Langsung ke konten utama

Bertemu Laya Lagi

Empat buah balon silver sudah siap menyambut malam panjang ini, malam Minggu. Satu Februari, sehari setelah Laya ulang tahun.

Uci dan Riski menunggu di ruang tamu, tak sabar mau berangkat. Apa daya, karena ini sebuah acara kejutan, kami harus mendatangi Laya dengan diam-diam. Saat itu Kaka dan Koko menjadi orang paling berjasa karena dengan ikhlas membantu kami untuk siapkan kejutan. Sampai di apartemen Laya kami bertiga sembunyi di salah satu kamar sambil cekikikan, tak lama terdengar suara gagang pintu –yang terkunci dengan kunci yang menggantung- disertai suara batuk-batuk Koko yang menjadi kode penting bagi kami.

Agak lupa apa yang Laya katakan saat masuk ruangan, tak lama kami keluar dengan balon bertuliskan “Laya” dan sebuah kue tinggi kalori sambil menyanyi “Happy Birthday”. Laya teriak panjang. Dimulailah sesi peluk, tiup lilin, bagi-bagi kue, dan buka kado.

Malam itu sungguh menyenangkan. Kami berlima –saya, Uci, Koko, dan Laya- bercerita banyak tentang pekerjaan, teman-teman, sampai isu nasional. Koko yang sedang produktif menulis di koran memperlihatkan beberapa artikelnya. Sekitar 1,5 jam kami berhaha-hihi bersama, nostalgia masa-masa kuliah sambil mengemil makanan imlek Keluarga Hadylaya tanpa henti.

Tak lama datanglah Keluarga Hadylaya full team. Saat kami ingin pamit pulang, Koko menanyakan beberapa hal yang membuat kepulangan kami tertunda. Tak lama Maminya Laya membawa tiga amplop merah dan membagikannya pada saya, Uci, dan Riski. Angpau pertama –dan sepertinya terakhir- dalam hidup saya. Akhirnya bisa juga merasakan kebahagiaan dapat angpao yang ternyata begitu luar biasa. Saat itu kami bertiga terkaget-kaget, antara senang dan tak percaya. Sampai-sampai saya merasa bahwa kebahagiaan Laya malam itu karena dapat kejutan tidak seberapa dibanding apa yang kami bertiga rasakan.

Saya sangat senang malam itu, entah kenapa. Selain karena perkara angpao saya merasa kembali menemukan sahabat lama yang jauh pergi. Laya adalah salah satu sahabat terbaik semasa kuliah yang bersedia meluangkan waktu kapan saja untuk mendengar cerita sampai memberikan pendapat untuk beberapa keputusan penting. Bahkan saking cocoknya kadang saya merasa bahwa watak kami banyak miripnya.

Di banyak waktu di beberapa bulan belakangan saya sempat mengira bahwa kami tidak akan pernah meneruskan kedekatan pertemanan masa kuliah. Tapi saya belum benar ternyata, karena hubungan baik di masa lalu tidak akan pernah hilang. Meskipun esok kami mungkin akan jarang berjumpa dan kembali merasa saling “jauh”, figur seseorang yang baik dan menyayangi saya akan tetap melekat pada sosok Laya.Saya senang kami bertemu lagi…

Jakarta, 14 Februari 2014
gambar: instagram @shadylaya

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hari-hari Menjadi Ibu

Hampir tujuh tahun menjadi ibu, sekarang jadi sadar bahwa perjuangan dan perjalanan yang luar biasa itu bukan sekedar jargon atau ungkapan klise. Di dua sampai tiga tahun pertama merasakan mengurus bayi hingga batita membuat aku sadar tentang: 1. Hal yang biasa terlihat mudah, ternyata luar biasa menantang Sebut saja, menyusui, menyuapi anak sampai bisa makan sesuai porsi, tetap tenang ketika mereka sakit, atau tidak menangis ketika ASI yang baru kita perah tumpah. Hal-hal tersebut tidak pernah terpikir akan menantang ketika aku belum merasakan sendiri. 2. Ibu merespon apa yang dia dengar dan dia baca dengan cara berbeda Aku akan terima saja kalau dibilang baper, tetapi memang setelah melewati banyak proses rasanya jadi ibu membuatku lebih thoughtful dalam berucap dan menulis. Karena ibu merasakan apa yang ia dengar dan ia baca dengan mendalam, sambil memutar kembali rekaman peristiwa yang ia alami. Hal ini tidak remeh, karena mengasah empati. Suatu skill yang penting dimiliki seseor

Dalam Upacara Perpisahanku

Malam itu puluhan orang berkumpul, di ruang yang tak punya tembok, atap, lantai, maupun jendela Mereka tidak masuk lewat pintu, tetapi dari sesuatu bernama tautan   Sambutan demi sambutan, cerita indah hingga sedih, saut menyaut Ingin rasanya aku menanggapi tiap kisah yang mereka lontarkan Misalnya, ketika ada yang bilang aku orang yang tegar -- padahal tidak jarang aku mengeluh dan menangis diam-diam Atau.. Ketika ada yang mengatakan masih punya utang janji padaku, rasanya ingin kutagih tunai malam itu juga   Tapi apa, aku tak ada..  Di daftar nama peserta itu, namaku tak nampak Di layar itu, fotoku tak terlihat Ternyata begini rasanya bisa menyembunyikan tawa dan tangis tanpa harus menutup  microphone  atau kamera -- yang biasa aku lakukan beberapa bulan ini, setiap hari   Dalam upacara tersebut, tidak ada lagi kesal.. Tak ada lagi benci.. Tuntas sudah yang belum selesai Yang ada hanya rasa sayang, rasa syukur aku pernah bertemu mereka dan mencipta banyak kisah indah, unik, atau mela

Jalan Kesana

Kata mama saya, sejak dulu anaknya ini terobsesi dengan Inggris. Asumsi yang didasari oleh hobi masa kecil saya mengumpulkan post card gratisan dari majalah Bobo. Salah satu favorit saya waktu itu yang bergambar Princess Diana. Gak paham lagi, dia anggun banget dan berjiwa sosial, super ngefans! Waktu kecil belum paham tentang skandal percintaannya, jadi tiada celah baginya wkwk. Lalu suatu hari saya pasang post card tersebut di album foto, di sebelah gambar saya lagi tiup lilin ulang tahun ke-5. Kayaknya random aja waktu itu, bukan ala ala sikap yang penting untuk dikenang bertahun-tahun kemudian. Saya sendiri lupa sama sekali kejadian itu. Dan ingin ke London karena entah kenapa saya penasaran sama Inggris, belum pernah kesana, dan negara itu tampak sangat unik. Banyak musikus yang karyanya saya nikmati berasal dari Inggris, seperti The Beatles, Elton John, Sting, Coldplay. Saya selalu yakin nuansa sebuah kota berpengaruh terhadap jiwa seni warganya, semacam Jogja atau Ba