Langsung ke konten utama

Cari Dulu, Cari Lagi..


Sering sekali aku sulit mencari barang pribadi yang tercecer entah dimana. Dari pakaian, buku, sampai kaos kaki. Dalam pencarian tersebut malas rasanya untuk menelusuri keberadaan benda-benda tersebut. Ku tanya ibu dengan harapan ia tahu dimana mereka. Kadang dijawab, namun kadang ia hanya berkata, “Cari dulu, cari lagi…”


Dua dekade sudah hidup di dunia dengan berbagai romantisme dan problematika. Semoga kalimat tadi tidak terbaca sok tua, karena tiga tahun menuju seperempat abad ini ku rasa cukup pantas untuk mengatakan bahwa aku telah mengarungi begitu banyak cerita. Setiap hari, bulan, dan tahun, aku simpulkan berbagai makna dari perjalanan hidup. Berbagai keputusan ku ambil dengan segala pertimbangan tertentu, kadang juga sedikit sembrono. Sering sekali aku mencetuskan memoar-memoar yang mencengangkan. Dari tak ingin menikah, hingga ingin nikah muda. Dari ingin tua di Eropa hingga ingin mati di Papua.

Kadang aku juga merasa bahwa keangkuhan seringkali menggerakkan badanku selayaknya deru mesin yang memompa darah teramat keras, lalu kemudian membuatku begitu berenergi. Tak ayal pula, ia memusnahkan kemampuan kakiku melaju karena sibuk membanggakan diri seolah aku manusia paling mengerti dan begitu tinggi. Lagi-lagi, aku harus jatuh berkali-kali karena tongkat keyakinan yang ku bangun dan terpancang harus patah, tumbang, kandas lagi, berkali-kali.



Di setiap makna yang ku temukan, tentang bagaimana di hari-hari menuju lebaran orang kota sibuk antre kendaraannya di dalam pusat perbelanjaan untuk beli baju baru. Sedangkan di area pedesaan Papua sana ibu-ibu masih memperlakukan sore secara adil, sama dengan sore-sore lainnya, ngobrol sambil kunyah pinang dan menonton latihan voli. Tiada satupun yang ku rasa lebih layak dilakukan atau lebih membanggakan untuk dijalani. Saat di persimpangan antara cita-cita ingin merubah dunia dengan bergabung dengan international non government organization, atau memilih mengajari murid kelas tiga sekolah dasar belajar membaca. Tak ku temukan pula yang mana yang lebih mulia. Karena terlalu tak pantas aku menjustifikasinya. Berbeda bila ditanyai pertanyaan tersebut beberapa tahun lalu, pasti aku dapat dalam hitungan detik saja untuk menjawab dengan mantap diimbuhi alasan yang tampak logis.

Entah berapa tahun lagi Tuhan memberi kesempatan untuk menghirup udara kehidupan. Saat ini, aku merasa begitu banyak hal yang masih mengumpatkan diri dan malu-malu untuk keluar menampakkan tanda-tandanya di depan horizon pandangku. Mereka adalah kenyataan, yang menjadi sumber dari kesimpulan-kesimpulan penting. Saat hari menambah hari harusnya semakin ku dapat pemahaman yang lebih dewasa dan menyeluruh.

Aku bertambah sadar, bahwa cita-cita menjadi orang baik itu tak mudah. Padahal itulah cita-cita terbesarku dalam hidup. Baik memang memiliki banyak dimensi, namun setiap dimensi tersebut aku rasa hanya para malaikatlah yang tahu. Tak apalah andai memang tak jua menemukannya. Aku, seorang manusia yang barangkali tak mungkin jadi orang baik, namun aku ingin terus berusaha agar menjadi lebih baik. Terima kasih atas teman hidup, atas jalan-jalan yang telah memfasilitasiku menelusuri rambu-rambu kebaikan dan kebenaran. Sepertinya harus menuruti kata ibu untuk banyak hal yang lebih serius. Bagaimana caranya menjadi manusia yang sadar dan mengerti? Seperti apa manusia baik itu? Cari dulu, cari lagi...

Komentar

  1. Asik mi..:) lebih asik lagi kalo tampilannya dibikin forcefull supaya lebih rapi,haha *penting

    BalasHapus
  2. Terima kasih.. Sepertinya harus belajar lebih ttg teknik mengubah tampilan :)

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dalam Upacara Perpisahanku

Malam itu puluhan orang berkumpul, di ruang yang tak punya tembok, atap, lantai, maupun jendela Mereka tidak masuk lewat pintu, tetapi dari sesuatu bernama tautan   Sambutan demi sambutan, cerita indah hingga sedih, saut menyaut Ingin rasanya aku menanggapi tiap kisah yang mereka lontarkan Misalnya, ketika ada yang bilang aku orang yang tegar -- padahal tidak jarang aku mengeluh dan menangis diam-diam Atau.. Ketika ada yang mengatakan masih punya utang janji padaku, rasanya ingin kutagih tunai malam itu juga   Tapi apa, aku tak ada..  Di daftar nama peserta itu, namaku tak nampak Di layar itu, fotoku tak terlihat Ternyata begini rasanya bisa menyembunyikan tawa dan tangis tanpa harus menutup  microphone  atau kamera -- yang biasa aku lakukan beberapa bulan ini, setiap hari   Dalam upacara tersebut, tidak ada lagi kesal.. Tak ada lagi benci.. Tuntas sudah yang belum selesai Yang ada hanya rasa sayang, rasa syukur aku pernah bertemu mereka dan mencipta banyak...

Jalan Kesana

Kata mama saya, sejak dulu anaknya ini terobsesi dengan Inggris. Asumsi yang didasari oleh hobi masa kecil saya mengumpulkan post card gratisan dari majalah Bobo. Salah satu favorit saya waktu itu yang bergambar Princess Diana. Gak paham lagi, dia anggun banget dan berjiwa sosial, super ngefans! Waktu kecil belum paham tentang skandal percintaannya, jadi tiada celah baginya wkwk. Lalu suatu hari saya pasang post card tersebut di album foto, di sebelah gambar saya lagi tiup lilin ulang tahun ke-5. Kayaknya random aja waktu itu, bukan ala ala sikap yang penting untuk dikenang bertahun-tahun kemudian. Saya sendiri lupa sama sekali kejadian itu. Dan ingin ke London karena entah kenapa saya penasaran sama Inggris, belum pernah kesana, dan negara itu tampak sangat unik. Banyak musikus yang karyanya saya nikmati berasal dari Inggris, seperti The Beatles, Elton John, Sting, Coldplay. Saya selalu yakin nuansa sebuah kota berpengaruh terhadap jiwa seni warganya, semacam Jogja atau Ba...

Dalaila Gisdara

Sebuah frase yang masih membuat saya sedikit geli tiap kali diucapkan, ketika kami ke klinik anak untuk imunisasi misalnya. Sebuah nama lengkap yang 100 persen dibuat oleh ayahnya, semudah mencuplik nama Dalai Lama dan Gusdur. Sejak awal kami berkomitmen untuk membuat nama yang sederhana dan Indonesia banget. Kendatipun demikian masih banyak yang bilang nama ini rumit dan berat. Yasudah, mudahnya panggil saja dia Agis. Agis punya wajah yang manis, entah, sampai sekarang masih dalam perdebatan mirip siapakah bayi ini. Saya suka sekali dengan senyumnya yang menyapa di pagi hari dan setiap malam sepulang saya dari kantor. Saya juga suka sekali dengan tangisnya saat minta minum atau merasa popoknya sudah tidak lagi nyaman. Saya menyukai tiap senti yang ada pada Agis, entah indah atau tidak. Kadang masih tidak percaya bahwa Agis adalah bagian dari saya, bahwa keberadaannya dimulai dari kehidupan saya.  Beberapa minggu setelah melahirkan Agis, saya sempat m...