Ketika ada yang mengatakan masih punya utang janji padaku, rasanya ingin kutagih tunai malam itu juga   Tapi apa, aku tak ada..  Di daftar nama peserta itu, namaku tak nampak Di layar itu, fotoku tak terlihat Ternyata begini rasanya bisa menyembunyikan tawa dan tangis tanpa harus menutup  microphone  atau kamera -- yang biasa aku lakukan beberapa bulan ini, setiap hari   Dalam upacara tersebut, tidak ada lagi kesal.. Tak ada lagi benci.. Tuntas sudah yang belum selesai Yang ada hanya rasa sayang, rasa syukur aku pernah bertemu mereka dan mencipta banyak...

Jalan Kesana

Kata mama saya, sejak dulu anaknya ini terobsesi dengan Inggris. Asumsi yang didasari oleh hobi masa kecil saya mengumpulkan post card gratisan dari majalah Bobo. Salah satu favorit saya waktu itu yang bergambar Princess Diana. Gak paham lagi, dia anggun banget dan berjiwa sosial, super ngefans! Waktu kecil belum paham tentang skandal percintaannya, jadi tiada celah baginya wkwk. Lalu suatu hari saya pasang post card tersebut di album foto, di sebelah gambar saya lagi tiup lilin ulang tahun ke-5. Kayaknya random aja waktu itu, bukan ala ala sikap yang penting untuk dikenang bertahun-tahun kemudian. Saya sendiri lupa sama sekali kejadian itu. Dan ingin ke London karena entah kenapa saya penasaran sama Inggris, belum pernah kesana, dan negara itu tampak sangat unik. Banyak musikus yang karyanya saya nikmati berasal dari Inggris, seperti The Beatles, Elton John, Sting, Coldplay. Saya selalu yakin nuansa sebuah kota berpengaruh terhadap jiwa seni warganya, semacam Jogja atau Ba...

Dalaila Gisdara

Sebuah frase yang masih membuat saya sedikit geli tiap kali diucapkan, ketika kami ke klinik anak untuk imunisasi misalnya. Sebuah nama lengkap yang 100 persen dibuat oleh ayahnya, semudah mencuplik nama Dalai Lama dan Gusdur. Sejak awal kami berkomitmen untuk membuat nama yang sederhana dan Indonesia banget. Kendatipun demikian masih banyak yang bilang nama ini rumit dan berat. Yasudah, mudahnya panggil saja dia Agis. Agis punya wajah yang manis, entah, sampai sekarang masih dalam perdebatan mirip siapakah bayi ini. Saya suka sekali dengan senyumnya yang menyapa di pagi hari dan setiap malam sepulang saya dari kantor. Saya juga suka sekali dengan tangisnya saat minta minum atau merasa popoknya sudah tidak lagi nyaman. Saya menyukai tiap senti yang ada pada Agis, entah indah atau tidak. Kadang masih tidak percaya bahwa Agis adalah bagian dari saya, bahwa keberadaannya dimulai dari kehidupan saya.  Beberapa minggu setelah melahirkan Agis, saya sempat m...