Menulis surat
Tak terlalu digemari lagi, tapi masih sering aku menulisnya. Tak banyak beda antara baca dan tulis, sampai semua kata jadi kehilangan arti. Terlalu sering, terlalu banyak.
Setiap surat memiliki amplopnya, Pak Pos menunggu untuk antarkan, dan penerima menunggu si bapak itu, mengintip lewat jendela kamar setiap pagi.
Utopia penulis surat yang melankolis.
Nyatanya. Tak semua nama yang dituju berniat membaca surat yang tak lebih berharga dari kertas yang tergeletak dengan beberapa goresan tinta. Kedua, kalaupun baca, mereka belum tentu paham benar apa maknanya, jangan-jangan kadang surat itu dikira salah alamat. Kasihan Pak Pos.
Tapi aku tetap menulis, lagi dan lagi, sampai habis yang ada dalam hati, tumpah-tumpah menggenangi ruang literasi.
Siapapun penerimanya, ku cukupkan untuk hanya membuat surat itu. Menulisnya dan simpan rapat dalam amplop jingga. Tak ada yang tahu.
Kedalamannya. Pesan yang paling ingin ku katakan ada di dalam surat yang tak pernah sampai.
eh rahmia.
BalasHapuskamu belum nge link aku ya.
engg.. kayaknya aku udah lama ga nulis surat, karena tidk ada lagi yang bisa menyentuh hati dan membuat tangan ingin mewakili bibir.
eh kapan ya nulis surat? surat cinta? surat lamaran (najessss)suratan takdir???
BalasHapusNB: woi koq ga bisa subscribe pake yahooo yaaaa