Langsung ke konten utama

Konsistensi

Di sebuah warung kopi di Sarinah, sore itu saya sedang bercerita dengan Riski tentang banyak hal. Seperti biasa, topiknya tidak jauh dari keluhan pekerjaan dan kekhawatiran akan masa depan. Kisah klasik. Tidak berkesudahan. Ini semacam topik dua tahun lalu, tahun lalu, atau bulan lalu yang tak habis diceritakan. Di whatsapp, telepon, warung bubur ayam, sampai gerbong kereta. Kadang rasanya seperti kufur nikmat karena merasa begini.

Saya merasa begitu lepas bercerita dengan Riski, seperti bisa berbicara tanpa harus memikirkan apa yang mesti dikatakan. Seperti bertanya tanpa takut dengan segala jawaban. Di suatu waktu dia mengatakan beberapa kalimat yang lebih dahsyat dari caramel macchiato yang saya minum sore itu. Bikin tak bisa tidur.

“Ada satu kelemahanmu yang dari dulu enggak berubah. Kamu itu enggak konsisten orangnya. Entah belajar, menyelesaikan tulisan, atau diet sekalipun.”

Saya nyengir, lalu merasa yang dikatakannya benar juga. Sulit sekali bagi saya melakukan sebuah hal yang rutin atau konsisten. Mungkin dua hal itu beda, namun saking tuna konsisten dan tuna rutinnya saya, sampai-sampai batas dua kata itu terasa terlalu abu-abu. Saya tidak bisa bangun pada waktu yang sama pada rentang lebih dari seminggu. Setidaknya per dua minggu jadwal harian saya bisa terekonstruksi karena justifikasi tertentu yang kadang terasa menciptakan kehidupan yang lebih berkualitas. Bahkan dalam memilih foto yang harus dihapus, sulit bagi saya untuk memilih dengan selalu mendatar atau menurun. Hampir bisa dipastikan saya berubah gerakan setiap waktu, karena sesaat merasa dengan begitu akan lebih efektif, lebih menyenangkan, dan sebagainya.

“Kamu selalu menemukan alasan untuk membenarkan ketidak-konsistenanmu.”

Pipi ini makin merona mendengarnya. Sungguh bukan sebuah sikap pemalu yang patut dibanggakan, namun memang sedang benar-benar merasa malu saat itu. Misalnya, pada saat saya diet nasi beberapa waktu lalu. Diet nasi sukses menurunkan tiga kilogram massa tubuh saya dalam tiga minggu. Tak lama berselang, massa tubuh ini kembali naik karena pergi ke Makassar empat hari, sebanyak tiga kilogram. Impas. Setelah insiden itu terjadi, selalu saya utarakan kalimat pembelaan ini,

“Makanan di Makassar enak-enak, dan belum tentu bakal kesana lagi tahun depan.”

Hal ini barangkali menyedihkan tapi konyol. Namun sayangnya hidup tak bisa terus diiringi tawa karena hal konyol yang kita alami. Apapun alasannya, konsistensi adalah sebuah harga mati bagi mereka yang ingin maju dan mencapai asanya.

Saya sangat meyakini bahwa keluhan tentang pekerjaan dan kekhawatiran akan masa depan sebagian besar dikontribusikan oleh sikap yang tak konsisten.
Agaknya perlu berterima kasih pada Riski (lagi dan lagi), atas kemauannya untuk mendengarkan segala kisah berulang, nasihatnya, dan atas kelahiran tulisan ini. Ketidak-konsistenan membuat saya vacuum menulis terlalu lama.

Pada sebuah malam dimana menulis renungan diri lebih menarik ketimbang mengerjakan tugas kantor. Di suatu malam yang akhirnya ditutup dengan satu tulisan yang selesai, setelah sekian lama absen. Jakarta, 14 Februari 2014

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hari-hari Menjadi Ibu

Hampir tujuh tahun menjadi ibu, sekarang jadi sadar bahwa perjuangan dan perjalanan yang luar biasa itu bukan sekedar jargon atau ungkapan klise. Di dua sampai tiga tahun pertama merasakan mengurus bayi hingga batita membuat aku sadar tentang: 1. Hal yang biasa terlihat mudah, ternyata luar biasa menantang Sebut saja, menyusui, menyuapi anak sampai bisa makan sesuai porsi, tetap tenang ketika mereka sakit, atau tidak menangis ketika ASI yang baru kita perah tumpah. Hal-hal tersebut tidak pernah terpikir akan menantang ketika aku belum merasakan sendiri. 2. Ibu merespon apa yang dia dengar dan dia baca dengan cara berbeda Aku akan terima saja kalau dibilang baper, tetapi memang setelah melewati banyak proses rasanya jadi ibu membuatku lebih thoughtful dalam berucap dan menulis. Karena ibu merasakan apa yang ia dengar dan ia baca dengan mendalam, sambil memutar kembali rekaman peristiwa yang ia alami. Hal ini tidak remeh, karena mengasah empati. Suatu skill yang penting dimiliki seseor

Dalam Upacara Perpisahanku

Malam itu puluhan orang berkumpul, di ruang yang tak punya tembok, atap, lantai, maupun jendela Mereka tidak masuk lewat pintu, tetapi dari sesuatu bernama tautan   Sambutan demi sambutan, cerita indah hingga sedih, saut menyaut Ingin rasanya aku menanggapi tiap kisah yang mereka lontarkan Misalnya, ketika ada yang bilang aku orang yang tegar -- padahal tidak jarang aku mengeluh dan menangis diam-diam Atau.. Ketika ada yang mengatakan masih punya utang janji padaku, rasanya ingin kutagih tunai malam itu juga   Tapi apa, aku tak ada..  Di daftar nama peserta itu, namaku tak nampak Di layar itu, fotoku tak terlihat Ternyata begini rasanya bisa menyembunyikan tawa dan tangis tanpa harus menutup  microphone  atau kamera -- yang biasa aku lakukan beberapa bulan ini, setiap hari   Dalam upacara tersebut, tidak ada lagi kesal.. Tak ada lagi benci.. Tuntas sudah yang belum selesai Yang ada hanya rasa sayang, rasa syukur aku pernah bertemu mereka dan mencipta banyak kisah indah, unik, atau mela

Jalan Kesana

Kata mama saya, sejak dulu anaknya ini terobsesi dengan Inggris. Asumsi yang didasari oleh hobi masa kecil saya mengumpulkan post card gratisan dari majalah Bobo. Salah satu favorit saya waktu itu yang bergambar Princess Diana. Gak paham lagi, dia anggun banget dan berjiwa sosial, super ngefans! Waktu kecil belum paham tentang skandal percintaannya, jadi tiada celah baginya wkwk. Lalu suatu hari saya pasang post card tersebut di album foto, di sebelah gambar saya lagi tiup lilin ulang tahun ke-5. Kayaknya random aja waktu itu, bukan ala ala sikap yang penting untuk dikenang bertahun-tahun kemudian. Saya sendiri lupa sama sekali kejadian itu. Dan ingin ke London karena entah kenapa saya penasaran sama Inggris, belum pernah kesana, dan negara itu tampak sangat unik. Banyak musikus yang karyanya saya nikmati berasal dari Inggris, seperti The Beatles, Elton John, Sting, Coldplay. Saya selalu yakin nuansa sebuah kota berpengaruh terhadap jiwa seni warganya, semacam Jogja atau Ba