Dari banyak negara
maju yang ada, Amerika Serikat (AS) adalah pilihan terakhir yang ingin saya
kunjungi. Sejak masih remaja, negara-negara Eropa selalu jadi idaman dan
impian. Mungkin karena saya mudah jatuh cinta dengan bangunan kuno dan puisi; serta sejarah di balik
karya-karya tersebut –yang kebanyakan berada di Eropa. Saat itu bagi saya AS
(seperti julukannya) terlalu adidaya. Lihat saja film Hollywood yang hobi
menampilkan lakon pahlawan super atau sosok perempuan yang sempurna from head to toe. Hal itu membuat saya
merasa bahwa AS enggak aku banget,
karena saya kurang suka sesuatu yang berlebihan. Itulah mengapa saya selalu suka film Prancis
yang mengalir dan kerap menampilkan alur dan tokoh yang penuh
ketidaksempurnaan.
Meski demikian,
jiwa suka gratisan saya tidak pandang bulu. Sejak dipilih untuk ikut dalam
kunjungan kerja ke AS, saya sangat bersemangat. Semua pekerjaan terkait kunjungan kerja saya kerjakan dalam tempo
sesingkat-singkatnya dan quality control berlapis
(dengan kata lain turut dikoreksi oleh suami tercinta), supaya semua urusan
cepat beres. Jadilah, pada 25 Februari, di sebuah senja yang teduh, pesawat
yang saya tumpangi terbang menuju AS dengan total durasi 23 jam 10 menit.
Pengalaman terlama saya berada di atas awan.
Minggu, 26 Februari
2017 rombongan kami sampai di bandara John F. Kennedy. Di depan pintu
kedatangan sudah siap tim Bank Indonesia perwakilan New York menyambut kami.
Kesan pertama saya, AS sangat security freak. Hal
ini sudah pernah dibahas oleh seorang teman saya yang
mengunjungi Washington DC beberapa waktu lalu. Aapalagi sejak boarding
di Dubai, saya sudah ditandai dengan kode SSSS (America’s
Secondary Security Screening Selection), sehingga perlu
pemeriksaan di ruang terpisah. Menurut beberapa rujukan yang saya baca banyak faktor
yang bisa membuat seseorang mendapatkan kode tersebut, misalnya pembelian tiket
sekali jalan mendekati tanggal keberangkatan. Ada juga artikel yang menulis
bahwa SSSS biasanya berlaku pada terrorist
watch list. Sewaktu saya bertanya kepada petugas yang memeriksa, ternyata
saya masuk ke kelompok random selection, rezeki banget ya.
Begitu pula ketika
sampai di New York, pada lembar kedatangan saya diberi tanda silang, yang
berarti saya harus masuk ke antrean yang berbeda dengan kebanyakan orang.
Antrean saya pun diperiksa lebih ketat. Sedihnya, kebanyakan saya lihat orang
di antrean saya adalah mereka yang berasal dari negara Asia Selatan. Melihat
sejarah panjang AS yang beberapa kali “kecolongan” dalam hal keamanan (hampir semua jenis bom
pernah mampir ke bandara AS, termasuk bom di dalam printer, pelampung, dan
pakaian dalam), saya mencoba memahami keparnoan mereka. Lebih tepatnya, mau tidak mau
harus memahami karena tidak ada cara lain untuk masuk.
Tujuan pertama
rombongan kami adalah rumah Kepala BI cabang New York yang ada di Forrest
Hills. Sebuah kawasan elit yang nyatanya jauh dari kesan tersebut. Area
perumahan tersebut bagi saya merupakan gambaran hunian impian untuk banyak
orang: berada di pusat kota, dipenuhi banyak pepohonan, tidak terlalu padat,
punya jalan yang besar, dan diiringi
suara kicauan burung. Setelah menyantap makanan yang
sangat Amerika (surabi siram dan lontong cap gomeh :p), kami foto-foto
sebentar, lalu bersiap ke bandara menuju St. Louis.
suasana Forrest Hill
Ketika tiba St. Louis, tidak banyak aktivitas dan saya lakukan karena
hari sudah larut. Kami hanya sempat check
in hotel dan makan malam. Kami pasrah dengan apa yang akan disantap karena
tidak banyak restoran yang buka malam itu, akhirnya pilihan jatuh di restoran
Jepang yang menawarkan menu all you can
it. Sesampainya di hotel saya masih harus mengirim email kerjaan yang cukup drama karena size-nya besar dan wifi hotel cukup lemot (penting banget ya diceritain haha).
Sesaat sebelum terpejam saya menoleh ke jendela, melihat St. Louis yang senyap di hampir dini hari. Tidak banyak hari yang seperti itu, ketika saya berjarak ribuan kilometer dari rumah, akhirnya bisa punya waktu untuk kembali memikirkan: apa yang saya cari di hidup ini dan apa yang masih ingin saya kejar. Hampir dua tahun belakangan saya lebih sering ketiduran di malam hari sambil menyusui Agis. Di 24 jam pertama itu tidak ada kata lain selain rasa syukur dan harapan, super tak sabar melihat kejutan-kejutan dari tanah Copernicus selanjutnya!
Sesaat sebelum terpejam saya menoleh ke jendela, melihat St. Louis yang senyap di hampir dini hari. Tidak banyak hari yang seperti itu, ketika saya berjarak ribuan kilometer dari rumah, akhirnya bisa punya waktu untuk kembali memikirkan: apa yang saya cari di hidup ini dan apa yang masih ingin saya kejar. Hampir dua tahun belakangan saya lebih sering ketiduran di malam hari sambil menyusui Agis. Di 24 jam pertama itu tidak ada kata lain selain rasa syukur dan harapan, super tak sabar melihat kejutan-kejutan dari tanah Copernicus selanjutnya!
Komentar
Posting Komentar