Lewat layar televisi, media cetak, dan di dalam forum-forum kampus kita sering melihat seseorang yang tampak kenabi-nabian atau setengah dewa. Seseorang yang memiliki manajemen ekspektasi baik, tak banyak menuntut dari perilaku dan pencitraan orang lain. Saya dapat dengan mudah kagum dengan seseorang yang pandai mengaji dan bagus bacaan sholatnya. Mereka yang pandai berorasi pun sering dielu-elukan disana sini. Banyak pula di antaranya yang benar-benar pandai bersosialisasi, sehingga siapapun nyaman berada di sekelilingnya.
Cantik, pandai, dan rendah hati. Sebaliknya, tampan, santun, dan cerdas. Tak jarang ditemui orang-orang macam itu dalam lingkungan kita. Kadang saya bertanta-tanya, bagaimana bisa mereka se-luar biasa itu. Apakah peradaban sudah kian maju, seakan manusia tak ada anomalinya.
Berbicara mengenai hubungan antara pria dan wanita. Penjajakan, berpacaran, atau ta'aruf, atau sebutan-sebutan lain yang dirasa pantas. Beberapa orang mengalami banyak kejadian serupa. Antara satu pasangan dan pasangan lainnya kadang memiliki cerita yang sama.
Singkirkan dulu tentang segala yang berhubungan dengan romantisme, kasih sayang, dan kemauan saling memberi. Fitrahnya, kejadian kurang menyenangkan pasti terjadi dalam setiap hubungan. Ada cemburu, posesif, kejenuhan, atau mungkin rasa maunya menang sendiri. Seseorang yang baik di mata publik, belum tentu sama baiknya di mata pasangan.
Pria yang cerdas dan ramah, bisa jadi tukang mengeluh dan ketus terhadap pasangannya. Wanita yang penyayang dan logis mungkin saja mudah cemburu buta dan hobi mengatur lelakinya. Hubungan antar pria dan wanita seperti rumah yang terkunci dengan jendela yang tertutup rapat. Bagaikan ada berbagai kesepakatan tidak tertulis bahwa cukup hanya mereka berdua yang tau isi rumah.
Ya, cinta memang tidak untuk diumbar pada publik. Kadang salah satu di antara mereka bercerita pada sahabat saat hilang arah dalam menghadapi masalah. Tetapi, tak ada yang tahu apakah cerita tersebut lengkap dan telanjang, tanpa sehelai benang pun menutupi. Wanita bilang prianya kasar, lelakinya konfirmasi si wanita tak bisa diatur. Mereka memang benar-benar datang dari dua planet berbeda, Venus dan Mars.
Suatu hari, sahabat saya mengatakan, "Kadang aku bisa menjadi sangat jahat di depan kekasihku, lebih jahat dari yang ku lakukan pada siapapun. "
Saya sontak terkaget-kaget, dia wanita yang lembut bagi siapapun yang mengenalnya, tetapi dia suka melarang kekasihnya keluar rumah jika tidak dengannya. Saat direnungkan, saya pikir benar juga. Saya pun mungkin pernah melakukan hal serupa, semangat 45 untuk mengantar teman mencari buku, tapi malas bukan main temani pacar survey velg mobil. Ya, variabelnya juga mesti jadi pertimbangan, apa yang dicari, dan kemana tempat yang dituju. Tetapi kata-kata teman tadi banyak menyadarkan bahwa ternyata kadang saya tak adil antara memperlakukan khalayak dan pasangan. Bisa saja sabar, luar biasa sabar saat bertemu rekan yang sulit diajak bekerja sama, tetap pasang senyum dan tarik nafas dalam-dalam untuk memanjangkan usus. Tetapi begitu dengan pacar, terlalu lama menunggu dijemput untuk malam mingguan saja bisa sangat memancing emosi dan kadang terlalu mungkin terlontar kata-kata kasar.
Semuanya memang relatif, tidak berlaku pada setiap pasangan. Ada juga banyak manusia yang healthy inside fresh outside alias dengan siapapun selalu bersikap sama.
Saat kita berlaku tak baik pada lingkungan sosial, dampaknya akan jelas terasa, menjadi public enemy. Kekuatan kasih berbeda, pasangan cenderung lebih mudah memaafkan, dan saat masalah selesai berlaku seperti tak pernah ada sesuatu pun terjadi. Tetapi kalau menumpuk, jengah juga.
Sebuah anomali, kadang pertemuan dengan pasangan bagaikan tong sampah. Kita selalu berusaha prima di depan banyak orang, berpikir positif dan menahan kesabaran setengah mati. Hal itu tentu berbuah manis, bisa dengan ungkapan kagum, sampai perlakuan istimewa dari lingkungan. Namun, dalam titik tertentu manusia juga bisa saja jenuh dengan istilah memahami orang lain, toleransi, dan mengalah. Pasangan kita yang cenderung dapat lebih menerima, lantas dijadikan tempat pembuangan akhir dari segala masalah. Dimulai dari keluhan-keluhan hidup, sampai jadi mudah marah karena hal tak esensial. Bukan masalah besar saat kita dalam masa pendekatan di awal penjajakan, semua masih terlampau dini, manis, dan indah. Tapi jadi problem besar saat menjadi kebiasaan menahun dalam suatu hubungan.
Biasa mendapat sanjungan dari berbagai pihak, dan tidak mendapat hal yang sama dari pasangan adalah sebuah isu sensitif. Sebenarnya logis saja, kita jarang berdandan manis saat berada di rumah, dan di rumahlah kita bertemu pasangan. Ini hanya analogi, tetapi sah saja kalau diartikan mentah-mentah. Dalam hubungan suami istri pun sering terjadi begitu. Saat tak dikatakan pintar atau menarik oleh pasangan, sepihak saja wanita dapat mengatakan lelakinya tak peduli dan kurang menghargai.
Pada hakikatnya, pasangan tetaplah orang lain, sedekat apapun kita dengannya. Harus tetap diperlakukan dengan baik dari awal dan seterusnya. Kalau bisa bersabar pada teman sekampus, harusnya bisa bersabar juga padanya. Kalau lelah karena sudah terlalu banyak bertoleransi dengan lingkungan, cobalah sesekali perlihatkan kelelahan itu pada mereka, dan bukan hanya pada pasangan. Manis dan luar biasa baik di awal hubungan memang baik, dan sering terjadi, tetap konsistensi tersebut alangkah baiknya dibawa terus dalam perjalanan.
Hubungan haruslah independen, menjadi sebuah objek yang diperhatikan baik, ada manajemennya juga. Hubungan bukan sebuah tong sampah yang hanya berisi ekstraksi buruk diri, bukan pula pengganti nomor 911 saat sewaktu-waktu butuh bantuan.
Seseorang berkata, semua ada di google, hampir semua. Kecuali perasaan.
Memang terlampau sulit mengejawantahkan perasaan, hubungan, dan anomali-anomali lain di dalamnya. Setiap apa-apa yang kita lakukan manusiawi, dan mungkin juga dilakukan orang lain, jadi tak perlu merasa terlalu bersalah.
Sekali lagi, buanglah benda tak terpakai sedikit demi sedikit. Begitu ada, langsung buang. Tempat sampah itu banyak, yang butuh dibuang juga banyak, tak apa, toh kita juga yang menikmati isi dari bungkus tak terpakai itu. Hindari menimbunnya terlalu banyak, apalagi membiarkan hanya satu saja yang jadi tong sampahnya.
16.9.10
05.13
Cantik, pandai, dan rendah hati. Sebaliknya, tampan, santun, dan cerdas. Tak jarang ditemui orang-orang macam itu dalam lingkungan kita. Kadang saya bertanta-tanya, bagaimana bisa mereka se-luar biasa itu. Apakah peradaban sudah kian maju, seakan manusia tak ada anomalinya.
Berbicara mengenai hubungan antara pria dan wanita. Penjajakan, berpacaran, atau ta'aruf, atau sebutan-sebutan lain yang dirasa pantas. Beberapa orang mengalami banyak kejadian serupa. Antara satu pasangan dan pasangan lainnya kadang memiliki cerita yang sama.
Singkirkan dulu tentang segala yang berhubungan dengan romantisme, kasih sayang, dan kemauan saling memberi. Fitrahnya, kejadian kurang menyenangkan pasti terjadi dalam setiap hubungan. Ada cemburu, posesif, kejenuhan, atau mungkin rasa maunya menang sendiri. Seseorang yang baik di mata publik, belum tentu sama baiknya di mata pasangan.
Pria yang cerdas dan ramah, bisa jadi tukang mengeluh dan ketus terhadap pasangannya. Wanita yang penyayang dan logis mungkin saja mudah cemburu buta dan hobi mengatur lelakinya. Hubungan antar pria dan wanita seperti rumah yang terkunci dengan jendela yang tertutup rapat. Bagaikan ada berbagai kesepakatan tidak tertulis bahwa cukup hanya mereka berdua yang tau isi rumah.
Ya, cinta memang tidak untuk diumbar pada publik. Kadang salah satu di antara mereka bercerita pada sahabat saat hilang arah dalam menghadapi masalah. Tetapi, tak ada yang tahu apakah cerita tersebut lengkap dan telanjang, tanpa sehelai benang pun menutupi. Wanita bilang prianya kasar, lelakinya konfirmasi si wanita tak bisa diatur. Mereka memang benar-benar datang dari dua planet berbeda, Venus dan Mars.
Suatu hari, sahabat saya mengatakan, "Kadang aku bisa menjadi sangat jahat di depan kekasihku, lebih jahat dari yang ku lakukan pada siapapun. "
Saya sontak terkaget-kaget, dia wanita yang lembut bagi siapapun yang mengenalnya, tetapi dia suka melarang kekasihnya keluar rumah jika tidak dengannya. Saat direnungkan, saya pikir benar juga. Saya pun mungkin pernah melakukan hal serupa, semangat 45 untuk mengantar teman mencari buku, tapi malas bukan main temani pacar survey velg mobil. Ya, variabelnya juga mesti jadi pertimbangan, apa yang dicari, dan kemana tempat yang dituju. Tetapi kata-kata teman tadi banyak menyadarkan bahwa ternyata kadang saya tak adil antara memperlakukan khalayak dan pasangan. Bisa saja sabar, luar biasa sabar saat bertemu rekan yang sulit diajak bekerja sama, tetap pasang senyum dan tarik nafas dalam-dalam untuk memanjangkan usus. Tetapi begitu dengan pacar, terlalu lama menunggu dijemput untuk malam mingguan saja bisa sangat memancing emosi dan kadang terlalu mungkin terlontar kata-kata kasar.
Semuanya memang relatif, tidak berlaku pada setiap pasangan. Ada juga banyak manusia yang healthy inside fresh outside alias dengan siapapun selalu bersikap sama.
Saat kita berlaku tak baik pada lingkungan sosial, dampaknya akan jelas terasa, menjadi public enemy. Kekuatan kasih berbeda, pasangan cenderung lebih mudah memaafkan, dan saat masalah selesai berlaku seperti tak pernah ada sesuatu pun terjadi. Tetapi kalau menumpuk, jengah juga.
Sebuah anomali, kadang pertemuan dengan pasangan bagaikan tong sampah. Kita selalu berusaha prima di depan banyak orang, berpikir positif dan menahan kesabaran setengah mati. Hal itu tentu berbuah manis, bisa dengan ungkapan kagum, sampai perlakuan istimewa dari lingkungan. Namun, dalam titik tertentu manusia juga bisa saja jenuh dengan istilah memahami orang lain, toleransi, dan mengalah. Pasangan kita yang cenderung dapat lebih menerima, lantas dijadikan tempat pembuangan akhir dari segala masalah. Dimulai dari keluhan-keluhan hidup, sampai jadi mudah marah karena hal tak esensial. Bukan masalah besar saat kita dalam masa pendekatan di awal penjajakan, semua masih terlampau dini, manis, dan indah. Tapi jadi problem besar saat menjadi kebiasaan menahun dalam suatu hubungan.
Biasa mendapat sanjungan dari berbagai pihak, dan tidak mendapat hal yang sama dari pasangan adalah sebuah isu sensitif. Sebenarnya logis saja, kita jarang berdandan manis saat berada di rumah, dan di rumahlah kita bertemu pasangan. Ini hanya analogi, tetapi sah saja kalau diartikan mentah-mentah. Dalam hubungan suami istri pun sering terjadi begitu. Saat tak dikatakan pintar atau menarik oleh pasangan, sepihak saja wanita dapat mengatakan lelakinya tak peduli dan kurang menghargai.
Pada hakikatnya, pasangan tetaplah orang lain, sedekat apapun kita dengannya. Harus tetap diperlakukan dengan baik dari awal dan seterusnya. Kalau bisa bersabar pada teman sekampus, harusnya bisa bersabar juga padanya. Kalau lelah karena sudah terlalu banyak bertoleransi dengan lingkungan, cobalah sesekali perlihatkan kelelahan itu pada mereka, dan bukan hanya pada pasangan. Manis dan luar biasa baik di awal hubungan memang baik, dan sering terjadi, tetap konsistensi tersebut alangkah baiknya dibawa terus dalam perjalanan.
Hubungan haruslah independen, menjadi sebuah objek yang diperhatikan baik, ada manajemennya juga. Hubungan bukan sebuah tong sampah yang hanya berisi ekstraksi buruk diri, bukan pula pengganti nomor 911 saat sewaktu-waktu butuh bantuan.
Seseorang berkata, semua ada di google, hampir semua. Kecuali perasaan.
Memang terlampau sulit mengejawantahkan perasaan, hubungan, dan anomali-anomali lain di dalamnya. Setiap apa-apa yang kita lakukan manusiawi, dan mungkin juga dilakukan orang lain, jadi tak perlu merasa terlalu bersalah.
Sekali lagi, buanglah benda tak terpakai sedikit demi sedikit. Begitu ada, langsung buang. Tempat sampah itu banyak, yang butuh dibuang juga banyak, tak apa, toh kita juga yang menikmati isi dari bungkus tak terpakai itu. Hindari menimbunnya terlalu banyak, apalagi membiarkan hanya satu saja yang jadi tong sampahnya.
16.9.10
05.13
Komentar
Posting Komentar