Sambil memutar Prelude in E Minor: Bella memintaku mengirim foto untuk kartu ucapan perpisahan Mbak Rizka, ia akan pergi dari kantor ini.
“Aku lagi di jalan, kalau aku udah di kantor kukirim ya.”
Kubuka facebook sebagai tempat yang menyimpan paling banyak foto. Sedikit pusing memilih foto mana yang aku aku kirimkan, ada yang tampak gemuk, tampak kumal, tidak menarik, padahal memang begitulah perawakanku sebetulnya.
Kunyalakan iPod lalu kupilih Chopin Prelude in E minor, yang kuputar berkali-kali dikarenakan suasana hatiku sedang sendu. Sambil menarik kursor ke arah bawah kubuka foto-foto lama yang sampai aku sudah lupa kapan peristiwa di dalamnya terjadi. Tiba-tiba kutemukan fotoku tersenyum ceria di laboratorium komputer kampus saat membantu Pak Rimawan bereksperimen, ada pula foto saat tubuhku tersungkur di pelataran rumah Doyo Lama Papua, foto masak bersama teman-teman di rumah Gerry, dan lainnya. Semuanya ekspresi senyum. Entah apa yang kurasakan waktu itu, apakah memang bahagia atau senyum semu karena pada umumnya kalau sedang difoto manusia selalu tersenyum.
Lagi-lagi, dengan kemelankolisan tingkat tinggi aku merindukan hidupku yang dulu. Hidup yang tidak akan pernah kembali lagi, yang bahkan untuk menenggelamkan diri di dalamnya tidak akan membuat apapun lebih baik.
Semalam, aku berbincang dengan Suke. Kegalauan demi kegalauan kami kisahkan. Selalu menyenangkan bercerita pada sahabat, meski tidak ada solusi yang saling kami tawarkan, setidaknya ada kelegaan seusai obrolan itu. Aku menyeletuk tentang Tiga Babi Kecil. Bukan judul buku anak yang legendaris itu, Tiga Babi Kecil adalah kelompok kami saat jadi sukarelawan erupsi Merapi. Betapa “apa banget” dan “siapa banget” kami waktu itu, enam kawanan yang tidak punya kerjaan dan dengan lagak heroiknya bersikeras jadi sukarelawan. Hadir di barak pengungsian hanya dengan tawaran mendongeng dan menamai kegiatan tersebut sebagai trauma healing. Tak ada insentif, tak ada pujian, seingatku aku berangkat hanya demi menjemput kesenanganku berbagi tawa dengan para pengungsi.
“Senang ya waktu itu.”
“Iya Sob, indah banget masa-masa itu.”
“Pasti akan ada kebahagian seperti itu lagi di masa depan.”
Kalimat itu kuucapkan cepat-cepat sebagai remku dari deru gagal move on yang terlalu sering kurasakan. Masa lalu masih seperti yang dulu, membelenggu, seakan hanya ada indahnya. Candu.
Aku akan selalu berusaha meraih kebahagiaan besar itu lagi, dan kalimat yang kukatakan pada Suke malam tadi akan selalu kuingat.
Prelude in E minor masih berkumandang di telinga, kucoba mencari tahu apa makna dari lagu ini di internet. Salah satu sumber mengartikannya sebagai suffocation. Mati lemas.
Hari ini aku seperti makin mengenal diriku, sekaligus makin tak memahaminya. Apa yang kuinginkan, apa yang kutuntut dari hidup ini, dan kemana sesungguhnya aku ingin berlari. Aku merasa bahagia dan sadar sedang bahagia saat menjemput Riski di bandara Adi Sucipto minggu lalu, saat naik motor keliling Ubud di sore hari, saat menyebar undangan perpisahan PAUD di Papua, saat aku usia tiga tahun dan menyadari punya mama papa yang baik hati.
Ya, Tuhan sebenarnya berikan banyak sekali kesempatan untukku merasa bahagia. Hanya kadang aku banyak kasih syarat pada diri sendiri untuk bahagia. Setiap kebahagiaan memang bersyarat, misalnya bahwa kadang aku harus berhenti khawatir kalau tidak sanggup melunasi persyaratan untuk bahagia. Bahagia memang bisa dibilang sederhana, tetapi kalau tidak pernah berkorban kurasa aku tidak akan pernah bisa merasakannya. Ingin rasanya bahagia dalam beproses, bukan bahagia setelah berhasil. Aku ingin memulai untuk hanya berkorban dan berjuang atas apa yang kucintai, entah apa yang orang katakan. Karena seringkali gemuruh dunia membuatku mencapai bahagia dengan kesusahan.
Dalam sumber lain, dikatakan bahwa Prelude in E minor berbicara tentang banyak hal dalam dua menit. Kesedihan, kerinduan, dan harapan. Kupilih fotoku bersama gerombolan murid kelas tiga SD Doyo Lama saat perpisahan untuk kartu ucapan Mbak Rizka.
ditulis 14 Juni 2013 saat hati sedang lemas-lemasnya
“Aku lagi di jalan, kalau aku udah di kantor kukirim ya.”
Kubuka facebook sebagai tempat yang menyimpan paling banyak foto. Sedikit pusing memilih foto mana yang aku aku kirimkan, ada yang tampak gemuk, tampak kumal, tidak menarik, padahal memang begitulah perawakanku sebetulnya.
Kunyalakan iPod lalu kupilih Chopin Prelude in E minor, yang kuputar berkali-kali dikarenakan suasana hatiku sedang sendu. Sambil menarik kursor ke arah bawah kubuka foto-foto lama yang sampai aku sudah lupa kapan peristiwa di dalamnya terjadi. Tiba-tiba kutemukan fotoku tersenyum ceria di laboratorium komputer kampus saat membantu Pak Rimawan bereksperimen, ada pula foto saat tubuhku tersungkur di pelataran rumah Doyo Lama Papua, foto masak bersama teman-teman di rumah Gerry, dan lainnya. Semuanya ekspresi senyum. Entah apa yang kurasakan waktu itu, apakah memang bahagia atau senyum semu karena pada umumnya kalau sedang difoto manusia selalu tersenyum.
Lagi-lagi, dengan kemelankolisan tingkat tinggi aku merindukan hidupku yang dulu. Hidup yang tidak akan pernah kembali lagi, yang bahkan untuk menenggelamkan diri di dalamnya tidak akan membuat apapun lebih baik.
Semalam, aku berbincang dengan Suke. Kegalauan demi kegalauan kami kisahkan. Selalu menyenangkan bercerita pada sahabat, meski tidak ada solusi yang saling kami tawarkan, setidaknya ada kelegaan seusai obrolan itu. Aku menyeletuk tentang Tiga Babi Kecil. Bukan judul buku anak yang legendaris itu, Tiga Babi Kecil adalah kelompok kami saat jadi sukarelawan erupsi Merapi. Betapa “apa banget” dan “siapa banget” kami waktu itu, enam kawanan yang tidak punya kerjaan dan dengan lagak heroiknya bersikeras jadi sukarelawan. Hadir di barak pengungsian hanya dengan tawaran mendongeng dan menamai kegiatan tersebut sebagai trauma healing. Tak ada insentif, tak ada pujian, seingatku aku berangkat hanya demi menjemput kesenanganku berbagi tawa dengan para pengungsi.
“Senang ya waktu itu.”
“Iya Sob, indah banget masa-masa itu.”
“Pasti akan ada kebahagian seperti itu lagi di masa depan.”
Kalimat itu kuucapkan cepat-cepat sebagai remku dari deru gagal move on yang terlalu sering kurasakan. Masa lalu masih seperti yang dulu, membelenggu, seakan hanya ada indahnya. Candu.
Aku akan selalu berusaha meraih kebahagiaan besar itu lagi, dan kalimat yang kukatakan pada Suke malam tadi akan selalu kuingat.
Prelude in E minor masih berkumandang di telinga, kucoba mencari tahu apa makna dari lagu ini di internet. Salah satu sumber mengartikannya sebagai suffocation. Mati lemas.
Hari ini aku seperti makin mengenal diriku, sekaligus makin tak memahaminya. Apa yang kuinginkan, apa yang kutuntut dari hidup ini, dan kemana sesungguhnya aku ingin berlari. Aku merasa bahagia dan sadar sedang bahagia saat menjemput Riski di bandara Adi Sucipto minggu lalu, saat naik motor keliling Ubud di sore hari, saat menyebar undangan perpisahan PAUD di Papua, saat aku usia tiga tahun dan menyadari punya mama papa yang baik hati.
Ya, Tuhan sebenarnya berikan banyak sekali kesempatan untukku merasa bahagia. Hanya kadang aku banyak kasih syarat pada diri sendiri untuk bahagia. Setiap kebahagiaan memang bersyarat, misalnya bahwa kadang aku harus berhenti khawatir kalau tidak sanggup melunasi persyaratan untuk bahagia. Bahagia memang bisa dibilang sederhana, tetapi kalau tidak pernah berkorban kurasa aku tidak akan pernah bisa merasakannya. Ingin rasanya bahagia dalam beproses, bukan bahagia setelah berhasil. Aku ingin memulai untuk hanya berkorban dan berjuang atas apa yang kucintai, entah apa yang orang katakan. Karena seringkali gemuruh dunia membuatku mencapai bahagia dengan kesusahan.
Dalam sumber lain, dikatakan bahwa Prelude in E minor berbicara tentang banyak hal dalam dua menit. Kesedihan, kerinduan, dan harapan. Kupilih fotoku bersama gerombolan murid kelas tiga SD Doyo Lama saat perpisahan untuk kartu ucapan Mbak Rizka.
ditulis 14 Juni 2013 saat hati sedang lemas-lemasnya
Komentar
Posting Komentar