Langsung ke konten utama

EKONOMI DAN AKUNTANSI (catatan perjalanan AS bagian 3)


Selasa, 28 Februari, saya dan rombongan sudah berada di Denver untuk berdiskusi dengan profesor dari University of Denver. Siangnya kami menempuh perjalanan darat 40 km menuju diskusi lanjutan dengan University of Colorado Boulder. Kami mendiskusikan tentang perekonomian AS, khususnya di bidang moneter (perbankan, suku bunga bank sentral, dan capital stability). 

Selalu tidak mudah merelasikan bahasan yang ada di dunia moneter dan bank sentral dengan bidang keilmuan yang saya miliki, akuntansi. Sampai siang itu saya menyadari bahwa ilmu tidak boleh dikotak-kotakkan demikian. Ada kalanya kita memang perlu memasang batasan, untuk memastikan fokus yang diambil dalam mendalami ilmu. Tetapi saya sadar bahwa ketidakmampuan saya untuk menghubungkan adalah akibat ketidakmauan mendalami ilmu di luar akuntansi. 

Ternyata kuliah mata kuliah ekonomi moneter 3 SKS yang saya ambil belum bisa memberikan bekal yang cukup untuk menjadi ahli di bidang akuntansi moneter (ada ya? hahaha). Pernah saya curhat ke Riski, yang notabene anak Ilmu Ekonomi dan cukup paham bidang moneter, bahwa saya putus asa banget sama pekerjaan ini. Duh, malah curhat kerjaan. Saya sering sekali merasa terlalu bodoh untuk membuat analisis laporan keuangan bank sentral, ngerasa sudah melakukan segala hal tapi memang analisisnya sulit sekali. Riski selalu bilang bahwa itu tandanya saya kurang baca, kurang belajar. Makin sedih, tapi mungkin dia benar. Selama ini saya terlalu asik mendalami akutansi keperilakuan atau ilmu tentang tata kelola, penelitian yang saya laukan pun kebanyakan menyoroti isu itu. Tidak salah ya belajar dua bidang tersebut, tetapi realitanya saya wajib ‘ain banyak belajar moneter. Ada bagusnya juga Riski memilih jujur walaupun pahit daripada berusaha menghibur tetapi tidak memberi saya motivasi. 

Diskusi di Colorado membuat saya tercambuk untuk tidak mengkhianati gelar yang tertera di belakang nama, Sarjana Ekonomi. Harus paham (juga) ekonomi dan bukan (hanya) akuntansi.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dalam Upacara Perpisahanku

Malam itu puluhan orang berkumpul, di ruang yang tak punya tembok, atap, lantai, maupun jendela Mereka tidak masuk lewat pintu, tetapi dari sesuatu bernama tautan   Sambutan demi sambutan, cerita indah hingga sedih, saut menyaut Ingin rasanya aku menanggapi tiap kisah yang mereka lontarkan Misalnya, ketika ada yang bilang aku orang yang tegar -- padahal tidak jarang aku mengeluh dan menangis diam-diam Atau.. Ketika ada yang mengatakan masih punya utang janji padaku, rasanya ingin kutagih tunai malam itu juga   Tapi apa, aku tak ada..  Di daftar nama peserta itu, namaku tak nampak Di layar itu, fotoku tak terlihat Ternyata begini rasanya bisa menyembunyikan tawa dan tangis tanpa harus menutup  microphone  atau kamera -- yang biasa aku lakukan beberapa bulan ini, setiap hari   Dalam upacara tersebut, tidak ada lagi kesal.. Tak ada lagi benci.. Tuntas sudah yang belum selesai Yang ada hanya rasa sayang, rasa syukur aku pernah bertemu mereka dan mencipta banyak...

Jalan Kesana

Kata mama saya, sejak dulu anaknya ini terobsesi dengan Inggris. Asumsi yang didasari oleh hobi masa kecil saya mengumpulkan post card gratisan dari majalah Bobo. Salah satu favorit saya waktu itu yang bergambar Princess Diana. Gak paham lagi, dia anggun banget dan berjiwa sosial, super ngefans! Waktu kecil belum paham tentang skandal percintaannya, jadi tiada celah baginya wkwk. Lalu suatu hari saya pasang post card tersebut di album foto, di sebelah gambar saya lagi tiup lilin ulang tahun ke-5. Kayaknya random aja waktu itu, bukan ala ala sikap yang penting untuk dikenang bertahun-tahun kemudian. Saya sendiri lupa sama sekali kejadian itu. Dan ingin ke London karena entah kenapa saya penasaran sama Inggris, belum pernah kesana, dan negara itu tampak sangat unik. Banyak musikus yang karyanya saya nikmati berasal dari Inggris, seperti The Beatles, Elton John, Sting, Coldplay. Saya selalu yakin nuansa sebuah kota berpengaruh terhadap jiwa seni warganya, semacam Jogja atau Ba...

Dalaila Gisdara

Sebuah frase yang masih membuat saya sedikit geli tiap kali diucapkan, ketika kami ke klinik anak untuk imunisasi misalnya. Sebuah nama lengkap yang 100 persen dibuat oleh ayahnya, semudah mencuplik nama Dalai Lama dan Gusdur. Sejak awal kami berkomitmen untuk membuat nama yang sederhana dan Indonesia banget. Kendatipun demikian masih banyak yang bilang nama ini rumit dan berat. Yasudah, mudahnya panggil saja dia Agis. Agis punya wajah yang manis, entah, sampai sekarang masih dalam perdebatan mirip siapakah bayi ini. Saya suka sekali dengan senyumnya yang menyapa di pagi hari dan setiap malam sepulang saya dari kantor. Saya juga suka sekali dengan tangisnya saat minta minum atau merasa popoknya sudah tidak lagi nyaman. Saya menyukai tiap senti yang ada pada Agis, entah indah atau tidak. Kadang masih tidak percaya bahwa Agis adalah bagian dari saya, bahwa keberadaannya dimulai dari kehidupan saya.  Beberapa minggu setelah melahirkan Agis, saya sempat m...