Catatan
LagiKau tangkap akuKucatat
LagiKau punter tangankuKucatat
LagiKamu rotan tempurung kepalakuKucatat
LakukanSampai aku beludah darahBiar terkumpul bukti
LakukanDi depan orang yang ramaiTunjukkan kepada merekaPistol dan pentungan kalianBiar mereka lihat sendiri
LagiKau aniaya akuKucatat
Tubuhku adalah buktiKetika kau pukul berkali-kali
Orang ramai melihat sendiriKucatatAku terus mencatat
(Wiji Thukul, 6 Mei 1955)
Puisi ini merupakan salah satu dari puluhan lainnya yang kubaca
dari bonus majalah Tempo beberapa pekan lalu. Mendadak seorang Wiji Thukul jadi
inspirasiku. Ia adalah aktivis ceking yang tak ada garang-garangnya sama sekali,
tetapi sangat menakutkan bagi pemerintah orde baru. Hanya karena kata-katanya yang
lebih tajam dari pisau asahan dan lebih ganas dari gigitan harimau. Ia selalu
dihadiahi dengan ancaman akan penangkapan, tetapi dia tegak dengan pendiriannya
untuk menolak penindasan buruh dan represi militer terhadap sipil. Pada 1998 Wiji dinyatakan hilang
(atau mati) bersamaan dengan runtuhnya rezim orde baru.
Kita tidak lagi hidup di dunia Wiji, kini masyarakat tidak
setakut itu lagi. Puisi ini lugas namun bagiku maknanya tidak selalu denotatif. Hari ini
penindasan yang (merasa) tinggi terhadap yang (dirasa) lebih rendah masih terjadi dimanapun. Bukan tentang ironi
reformasi atau fenomena gubuk para buruh. Karena sampai saat ini manusia berdasi
pun bisa ditindas oleh manusia berdasi lain yang lahir lebih dulu atau memiliki
IQ beberapa digit lebih baik, di atas gedung pencakar langit itu. Agaknya puisi ini berlaku abadi, karena dunia akan selalu dipenuhi penindasan, dari yang sekecil dzarah sampai sebesar Bimasakti.
Ditulis di sela kepiluan atas penindasan pada diriku oleh
entah siapa, yang aku tahu dan tidak akan pernah kuterima gambar
Komentar
Posting Komentar