Dari kecil saya hidup di rumah yang ramai bersama tiga saudara kandung,
mama, dan beberapa asisten rumah tangga yang sudah dianggap keluarga sendiri. Ketika
masih tinggal di Jogja, rumah kami berdekatan dengan simbah, pakdhe, dan budhe,
sehingga sepi dan sendiri bukan hal yang biasa buat saya. Hal lain yang cukup
dominan dalam keluarga saya adalah karakter super ekspresif. Bila sedang seru bercerita,
mama saya bisa mencubit gemas lawan bicaranya. Begitu pun kalau ada anak bayi
yang makannya banyak, pasti dengan ekspresif dibilang, “wah pintar” dengan mata
berbinar dan nada agak meninggi. Ini bukan tulisan parenting, tentang bagaimana mengatasi anak susah makan atau pro
dan kontra dalam memuji anak. Tradisi itulah yang membuat saya bisa dibilang
orang yang sangat bersemangat dan selalu menunggu momen-momen bahagia dengan
segala semaraknya.
Barulah ketika mengenal Riski, saya paham bahwa hidup tak semarak itu bisa
jadi menyenangkan. Suami saya ini cukup introvert
sekalipun ia juga suka bergaul. Di akhir pekan dia selalu lebih suka santai di
rumah, nonton televisi atau baca buku. Selain itu, kami juga sangat
berkebalikan dalam menanggapi sesuatu. Riski bisa saja memasang ekspresi
datar ketika diberi kado ulang tahun, sampe saya berpikir dia sepertinya tidak
suka. Padahal dia suka, karena kalau tidak ia tak pernah pura-pura suka.
Hidup bersama membuat kami harus saling menyesuaikan satu sama lain. Semakin
kesini saya lihat kadang dia cukup ekspresif karena dia tahu “kadar penangkapan”
saya atas perasaan orang cukup rendah. Sebaliknya, saya ternyata bisa
menghargai tanggapannya yang datar dan kejujuran yang ada di baliknya.
Dari semua banyak hal yang harus ditambahkan dan dikurangi, satu hal yang
masih saya perjuangkan adalah pergi keluar rumah di akhir pekan. Buat saya hal
ini penting. Keluar rumah tidak harus belanja atau bertemu dengan teman, hanya
dengan minum kopi sebentar atau cari buku buat Agis saya bisa merasa sangat
terisi. Bila ada mimpi masa kecil yang sangat visioner yang masih saya ingat,
maka itu adalah duduk dalam perjalanan bersama suami dan anak. Saya selalu suka
waktu dimana kami harus bersiap-siap, merencanakan akan kemana hari itu, dan
ketika tiba di tujuan. Definisi hidup yang semarak bagi saya adalah pergi di
akhir pekan.
Setelah tiga bulan di London, kebiasaan itu harus saya sapih. Akhir pekan
justru medan pertempuran yang sebenar-benarnya. Demi dapat menjaga Agis di term
depan, saya mesti ambil mata kuliah sebanyak-banyaknya di term ini. Konsekuensinya,
waktu serasa tak pernah cukup untuk menguliti ilmu demi melihat dunia dengan lebih
baik. Bagi saya sekarang, Sabtu-Minggu artinya kejar setoran baca artikel,
membuat ringkasan, dan mengerjakan esai. Hal itu didukung dengan kenyataan
bahwa teman-teman flat saya juga sibuk di akhir pekan. Dinda mengerjakan tugas
analisis data atau matematika, Kara membuat desain untuk presentasi Senin, dan
Octo tidak akan di flat selama perpustakaan kampus belum tutup. Sesekali kami
pergi sebentar untuk belanja kebutuhan harian atau mendinginkan kepala yang
mulai berasap. Tetapi benar-benar jarang.
Hari ini bukan pengecualian, saya dikejar target harus baca delapan jam. Meski
sebenarnya ini bukan target dari siapa-siapa, saya tidak suka merasa buruk
karena merusak rencana sendiri. Setelah berkali-kali mengganjal perut dengan
donat sejak kemarin, saya rindu makanan asin, Lalu teringat bumbu pecel yang
masih duduk manis di kulkas. Sambil merebus brokoli, saya melihat kereta yang
lalu lalang di depan flat. Seakan tak jemu ia lintasi rel di udara sedingin
ini, tak kenal akhir pekan.
Tak lama, saya duduk sebentar di kursi makan dan berpikir ini sudah hampir
sore di hari Minggu, tetapi bacaan saya masih banyak. Anehnya, saya tidak panik, padahal
biasanya selalu hampir menangis karena takut tidak siap menghadapi Senin
dan segala serangannya. Saya pun menyeruput kopi sambil melihat
jendela lagi. Menikmati hari Minggu yang tersisa. Hari yang
seharusnya saya tunggu dan jalani dengan senang, meski kali ini tak semarak. Tetapi ternyata
kebahagiaan tidak melulu harus dirayakan dengan semarak. Tak harus pergi
keluar, tak mesti berseru-seru dengan banyak orang. Cukup dengan perasaan yang
tenang dan merasa baik-baik saja. Punya sesuatu yang bisa dimakan, masih ada waktu
untuk menyelesaikan kewajiban, dan tahu bahwa banyak tempat untuk berbagi
bila ingin.
Saya memilih untuk menikmati rasa sepi sembari menyemarakkan lagi Catatan
Kecil ini :)
Komentar
Posting Komentar