Langsung ke konten utama

Hitungan Mundur


Menghitung mundur hari belum pernah semengharukan ini.

Beberapa hari lalu aku bermimpi tentang selasar kampus yang diselimuti mendung, berjalan bersama beberapa sahabat menuju kantin sambil becanda mengingat tingkah konyol di kelas yang baru saja usai. Tiba-tiba pandanganku gelap, mata terbuka paksa, dan jam dinding telah menunjukkan garis lurus vertikal. Saatnya bersiap ke kantor. Dua puluh hari lagi.

Aku bertanya pada Riski, bolehkan nanti pergi beberapa hari bersama teman-teman -setelah dua puluh hari dari sekarang-. Jawabannya tak penting, yang kupikirkan adalah bahwa semuanya tak akan lagi sama.

Tiga hari lalu, sore yang cukup melelahkan. Sesampaiku di rumah langsung terhempaslah tubuh ini di sofa depan televisi. Di sampingku papa sedang duduk. Si ‘Lelaki Hari Minggu’ untuk belasan tahun lamanya, yang baru dua tahun ini bisa kutemui kapan saja. Di saat aku sudah tak lagi punya banyak waktu luang. Ingin sekali aku memeluknya seperti anak sekolah yang menangis karena diejek teman. Entah kenapa ingin peluk dia, benar-benar hanya karena ingin. Tapi ini terlalu random dan sentimental. Aku urung. Sulit bagiku untuk membayangkan tidak lagi pulang ke rumahnya setiap hari, tidak lagi mampir kamarnya setiap pulang kantor untuk ngobrol bertiga bersama mama, tidak lagi menerima telponnya saat pulang larut. Sembilan belas hari lagi.

Siang ini, lewat sebuah ruang chat aku bercerita pada Riski tentang banyak hal yang terjadi hari ini; perbincanganku dengan seorang atasan, cita-citaku, ketakutanku. Ada waktu dimana aku merasa begitu kesal padanya, karena keegoisannya. Ada pula saat dimana aku merasa begitu bersyukur atas rencana kami. Meski kadang kurang ekspresif dan tampak egois, dia selalu mendengarkanku. Dia bilang aku tidak perlu takut akan masa depan, dia juga katakan kalau aku tak usah meragukan rasa sayangnya. Enam belas hari lagi.

Perlahan air mataku menetes, menghitung mundur hari tak pernah semengharukan ini.

Kebon Sirih, 22 Mei 2014
di saat rasa sentimentil berlebih melanda
gambar

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dalam Upacara Perpisahanku

Malam itu puluhan orang berkumpul, di ruang yang tak punya tembok, atap, lantai, maupun jendela Mereka tidak masuk lewat pintu, tetapi dari sesuatu bernama tautan   Sambutan demi sambutan, cerita indah hingga sedih, saut menyaut Ingin rasanya aku menanggapi tiap kisah yang mereka lontarkan Misalnya, ketika ada yang bilang aku orang yang tegar -- padahal tidak jarang aku mengeluh dan menangis diam-diam Atau.. Ketika ada yang mengatakan masih punya utang janji padaku, rasanya ingin kutagih tunai malam itu juga   Tapi apa, aku tak ada..  Di daftar nama peserta itu, namaku tak nampak Di layar itu, fotoku tak terlihat Ternyata begini rasanya bisa menyembunyikan tawa dan tangis tanpa harus menutup  microphone  atau kamera -- yang biasa aku lakukan beberapa bulan ini, setiap hari   Dalam upacara tersebut, tidak ada lagi kesal.. Tak ada lagi benci.. Tuntas sudah yang belum selesai Yang ada hanya rasa sayang, rasa syukur aku pernah bertemu mereka dan mencipta banyak...

Jalan Kesana

Kata mama saya, sejak dulu anaknya ini terobsesi dengan Inggris. Asumsi yang didasari oleh hobi masa kecil saya mengumpulkan post card gratisan dari majalah Bobo. Salah satu favorit saya waktu itu yang bergambar Princess Diana. Gak paham lagi, dia anggun banget dan berjiwa sosial, super ngefans! Waktu kecil belum paham tentang skandal percintaannya, jadi tiada celah baginya wkwk. Lalu suatu hari saya pasang post card tersebut di album foto, di sebelah gambar saya lagi tiup lilin ulang tahun ke-5. Kayaknya random aja waktu itu, bukan ala ala sikap yang penting untuk dikenang bertahun-tahun kemudian. Saya sendiri lupa sama sekali kejadian itu. Dan ingin ke London karena entah kenapa saya penasaran sama Inggris, belum pernah kesana, dan negara itu tampak sangat unik. Banyak musikus yang karyanya saya nikmati berasal dari Inggris, seperti The Beatles, Elton John, Sting, Coldplay. Saya selalu yakin nuansa sebuah kota berpengaruh terhadap jiwa seni warganya, semacam Jogja atau Ba...

Dalaila Gisdara

Sebuah frase yang masih membuat saya sedikit geli tiap kali diucapkan, ketika kami ke klinik anak untuk imunisasi misalnya. Sebuah nama lengkap yang 100 persen dibuat oleh ayahnya, semudah mencuplik nama Dalai Lama dan Gusdur. Sejak awal kami berkomitmen untuk membuat nama yang sederhana dan Indonesia banget. Kendatipun demikian masih banyak yang bilang nama ini rumit dan berat. Yasudah, mudahnya panggil saja dia Agis. Agis punya wajah yang manis, entah, sampai sekarang masih dalam perdebatan mirip siapakah bayi ini. Saya suka sekali dengan senyumnya yang menyapa di pagi hari dan setiap malam sepulang saya dari kantor. Saya juga suka sekali dengan tangisnya saat minta minum atau merasa popoknya sudah tidak lagi nyaman. Saya menyukai tiap senti yang ada pada Agis, entah indah atau tidak. Kadang masih tidak percaya bahwa Agis adalah bagian dari saya, bahwa keberadaannya dimulai dari kehidupan saya.  Beberapa minggu setelah melahirkan Agis, saya sempat m...