Saya pernah mengikuti sebuah workshop kesusastraan yang salah satu acaranya tentang bedah sebuah buku (yang saya lupa judulnya) karena penulis belum mempublikasikan buku dalam bahasa Inggris. Hanya tersedia yang berbahasa Norwegia, dan saya tidak sedikit pun memahami tentangnya.
Intinya, buku itu berkisah tentang perjalanan seorang anak dan ibu menanti detik kematian. Kematian si anak. Baik genre maupun cerita di buku ini memang biasa saja. Tidak terlalu unik. Tetapi si penulis yang impresif membuat saya tertarik mengikuti bedah buku tersebut. Si penulis itu adalah ibu anak, yang sudah meninggal 7 tahun lalu.
Sampul buku itu bergambarkan sepasang sepatu balet yang pitanya terjuntai seperti habis dipakai. Gambar itu sangat filosofis bagi sang ibu. Ia menggambarkan ‘siapa anakku’ di awal buku. Bahwa anaknya adalah remaja populer yang multi talenta, ia sangat sehat, ia penari balet yang tubuhnya sangat lentur. Gadis tersebut juga memiliki banyak teman yang rajin menjenguknya, dalam sehat dan sakit.
Suatu hari, sepulang les balet, si anak mengaku pusing. Ia lantas istirahat sejenak, namun begitu bangun kepalanya masih sakit. Bersama sang ibu, di suatu malam, ia pergi ke dokter untuk periksa.
Tiada sedikit pun kekawatiran di hati mereka berdua akan diagnosis apa yang akan diutarakan dokter.
Setelah menjalani beberapa tes, dokter memanggil mereka berdua, tanpa sensor, tanpa menyembunyikan dari si anak. Tentunya, tetap dengan tedeng aling-aling.
“Anak Anda menderita kanker otak.”
Pernyataan itu membuat ruangan hening sejenak. Benar-benar sejenak. Setelahnya muncul suara mungil si anak mengatakan,
“Baiklah. Bisa kita pulang sekarang, Bu?”
Dalam perjalanan pulang, sang ibu kebingungan harus bicara apa lagi. Bingung pula harus merasa bagaimana. Ia hanya bergumam dalam hati. Kenapa Tuhan? Mengapa harus anakku? Mengapa harus gadis cantik ini? Anakku adalah gadis yang paling sehat dan bahagia, ini pasti lelucon bahwa ia menderita penyakit ganas itu.
Entah itu lelucon atau realita yang harus diterima. Anaknya sungguh-sungguh menderita kanker, dan dokter manapun menjadi bagian dari proses analisis hitung mundur masa hidupnya.
Begitu banyak elegi dalam proses menjelang kematian si anak. Walau jadi pintu dari banyak penyampaian hikmah, tetap saja, perjalanan itu tak mudah. Cerita ini tak mudah. Menjadi amat sulit karena si ibu adalah manusia, begitu pula si anak. Manusia yang manusiawi. Manusia yang tak mau kehilangan sesuatu yang berharga, terlebih sebagai bahan barter dari hikmah dari alasan yang tak mudah dimengerti.
Cerita tadi adalah intro. Selebihnya saya ingin menyampaikan sedikit renungan di Hari Idul Adha ini. Tentang Ibrahim. Bukan tentang soto sapi, opor, apalagi tongseng kambing. Siapapun sudah mengetahui tentang peristiwa yang melatar belakangi Idul Adha ini. Proses Ibrahim memenuhi panggilan Tuhan untuk menyembelih anaknya, dan seketika saat disembelih Ismail (anaknya) berubah menjadi sebentuk hewan ternak.
Prosesi itu menghasilkan dua buah manis, wujud cinta seorang hamba kepada penciptaNya dan Ismail ternyata tidak tersembelih. Bagaimanapun akhirnya, saya yakin untuk mengeksekusikan prosesi ini jauh lebih susah dari yang digambarkan di buku manapun tentang kisah nabi.
Entah sejak lama atau diawali di masa modern, pengorbanan dan keikhlasan sudah jadi barang mahal. Tidak perlu berpikir terlalu jauh untuk membicarakan bagaimana bila harus mengorbankan anak, memberi waktu dan beberapa meter spasi saja untuk penyeberang jalan jarang lakukan. Sesederhana itu sekaligus seberat itu sebuah wujud ikhlas bagi manusia.
Bila seorang ibu dengan sangat berat mengetahui bahwa anaknya akan pergi di waktu yang ia tahu kapan, dan di saat ia masih hidup sehingga dapat menyaksikannya. Ibrahim justru diberi otoritas untuk memilih kapan waktu yang akan ia pilih. Otoritas yang tak membahagiakan. Di saat si ibu tadi merasa Tuhan sedang menyeluarkan lelucon yang tak lucu, Ibrahim justru mengitepretasikan komunikasi Tuhan melalu mimpinya sebagai sabda. Sabda yang akan dipenuhi sebagai wujud cintaNya. Ibrahim lebih super dari Superman, juga jauh lebih super dari Mario Teguh. Menyembelih anak yang ia diidam-idamkan setelah penantian yang lama.
Saat Idul Adha diwarnai dengan masak heboh-heboh masak opor atau makan sate kambing, di hari ini yang paling saya inginkan adalah memasang petujuk jalan baru bersimbol K atau I. Bila P artinya parkir, maka K artinya korban dan I artinya ikhlas. Paling tidak ikhlas untuk memberi kesempatan pengendara lain menyeberang terlebih dahulu.
Kita bukan seseorang yang terlalu hebat, maka memulai hal besar selalu dimulai dari yang kecil. Keikhlasan Ibrahim begitu tinggi derajatnya, tak mudah, tapi selalu ada tangga-tangga wujud keikhlasan kecil menuju kesana.
Intinya, buku itu berkisah tentang perjalanan seorang anak dan ibu menanti detik kematian. Kematian si anak. Baik genre maupun cerita di buku ini memang biasa saja. Tidak terlalu unik. Tetapi si penulis yang impresif membuat saya tertarik mengikuti bedah buku tersebut. Si penulis itu adalah ibu anak, yang sudah meninggal 7 tahun lalu.
Sampul buku itu bergambarkan sepasang sepatu balet yang pitanya terjuntai seperti habis dipakai. Gambar itu sangat filosofis bagi sang ibu. Ia menggambarkan ‘siapa anakku’ di awal buku. Bahwa anaknya adalah remaja populer yang multi talenta, ia sangat sehat, ia penari balet yang tubuhnya sangat lentur. Gadis tersebut juga memiliki banyak teman yang rajin menjenguknya, dalam sehat dan sakit.
Suatu hari, sepulang les balet, si anak mengaku pusing. Ia lantas istirahat sejenak, namun begitu bangun kepalanya masih sakit. Bersama sang ibu, di suatu malam, ia pergi ke dokter untuk periksa.
Tiada sedikit pun kekawatiran di hati mereka berdua akan diagnosis apa yang akan diutarakan dokter.
Setelah menjalani beberapa tes, dokter memanggil mereka berdua, tanpa sensor, tanpa menyembunyikan dari si anak. Tentunya, tetap dengan tedeng aling-aling.
“Anak Anda menderita kanker otak.”
Pernyataan itu membuat ruangan hening sejenak. Benar-benar sejenak. Setelahnya muncul suara mungil si anak mengatakan,
“Baiklah. Bisa kita pulang sekarang, Bu?”
Dalam perjalanan pulang, sang ibu kebingungan harus bicara apa lagi. Bingung pula harus merasa bagaimana. Ia hanya bergumam dalam hati. Kenapa Tuhan? Mengapa harus anakku? Mengapa harus gadis cantik ini? Anakku adalah gadis yang paling sehat dan bahagia, ini pasti lelucon bahwa ia menderita penyakit ganas itu.
Entah itu lelucon atau realita yang harus diterima. Anaknya sungguh-sungguh menderita kanker, dan dokter manapun menjadi bagian dari proses analisis hitung mundur masa hidupnya.
Begitu banyak elegi dalam proses menjelang kematian si anak. Walau jadi pintu dari banyak penyampaian hikmah, tetap saja, perjalanan itu tak mudah. Cerita ini tak mudah. Menjadi amat sulit karena si ibu adalah manusia, begitu pula si anak. Manusia yang manusiawi. Manusia yang tak mau kehilangan sesuatu yang berharga, terlebih sebagai bahan barter dari hikmah dari alasan yang tak mudah dimengerti.
Cerita tadi adalah intro. Selebihnya saya ingin menyampaikan sedikit renungan di Hari Idul Adha ini. Tentang Ibrahim. Bukan tentang soto sapi, opor, apalagi tongseng kambing. Siapapun sudah mengetahui tentang peristiwa yang melatar belakangi Idul Adha ini. Proses Ibrahim memenuhi panggilan Tuhan untuk menyembelih anaknya, dan seketika saat disembelih Ismail (anaknya) berubah menjadi sebentuk hewan ternak.
Prosesi itu menghasilkan dua buah manis, wujud cinta seorang hamba kepada penciptaNya dan Ismail ternyata tidak tersembelih. Bagaimanapun akhirnya, saya yakin untuk mengeksekusikan prosesi ini jauh lebih susah dari yang digambarkan di buku manapun tentang kisah nabi.
Entah sejak lama atau diawali di masa modern, pengorbanan dan keikhlasan sudah jadi barang mahal. Tidak perlu berpikir terlalu jauh untuk membicarakan bagaimana bila harus mengorbankan anak, memberi waktu dan beberapa meter spasi saja untuk penyeberang jalan jarang lakukan. Sesederhana itu sekaligus seberat itu sebuah wujud ikhlas bagi manusia.
Ash-Shaffaat 101-111
Ya, Tuhanku, anugrahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk golongan orang-orang yang saleh. Maka kami beri kabar gembira dengan seorang anak yang sabar. Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: “Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu?” Ia menjawab, “Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.”
Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipis(nya), (nyatalah kesabaran keduanya. Dan kami panggillah dia: “Hai Ibrahim, sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu,” sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang yang berbuat baik.
Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata. Dan kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar. Kami abadikan untuk Ibrahim itu (pujian yang baik) di kalangan orang-orang yang datang kemudia, (yaitu) “Kesejahteraan dilimpahkan atas Ibrahim”. Demikianlah Kami memberi balasan pada orang-orang yang baik. Sesungguhnya ia masuk hamba-hamba Kami yang beriman.
Bila seorang ibu dengan sangat berat mengetahui bahwa anaknya akan pergi di waktu yang ia tahu kapan, dan di saat ia masih hidup sehingga dapat menyaksikannya. Ibrahim justru diberi otoritas untuk memilih kapan waktu yang akan ia pilih. Otoritas yang tak membahagiakan. Di saat si ibu tadi merasa Tuhan sedang menyeluarkan lelucon yang tak lucu, Ibrahim justru mengitepretasikan komunikasi Tuhan melalu mimpinya sebagai sabda. Sabda yang akan dipenuhi sebagai wujud cintaNya. Ibrahim lebih super dari Superman, juga jauh lebih super dari Mario Teguh. Menyembelih anak yang ia diidam-idamkan setelah penantian yang lama.
Saat Idul Adha diwarnai dengan masak heboh-heboh masak opor atau makan sate kambing, di hari ini yang paling saya inginkan adalah memasang petujuk jalan baru bersimbol K atau I. Bila P artinya parkir, maka K artinya korban dan I artinya ikhlas. Paling tidak ikhlas untuk memberi kesempatan pengendara lain menyeberang terlebih dahulu.
Kita bukan seseorang yang terlalu hebat, maka memulai hal besar selalu dimulai dari yang kecil. Keikhlasan Ibrahim begitu tinggi derajatnya, tak mudah, tapi selalu ada tangga-tangga wujud keikhlasan kecil menuju kesana.
Bagussss kak Mia! :D <3
BalasHapus