Ada sesuatu yang lebih berharga di antara kata menang atau kalah.
Sekelumit rasa yang hadir dalam sebuah proses.
Siang ini saya datang ke arisan trah. Haru bercampur bangga mendengar sekaligus menyaksikan seorang teman sepermainan di waktu kecil berhasil mengukir prestasi.
Fariz namanya, ia adik sepupu yang tampan tapi penakut di masa kecil. Saya suka mengoloknya karena bahkan ia takut pergi ke kamar mandi sendirian di malam hari. Ia anak pertama yang dulu begitu dimanja sang ibu. Namun kini ia dalam proses menjadi seorang pekerja keras yang bagi saya luar biasa.
Basket. Awalnya saya dan Fida, adik kandung saya, yang paling semangat ingin belajar olahraga tersebut. Saat masuk SMP kami membujuk ayah memasang ring di halaman rumah dan membeli sebuah bola berwarna hitam. Setiap sore, sepanjang hari libur, dan banyak waktu senggang lainnya, kami suka asal lempar atau asal dribble, yang penting senang.
Singkat cerita, saya payah dalam basket. Lain dengan adik saya yang sungguh berbakat, jadilah dia atlet basket yang cukup baik dan menyabet penghargaan bergengsi di bangku SMP. Fariz, satu dari beberapa sepupu yang dulu hobi main basket bersama kami, meski sering sekali dia saya intimidasi karena mudah ngambek lalu mengadu pada ibunya.
Memasuki masa SMA Fariz menyusul Fida yang mulai menggilai basket secara serius. Dia mungkin saja dianggap masih anak kemarin sore oleh banyak pihak, namun belakangan prestasinya makin memuncak. Dengan tinggi badan 187 cm, cukup di atas rata-rata pemain basket kelas Jogja, ia punya modal yang baik untuk terjun lebih dalam. Namun kalau hanya dengan itu sih, saya rasa masih kurang, dan dia membuktikan untuk berjuang lebih, ia mampu, karena terus berusaha.
Dalam event DBL belum lama ini, bisa dibilang dialah bintangnya, 1 dari 5 pemain terbaik di Provinsi DIY. Saya memang belum pernah melihat ia bertanding, tapi mendengar cerita tentangnya dari Fida sudah membuat saya kagum. Toh kalaupun saya nonton, saya gak ngerti juga yang bagus kayak apa. Dia akan bertanding beberapa pekan depan untuk menyabet pemain terbaik tingkat nasional, saya banyak berdoa untuk itu.
Sedikit bercerita, walaupun Fariz masuk dalam jajaran pemain terbaik, namun sekolahnya tidak menduduki juara pada DBL, saat itu ia diungguli oleh Padmanaba tercinta saya. Dan lebih banyak bercerita lagi, siang tadi ibu Fariz berkata, "Sayang sekolah Fariz pemain bagusnya tidak rata, jadi belum pernah sampe ke final. Ya walaupun sulit untuk jadi juara, tapi kan pengen juga sekali-sekali sampai final", lalu budhe saya menanggapi dengan logat jawa kental, "Yo malahane kalo kalah dari awal, jadi gak perlu capek-capek main, tapi nanti ga menang", saya dan Fariz senyum sopan.
Sangat tidak sependapat. Bagi saya bukan soal menang kalahnya, tapi bagaimana kita menikmati sebuah proses. Saya tak yakin hadiah besar membuat banyak pemain tergiur. Pengalaman rasanya lebih mahal dari tawaran hadiah yang bisa memuaskan banyak kebutuhan materiil kita. Masa ini, sebaik-baiknya masa belajar, karena memang kedewasaan yang kita cari.
Saat kalah tanding atau mendapat kegagalan, seseorang merenung sedih di sebuah sudut. Entah apa yang di dalam otaknya, kecewa, sesal, ingin bangkit atau putus asa. Bagi saya, disinilah poinnya, karena mereka yang mau belajar akan selalu selangkah lebih maju.
Saya bisa menggambarkan manisnya kembang gula atau indahnya gunung pemandangan bukit bintang, tetapi sulit bagi saya untuk melukiskan indahnya rasa perjuangan. Dan karena sulit terungkap, semuanya makin terasa mengagumkan.
Kembali pada dia, doa dan harapan besar dari segenap keluarga besar. Adikku, semoga kamu bisa terus belajar..
bicara soal proses... aduh, saya sudah berkembang sampe mana, ya? perasaan sampe sekarang saya tetep berjiwa kanak-kanak, hahaha...
BalasHapusBos Mia, izin pasang link blognya Bos Mia, ya! :)
oke mas.. aku juga pasang blogmu kok :)
BalasHapus