Langsung ke konten utama

Doa Malam

Aku ingin menjadi apa yang Dick Hartono pernah katakan, musafir yang mencari dan memberi arti kepada segala sesuatu yang dijumpainya. Tidak silau oleh apa yang nampak, tetapi menerangkan apa yang tersembunyi di belakang gejala-gejala yang dicerapnya dengan panca indera.


Orang Jawa selalu suka klenik, dan malam ini ibu sedang bercerita tentang sakralnya 1 Sura (Muharram). Sebenarnya ini bukan inti dari ceritaku, pengantar saja, tentang kegiatan ibuku sebelum bapak pulang.

Malam ini 60 hari sebelum aku lulus SMA, entah mau dibawa kemana cerita hidupku selanjutnya. Jadi satpam seperti bapak, tukang cuci seperti ibu, atau kerja keras untuk cari beasiswa lanjut sekolah S1.

“ Nduk, kamu mau jadi apa kalo sudah dewasa?” suara ibu menyela ruang pikirku.

“Jadi pejabat enak, Nduk… Kerjanya enteng, hidupnya sejahtera.” Lanjut bapak.

Aku hanya bisa diam sambil lihat berita di televisi. Isinya sama, hanya beda kasus. Lagi-lagi ada saja yang tentang pejabat korupsilah, oportunis, dan lainnya. Seakan-akan, hidup mereka serupa bagian-bagian dalam sinema elektronik. Kata-kata kemarin dan sekarang diubah semaunya, kadang pura-pura lupa, kadang berlagak gila. Perbuatan dan pencitraan tidak sejalan, seakan-akan hidup adalah drama.

Mendadak, aku teringat pada seorang paman dari Solo. Dia orang hebat, pintar bukan main, idealis juga. Selalu bikin aku salut.

Tapi itu dulu, sekarang kepandaian paman seakan terbeli, entah oleh kekuasaan atau materi. Paman tetap pintar, tambah terkenal, tapi tidak lagi memegang idealismenya. Bagaikan menjilat ludah muncratan makiannya kepada beberapa pejabat publik. Sekarang kerjaannya serupa jubir dan selalu manthuk-manthuk di belakang pejabat itu di hadapan kamera.

Jam di dinding menunjukkan pukul 9 malam, kantukku datang. Malam ini, lagi-lagi aku gundah. Gambaran dan langkah menuju masa depan masih abu-abu. Berpikir, aku memang akan berlari, berlajar yang keras, mengejar hidup yang lebih baik. Tapi apalah artinya kalau setelah jadi orang yang mumpuni, aku jadi layu, oleh gencatan dilema idealisme dan keserakahan. Rasanya takut sekali menodai segala pikiran teduhku hari ini.

Dalam mata terpejam, aku berdoa. Semoga bisa jadi orang yang berguna bagi negara, seperti pamanku. Dan semoga orang-orang seperti bapak ibuku, tidak akan menjadi korban pengkhianatanku kelak, dengan segala kepandaian serupa paman.

Kabulkan doa malam ini Tuhan, amin…

Komentar

  1. Rahmia...ini blog baru saya sama mas yoga, tertarik berpatisipasi?
    http://ekonomgila.blogspot.com/
    =P

    BalasHapus
  2. oke mas, kapan-kapan aku akan berkontribusi :)

    BalasHapus
  3. mi, blog mu sungguh berbeda dengan blog saya yang isinya cuman ngguya ngguyu rajelas :(

    BalasHapus
  4. Mengalir...tapi, dalam...

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hari-hari Menjadi Ibu

Hampir tujuh tahun menjadi ibu, sekarang jadi sadar bahwa perjuangan dan perjalanan yang luar biasa itu bukan sekedar jargon atau ungkapan klise. Di dua sampai tiga tahun pertama merasakan mengurus bayi hingga batita membuat aku sadar tentang: 1. Hal yang biasa terlihat mudah, ternyata luar biasa menantang Sebut saja, menyusui, menyuapi anak sampai bisa makan sesuai porsi, tetap tenang ketika mereka sakit, atau tidak menangis ketika ASI yang baru kita perah tumpah. Hal-hal tersebut tidak pernah terpikir akan menantang ketika aku belum merasakan sendiri. 2. Ibu merespon apa yang dia dengar dan dia baca dengan cara berbeda Aku akan terima saja kalau dibilang baper, tetapi memang setelah melewati banyak proses rasanya jadi ibu membuatku lebih thoughtful dalam berucap dan menulis. Karena ibu merasakan apa yang ia dengar dan ia baca dengan mendalam, sambil memutar kembali rekaman peristiwa yang ia alami. Hal ini tidak remeh, karena mengasah empati. Suatu skill yang penting dimiliki seseor

Dalam Upacara Perpisahanku

Malam itu puluhan orang berkumpul, di ruang yang tak punya tembok, atap, lantai, maupun jendela Mereka tidak masuk lewat pintu, tetapi dari sesuatu bernama tautan   Sambutan demi sambutan, cerita indah hingga sedih, saut menyaut Ingin rasanya aku menanggapi tiap kisah yang mereka lontarkan Misalnya, ketika ada yang bilang aku orang yang tegar -- padahal tidak jarang aku mengeluh dan menangis diam-diam Atau.. Ketika ada yang mengatakan masih punya utang janji padaku, rasanya ingin kutagih tunai malam itu juga   Tapi apa, aku tak ada..  Di daftar nama peserta itu, namaku tak nampak Di layar itu, fotoku tak terlihat Ternyata begini rasanya bisa menyembunyikan tawa dan tangis tanpa harus menutup  microphone  atau kamera -- yang biasa aku lakukan beberapa bulan ini, setiap hari   Dalam upacara tersebut, tidak ada lagi kesal.. Tak ada lagi benci.. Tuntas sudah yang belum selesai Yang ada hanya rasa sayang, rasa syukur aku pernah bertemu mereka dan mencipta banyak kisah indah, unik, atau mela

Jalan Kesana

Kata mama saya, sejak dulu anaknya ini terobsesi dengan Inggris. Asumsi yang didasari oleh hobi masa kecil saya mengumpulkan post card gratisan dari majalah Bobo. Salah satu favorit saya waktu itu yang bergambar Princess Diana. Gak paham lagi, dia anggun banget dan berjiwa sosial, super ngefans! Waktu kecil belum paham tentang skandal percintaannya, jadi tiada celah baginya wkwk. Lalu suatu hari saya pasang post card tersebut di album foto, di sebelah gambar saya lagi tiup lilin ulang tahun ke-5. Kayaknya random aja waktu itu, bukan ala ala sikap yang penting untuk dikenang bertahun-tahun kemudian. Saya sendiri lupa sama sekali kejadian itu. Dan ingin ke London karena entah kenapa saya penasaran sama Inggris, belum pernah kesana, dan negara itu tampak sangat unik. Banyak musikus yang karyanya saya nikmati berasal dari Inggris, seperti The Beatles, Elton John, Sting, Coldplay. Saya selalu yakin nuansa sebuah kota berpengaruh terhadap jiwa seni warganya, semacam Jogja atau Ba