Langsung ke konten utama

Keikhlasan Ibrahim

Saya pernah mengikuti sebuah workshop kesusastraan yang salah satu acaranya tentang bedah sebuah buku (yang saya lupa judulnya) karena penulis belum mempublikasikan buku dalam bahasa Inggris. Hanya tersedia yang berbahasa Norwegia, dan saya tidak sedikit pun memahami tentangnya.

Intinya, buku itu berkisah tentang perjalanan seorang anak dan ibu menanti detik kematian. Kematian si anak. Baik genre maupun cerita di buku ini memang biasa saja. Tidak terlalu unik. Tetapi si penulis yang impresif membuat saya tertarik mengikuti bedah buku tersebut. Si penulis itu adalah ibu anak, yang sudah meninggal 7 tahun lalu.

Sampul buku itu bergambarkan sepasang sepatu balet yang pitanya terjuntai seperti habis dipakai. Gambar itu sangat filosofis bagi sang ibu. Ia menggambarkan ‘siapa anakku’ di awal buku. Bahwa anaknya adalah remaja populer yang multi talenta, ia sangat sehat, ia penari balet yang tubuhnya sangat lentur. Gadis tersebut juga memiliki banyak teman yang rajin menjenguknya, dalam sehat dan sakit.

Suatu hari, sepulang les balet, si anak mengaku pusing. Ia lantas istirahat sejenak, namun begitu bangun kepalanya masih sakit. Bersama sang ibu, di suatu malam, ia pergi ke dokter untuk periksa.

Tiada sedikit pun kekawatiran di hati mereka berdua akan diagnosis apa yang akan diutarakan dokter.

Setelah menjalani beberapa tes, dokter memanggil mereka berdua, tanpa sensor, tanpa menyembunyikan dari si anak. Tentunya, tetap dengan tedeng aling-aling.
“Anak Anda menderita kanker otak.”

Pernyataan itu membuat ruangan hening sejenak. Benar-benar sejenak. Setelahnya muncul suara mungil si anak mengatakan,
“Baiklah. Bisa kita pulang sekarang, Bu?”

Dalam perjalanan pulang, sang ibu kebingungan harus bicara apa lagi. Bingung pula harus merasa bagaimana. Ia hanya bergumam dalam hati. Kenapa Tuhan? Mengapa harus anakku? Mengapa harus gadis cantik ini? Anakku adalah gadis yang paling sehat dan bahagia, ini pasti lelucon bahwa ia menderita penyakit ganas itu.

Entah itu lelucon atau realita yang harus diterima. Anaknya sungguh-sungguh menderita kanker, dan dokter manapun menjadi bagian dari proses analisis hitung mundur masa hidupnya.

Begitu banyak elegi dalam proses menjelang kematian si anak. Walau jadi pintu dari banyak penyampaian hikmah, tetap saja, perjalanan itu tak mudah. Cerita ini tak mudah. Menjadi amat sulit karena si ibu adalah manusia, begitu pula si anak. Manusia yang manusiawi. Manusia yang tak mau kehilangan sesuatu yang berharga, terlebih sebagai bahan barter dari hikmah dari alasan yang tak mudah dimengerti.

Cerita tadi adalah intro. Selebihnya saya ingin menyampaikan sedikit renungan di Hari Idul Adha ini. Tentang Ibrahim. Bukan tentang soto sapi, opor, apalagi tongseng kambing. Siapapun sudah mengetahui tentang peristiwa yang melatar belakangi Idul Adha ini. Proses Ibrahim memenuhi panggilan Tuhan untuk menyembelih anaknya, dan seketika saat disembelih Ismail (anaknya) berubah menjadi sebentuk hewan ternak.

Prosesi itu menghasilkan dua buah manis, wujud cinta seorang hamba kepada penciptaNya dan Ismail ternyata tidak tersembelih. Bagaimanapun akhirnya, saya yakin untuk mengeksekusikan prosesi ini jauh lebih susah dari yang digambarkan di buku manapun tentang kisah nabi.

Entah sejak lama atau diawali di masa modern, pengorbanan dan keikhlasan sudah jadi barang mahal. Tidak perlu berpikir terlalu jauh untuk membicarakan bagaimana bila harus mengorbankan anak, memberi waktu dan beberapa meter spasi saja untuk penyeberang jalan jarang lakukan. Sesederhana itu sekaligus seberat itu sebuah wujud ikhlas bagi manusia.

Ash-Shaffaat 101-111

Ya, Tuhanku, anugrahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk golongan orang-orang yang saleh. Maka kami beri kabar gembira dengan seorang anak yang sabar. Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: “Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu?” Ia menjawab, “Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.”

Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipis(nya), (nyatalah kesabaran keduanya. Dan kami panggillah dia: “Hai Ibrahim, sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu,” sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang yang berbuat baik.

Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata. Dan kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar. Kami abadikan untuk Ibrahim itu (pujian yang baik) di kalangan orang-orang yang datang kemudia, (yaitu) “Kesejahteraan dilimpahkan atas Ibrahim”. Demikianlah Kami memberi balasan pada orang-orang yang baik. Sesungguhnya ia masuk hamba-hamba Kami yang beriman.

Bila seorang ibu dengan sangat berat mengetahui bahwa anaknya akan pergi di waktu yang ia tahu kapan, dan di saat ia masih hidup sehingga dapat menyaksikannya. Ibrahim justru diberi otoritas untuk memilih kapan waktu yang akan ia pilih. Otoritas yang tak membahagiakan. Di saat si ibu tadi merasa Tuhan sedang menyeluarkan lelucon yang tak lucu, Ibrahim justru mengitepretasikan komunikasi Tuhan melalu mimpinya sebagai sabda. Sabda yang akan dipenuhi sebagai wujud cintaNya. Ibrahim lebih super dari Superman, juga jauh lebih super dari Mario Teguh. Menyembelih anak yang ia diidam-idamkan setelah penantian yang lama.

Saat Idul Adha diwarnai dengan masak heboh-heboh masak opor atau makan sate kambing, di hari ini yang paling saya inginkan adalah memasang petujuk jalan baru bersimbol K atau I. Bila P artinya parkir, maka K artinya korban dan I artinya ikhlas. Paling tidak ikhlas untuk memberi kesempatan pengendara lain menyeberang terlebih dahulu.

Kita bukan seseorang yang terlalu hebat, maka memulai hal besar selalu dimulai dari yang kecil. Keikhlasan Ibrahim begitu tinggi derajatnya, tak mudah, tapi selalu ada tangga-tangga wujud keikhlasan kecil menuju kesana.

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dalam Upacara Perpisahanku

Malam itu puluhan orang berkumpul, di ruang yang tak punya tembok, atap, lantai, maupun jendela Mereka tidak masuk lewat pintu, tetapi dari sesuatu bernama tautan   Sambutan demi sambutan, cerita indah hingga sedih, saut menyaut Ingin rasanya aku menanggapi tiap kisah yang mereka lontarkan Misalnya, ketika ada yang bilang aku orang yang tegar -- padahal tidak jarang aku mengeluh dan menangis diam-diam Atau.. Ketika ada yang mengatakan masih punya utang janji padaku, rasanya ingin kutagih tunai malam itu juga   Tapi apa, aku tak ada..  Di daftar nama peserta itu, namaku tak nampak Di layar itu, fotoku tak terlihat Ternyata begini rasanya bisa menyembunyikan tawa dan tangis tanpa harus menutup  microphone  atau kamera -- yang biasa aku lakukan beberapa bulan ini, setiap hari   Dalam upacara tersebut, tidak ada lagi kesal.. Tak ada lagi benci.. Tuntas sudah yang belum selesai Yang ada hanya rasa sayang, rasa syukur aku pernah bertemu mereka dan mencipta banyak...

Jalan Kesana

Kata mama saya, sejak dulu anaknya ini terobsesi dengan Inggris. Asumsi yang didasari oleh hobi masa kecil saya mengumpulkan post card gratisan dari majalah Bobo. Salah satu favorit saya waktu itu yang bergambar Princess Diana. Gak paham lagi, dia anggun banget dan berjiwa sosial, super ngefans! Waktu kecil belum paham tentang skandal percintaannya, jadi tiada celah baginya wkwk. Lalu suatu hari saya pasang post card tersebut di album foto, di sebelah gambar saya lagi tiup lilin ulang tahun ke-5. Kayaknya random aja waktu itu, bukan ala ala sikap yang penting untuk dikenang bertahun-tahun kemudian. Saya sendiri lupa sama sekali kejadian itu. Dan ingin ke London karena entah kenapa saya penasaran sama Inggris, belum pernah kesana, dan negara itu tampak sangat unik. Banyak musikus yang karyanya saya nikmati berasal dari Inggris, seperti The Beatles, Elton John, Sting, Coldplay. Saya selalu yakin nuansa sebuah kota berpengaruh terhadap jiwa seni warganya, semacam Jogja atau Ba...

Dalaila Gisdara

Sebuah frase yang masih membuat saya sedikit geli tiap kali diucapkan, ketika kami ke klinik anak untuk imunisasi misalnya. Sebuah nama lengkap yang 100 persen dibuat oleh ayahnya, semudah mencuplik nama Dalai Lama dan Gusdur. Sejak awal kami berkomitmen untuk membuat nama yang sederhana dan Indonesia banget. Kendatipun demikian masih banyak yang bilang nama ini rumit dan berat. Yasudah, mudahnya panggil saja dia Agis. Agis punya wajah yang manis, entah, sampai sekarang masih dalam perdebatan mirip siapakah bayi ini. Saya suka sekali dengan senyumnya yang menyapa di pagi hari dan setiap malam sepulang saya dari kantor. Saya juga suka sekali dengan tangisnya saat minta minum atau merasa popoknya sudah tidak lagi nyaman. Saya menyukai tiap senti yang ada pada Agis, entah indah atau tidak. Kadang masih tidak percaya bahwa Agis adalah bagian dari saya, bahwa keberadaannya dimulai dari kehidupan saya.  Beberapa minggu setelah melahirkan Agis, saya sempat m...