Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Juli, 2012

Agustus

Selalu ada yang istimewa di bulan Agustus. Begitulah yang kupahami sejak kecil. Agustus berarti perayaan hari kemerdekaan Republik Indonesia. Yang artinya lomba-lomba di komplek rumahku dan malam pentas seni. Aku selalu menyambutnya dengan kegirangan, dan memenangkan banyak perlombaan. Mulai dari lomba membaca teks proklamasi, sepeda gembira, dan makan kerupuk. Hal itu tak pernah lepas dari dorongan ayahku yang lebay-lebaynya mengalokasikan waktu seharian penuh untuk menghias sepedaku dan adikku dengan kertas krep beraneka warna. Beranjak dewasa, lomba-lomba agustusan sudah tak lagi aku ikuti, Agustus menyepi. Aku dipaksa untuk memahami makna lain tentang hari kemerdekaan, barangkali tentang cerita perjuangan pemuda masa itu. Sejak itu aku mulai menulis. Agustus tahun ini tentu tak sama, Ramadhan dan Idul Fitri akan turut menghiasi. Aku ingat betul saat kecil lebaran selalu berdekatan dengan natal di akhir tahun. Tanggal lebaran yang bergeser tiap tahun menjadikan kali ini A...

Bersyukur Dahulu, Berjuang Kemudian

Tiga orang wanita menuju seperempat abad, menanti di depan rumah yang agak gelap. Kuhampiri dan disambung pelukan agak panjang. Martabak asin dan brownies  menggenapkan gelak tawa malam itu. Esok harinya, dua wanita-hampir seperempat abad juga- datang di siang hari, sambil bawa hidangan utama untuk isi perut. Super mantap, super lezat. Gelak tawa berlanjut sampai malam, sambil tiduran di hadapan sahabat yang sedang berjuang dengan skripsinya, datang si seseorang yang super panik seperti habis dimarahi ayah. Yang memang habis dimarahi.  Beberapa hari setelahnya, lima potong rendang dari pulau seberang mendekatkan kami lagi. Dan mereka lagi-lagi memelukku. Dalam kesedihan yang amat dalam, mereka tidak menyalahkan, tidak menasihati, tidak menggurui. Hanya mendengarkan dan mengatakan bahwa hidup harus tetap berjalan. Dan bahwa matahari masih sama indahnya dengan bulan lalu, atau tahun lalu. Dan bagiku itu sudah lebih dari cukup. Kaka bisa bikin cerah awan ...

Tuhan, Apakah Sebuah Kesedihan Dapat Membuat Hamba Mati?

Beberapa kali aku bermimpi tentang kondisi kematian diri sendiri. Pernah sesak napas, pernah dibunuh orang, pernah pula ditabrak bus kota. Dari kesemuanya tidak ada satupun yang menyakitkan, selain rasa takut menjelang kematian itu sendiri. Aku selalu diselamatkan oleh sebuah pagi, bangun tidur, dan bernapas lega. Oh, cuma mimpi. Kuharap aku akan mati dalam ketidaksadaran, di atas ranjang harianku. Tidak heroik memang, tetapi itulah inginku. Mati karena sakit mungkin akan sangat menyakitkan, atau justru penuh persiapan. Entahlah. Yang pasti tidak semua penyakit punya obat, dan tidak semua obat mampu menyembuhkan penyakit. Terpujilah para dokter di dunia yang selalu memenangkan hati seorang pasien. Setidaknya pesakitan yang datang akan berpikir bahwa mereka dapat disembuhkan, terlepas dari apakah yang mereka dengar adalah fakta atau sekedar bius sosial. Bagiku mempercayai kabar baik merupakan setengah dari kesembuhan itu sendiri. Syukurlah. Sakit pada fisik selalu punya rujukan...

Sebuah Sore Saat Sepiring Bebek Goreng Terasa Tak Enak

Sore itu adalah sore yang sangat biasa, langit sedikit berawan, dan selasar kampus ramai oleh mahasiswa. Sore itu menjadi agak berbeda karena seorang dosen pembimbing mengatakan bahwa ada yang salah pada kesimpulan skripsiku. Bukan hanya agak, tetapi sangat berbeda. Mendadak suasana riuh ramai dan awan yang biru semu abu-abu jadi tidak bersahabat. Aku berjalan agak sempoyongan menghampiri sekelompok kursi di depan ruang organisasi mahasiswa. Sambil menunggu seseorang, aku berpikir tentang enam hari ke depan, tanggal pendadaran dan tes komprehensif yang telah ditentukan. Bayangan bahwa skripsiku akan “dihajar” menempel kuat di otak. Skripsi yang akan dihajar itu adalah beberapa lembar halaman yang teramat berharga bagiku, yang membuatku seringkali menghabiskan subuh untuk berjibaku bersamanya, dan tidur teramat larut untuk menuntaskannya. Skripsi itu adalah batu ukir yang membiarkanku jadi pemahat yang sangat bekerja keras, aku selalu membanggakannya, dan ternyata ia skripsi denga...