Langsung ke konten utama

Kaleidoskop Liburan Akhir Tahun Versi Ibu Agis: Mall, Hiburan Instan, dan Godaannya

Media sosial telah secara resmi membuat saya tertekan karena tidak punya agenda jalan-jalan di akhir tahun. Mungkin memang saya telat berencana, tetapi banyak alasan kenapa akhirnya memilih berada di Jakarta saat dunia maya sedang hingar-bingar oleh puluhan foto liburan. Pertama, persiapan sekolah. Lagi, lagi, dan lagi. Saya harus tes IELTS ulang karena sertifikat saya sudah basi padahal masih diperlukan untuk persyararatan visa (atau mendaftar sekolah lain, kalau masih tenaga). Begitupun Riski. Atas nama tes pada minggu pertama Januari nanti, tidak pas rasanya kalau kami mengurangi durasi belajar dengan berlibur di akhir tahun. Kedua, misi penghematan. Saya rasa dua kata itu sudah mewakili banyak penjelasan, sehingga tidak lagi perlu ditulis disini.

Gara-gara seharian di rumah, pada long weekend hari Natal saya merasa amat sangat bosan. Ditambah, kalau sedang bosan belajar saya pasti buka instagram. Hari yang biasa saja seketika berubah jadi suram hanya karena merasa saya terperangkap di Jakarta di saat semua orang bepergian kesana-kemari. Langsung saja, muncul di benak saya berbagai hiburan instan seperti: makan es krim, makan pizza, atau makan Shihlin. Makanan semua. Saya juga jadi kepikiran untuk mengajak Agis ke play ground atau membelikannya mainan baru karena kasihan dia tidak liburan kemana-mana. Pada liburan hari Natal itu, selama tiga hari berturut-turut kami pergi ke mall terdekat dengan rumah. Senang? Tentu. Tetapi entah kenapa di akhir senangnya terasa semu, karena ujung-ujungnya boros juga. Mending liburan sekalian.

Berbicara tentang mall, saya jadi ingat cerita zaman sekolah dulu. Papa saya bekerja di Jakarta, sedangkan mama dan anak-anaknya menetap di Jogjakarta. Jadilah hampir setiap liburan saya main ke Jakarta. Waktu itu papa saya bisa dibilang cukup sibuk – dan mungkin tidak tertarik untuk pergi ke objek wisata yang aneh-aneh, sehingga liburan kami biasa diisi dengan pergi ke mall. Mungkin disitu saya mengenal bahwa pergi ke mall adalah hiburan yang menyenangkan, meskipun tidak membuat saya addicted. Tinggal di Yogyakarta yang (waktu itu) mall-nya tidak banyak, membuat saya lebih sering menghabiskan waktu luang di tempat lain, seperti tempat makan, bioskop (yang bukan di dalam mall), atau karaoke. Ya, enggak jauh-jauh juga sih. Mungkin kunjungan saya ke Ambarrukmo Plaza selama kuliah bisa dihitung dengan jari tangan dan kaki.

Bekerja di Jakarta membuat saya sering ke mall. Sebelum punya anak, hampir setiap Jumat malam saya rutin nonton sama Riski. Biasanya akhir pekan kami masih suka window shopping atau sekedar makan di... mall. Begitu pula ketemuan sama teman, kebanyakan ya disitu-situ lagi. Nyaman dan banyak pilihan makanan. Sampai sebelum tahun baru kemarin kepala saya hampir meledak mengingat bahwa saya sudah terlalu sering ke mall. Sekalipun bukan seseorang yang anti mall, saya merasa ada yang tidak sehat dengan semua ini. Bahkan untuk berhenti menulis kata mall di artikel ini pun saya tak mampu! hahaha

Kemudian saya mencoba membayangkan hidup tanpa mall. Misalnya saja saya, sebagai pekerja yang baru meniti karir di bawah lima tahun dan istri Aparatur Negara. Sudah sepantasnya saya hidup sederhana. Mengatur penghasilan keluarga kami untuk digunakan secara bijak sebagian ke pos pengeluaran bulanan dan menyisihkan sebagian lainnya untuk tabungan atau membayar cicilan. Di akhir pekan kami bisa masak bersama, merapikan rumah, atau mengunjungi saudara. Setiap sebulan sekali saya mungkin akan mengantar Agis ke kebun binatang atau berenang. Adanya mall mendistraksi bayangan itu dengan berbagai godaan, seperti: sering jajan dan membeli barang (baju, sepatu, tas) branded untuk dipakai ke makan-makan atau jalan-jalan di mall hahaha (tertawa miris).

Saya juga jadi kepikiran bahwa akhir-akhir ini saya suka mengeluh, kurang sabar, dan kurang bersyukur karena merasa tekanan hidup yang begitu tingginya. Padahal tekanan-tekanan itu diciptakan oleh saya sendiri. Kalau diingat, dulu awal ke Jakarta niat saya cuma supaya bisa kerja yang berguna buat banyak orang, gaji tidak penting (asal cukup buat kehidupan sehari-hari). Dulu juga, saya berkomitmen kepada diri sendiri untuk senantiasa mendukung karir suami tanpa memberikan banyak tekanan. Nyatanya, akhir-akhir ini saya jadi banyak mau. Merasa ingin ini ingin itu yang sebenarnya tidak begitu perlu, sehingga kadang niatan saya mengejar puncak karir hanyalah demi kemauan duniawi. Sedih sekali.

Untunglah, menjelang akhir tahun juga indikator keseimbangan hidup saya kembali bekerja. Saya kembali mengingat apa yang sebenarnya saya cari, bahwa saya tidak harus mengikuti arus, juga bahwa saya harus makin giat mencari sumber kebahagiaan yang tidak fana. Tepat sebelum liburan tahun baru saya bilang ke Riski untuk menunda waktu belajar kami (tadinya mau non-stop dari 31 Desember-2 Januari). Pada tanggal 31 Desember kami memutuskan untuk pergi ke Bogor naik kereta, tanpa stroller, tanpa diapers bag, atau hal-hal lain yang khalayak pikirkan harus dibawa seorang bayi dalam sebuah perjalanan. Kami menikmati waktu untuk minum susu segar, makan pizza kayu bakar, naik angkot, dan jalan-jalan di area Kebun Raya Bogor. Kenapa tidak dari dulu ya kepikiran ide semacam ini. Tentu saja, perjalanan tersebut juga banyak dramanya. Karena lelah, kami beberapa kali bertengkar. Tetapi hari itu rasanya puas banget, bahkan bisa membuat kami sejenak melupakan tekanan tes IELTS yang tinggal minggu depan.

Di malam tanggal 31 Desember, tidak ada ritual menonton kembang api, tidak ada ucapan “Happy New Year”. Kami bertiga tidur pulas kelelahan. Riski bangun sebentar karena di luar berisik. Saya dibangunkannya sambil menunjuk jam dinding, lalu saya melihat sudah jam 12, dan karena mengantuk luar biasa saya langsung tidur lagi tanpa tanggapan apapun. Pagi harinya, di saat timeline sosial media dipenuhi dengan ucapan tahun baru dan semua yang pertama di tahun 2017, saya merasa sangat senang tanpa terdorong untuk melakukan hal yang sama.

Selamat meluruskan niat dan memperbaharui semangat!


P.S. Justru hari inilah saat yang bagi saya tepat untuk menyampaikan “Tulisan pertama di 2017”

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dalam Upacara Perpisahanku

Malam itu puluhan orang berkumpul, di ruang yang tak punya tembok, atap, lantai, maupun jendela Mereka tidak masuk lewat pintu, tetapi dari sesuatu bernama tautan   Sambutan demi sambutan, cerita indah hingga sedih, saut menyaut Ingin rasanya aku menanggapi tiap kisah yang mereka lontarkan Misalnya, ketika ada yang bilang aku orang yang tegar -- padahal tidak jarang aku mengeluh dan menangis diam-diam Atau.. Ketika ada yang mengatakan masih punya utang janji padaku, rasanya ingin kutagih tunai malam itu juga   Tapi apa, aku tak ada..  Di daftar nama peserta itu, namaku tak nampak Di layar itu, fotoku tak terlihat Ternyata begini rasanya bisa menyembunyikan tawa dan tangis tanpa harus menutup  microphone  atau kamera -- yang biasa aku lakukan beberapa bulan ini, setiap hari   Dalam upacara tersebut, tidak ada lagi kesal.. Tak ada lagi benci.. Tuntas sudah yang belum selesai Yang ada hanya rasa sayang, rasa syukur aku pernah bertemu mereka dan mencipta banyak...

Jalan Kesana

Kata mama saya, sejak dulu anaknya ini terobsesi dengan Inggris. Asumsi yang didasari oleh hobi masa kecil saya mengumpulkan post card gratisan dari majalah Bobo. Salah satu favorit saya waktu itu yang bergambar Princess Diana. Gak paham lagi, dia anggun banget dan berjiwa sosial, super ngefans! Waktu kecil belum paham tentang skandal percintaannya, jadi tiada celah baginya wkwk. Lalu suatu hari saya pasang post card tersebut di album foto, di sebelah gambar saya lagi tiup lilin ulang tahun ke-5. Kayaknya random aja waktu itu, bukan ala ala sikap yang penting untuk dikenang bertahun-tahun kemudian. Saya sendiri lupa sama sekali kejadian itu. Dan ingin ke London karena entah kenapa saya penasaran sama Inggris, belum pernah kesana, dan negara itu tampak sangat unik. Banyak musikus yang karyanya saya nikmati berasal dari Inggris, seperti The Beatles, Elton John, Sting, Coldplay. Saya selalu yakin nuansa sebuah kota berpengaruh terhadap jiwa seni warganya, semacam Jogja atau Ba...

Dalaila Gisdara

Sebuah frase yang masih membuat saya sedikit geli tiap kali diucapkan, ketika kami ke klinik anak untuk imunisasi misalnya. Sebuah nama lengkap yang 100 persen dibuat oleh ayahnya, semudah mencuplik nama Dalai Lama dan Gusdur. Sejak awal kami berkomitmen untuk membuat nama yang sederhana dan Indonesia banget. Kendatipun demikian masih banyak yang bilang nama ini rumit dan berat. Yasudah, mudahnya panggil saja dia Agis. Agis punya wajah yang manis, entah, sampai sekarang masih dalam perdebatan mirip siapakah bayi ini. Saya suka sekali dengan senyumnya yang menyapa di pagi hari dan setiap malam sepulang saya dari kantor. Saya juga suka sekali dengan tangisnya saat minta minum atau merasa popoknya sudah tidak lagi nyaman. Saya menyukai tiap senti yang ada pada Agis, entah indah atau tidak. Kadang masih tidak percaya bahwa Agis adalah bagian dari saya, bahwa keberadaannya dimulai dari kehidupan saya.  Beberapa minggu setelah melahirkan Agis, saya sempat m...