Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari 2013

Prelude in E Minor

Sambil memutar Prelude in E Minor: Bella memintaku mengirim foto untuk kartu ucapan perpisahan Mbak Rizka, ia akan pergi dari kantor ini. “Aku lagi di jalan, kalau aku udah di kantor kukirim ya.” Kubuka facebook sebagai tempat yang menyimpan paling banyak foto. Sedikit pusing memilih foto mana yang aku aku kirimkan, ada yang tampak gemuk, tampak kumal, tidak menarik, padahal memang begitulah perawakanku sebetulnya. Kunyalakan iPod lalu kupilih Chopin Prelude in E minor, yang kuputar berkali-kali dikarenakan suasana hatiku sedang sendu. Sambil menarik kursor ke arah bawah kubuka foto-foto lama yang sampai aku sudah lupa kapan peristiwa di dalamnya terjadi. Tiba-tiba kutemukan fotoku tersenyum ceria di laboratorium komputer kampus saat membantu Pak Rimawan bereksperimen, ada pula foto saat tubuhku tersungkur di pelataran rumah Doyo Lama Papua, foto masak bersama teman-teman di rumah Gerry, dan lainnya. Semuanya ekspresi senyum. Entah apa yang kurasakan waktu itu, apakah memang bah

Catatan atas Catatan Wiji Thukul

Catatan Lagi Kau tangkap aku Kucatat Lagi Kau punter tanganku Kucatat Lagi Kamu rotan tempurung kepalaku Kucatat Lakukan Sampai aku beludah darah Biar terkumpul bukti Lakukan Di depan orang yang ramai Tunjukkan kepada mereka Pistol dan pentungan kalian Biar mereka lihat sendiri Lagi Kau aniaya aku Kucatat Tubuhku adalah bukti Ketika kau pukul berkali-kali Orang ramai melihat sendiri Kucatat Aku terus mencatat (Wiji Thukul, 6 Mei 1955) Puisi ini merupakan salah satu dari puluhan lainnya yang kubaca dari bonus majalah Tempo beberapa pekan lalu. Mendadak seorang Wiji Thukul jadi inspirasiku. Ia adalah aktivis ceking yang tak ada garang-garangnya sama sekali, tetapi sangat menakutkan bagi pemerintah orde baru. Hanya karena kata-katanya yang lebih tajam dari pisau asahan dan lebih ganas dari gigitan harimau. Ia selalu dihadiahi dengan ancaman akan penangkapan, tetapi

Jakarta-Bogor

Maukah kamu hidup dengan caraku? Katakan, bagaimana caramu? Sesederhana tinggal di Jakarta dan pergi bekerja di Bogor. Becanda. Apa enaknya? Aku tahu Jakarta memang terlalu padat sekarang, tetapi ada satu hal yang tak dapat kamu abaikan. Bahwa perjalanan pulang dan pergi ke tempat bekerja setiap hari adalah hal yang paling membuat letih dan memakan banyak waktu. Lantas, apa bedanya dengan apa yang kamu tawarkan? Lihat kereta listrik itu, yang selalu penuh di pagi hari dari arah Bogor ke Jakarta. Di sore hari akan berbalik,   arah Jakarta ke Bogor jadi terlalu ramai sampai sesak. Coba bayangkan, bila kita berangkat ke Bogor di pagi hari dan pulang ke Jakarta di sore hari. Kereta yang melawan arus dari lalu lalang pekerja di sini hanya ditumpangi oleh sedikit orang, kadang hampir kosong. Bukankah ini menyenangkan? Aku pun yakin bahwa dengan melawan arus ini kita tak akan dekat dengan kelaparan. Setiap hari kita tetap dapat membeli roti sebanyak yang kamu mau d

Cara Berdoa

Ya Tuhan, ampunilah dosaku dan dosa orang tuaku. Sayangilah mereka sebagaimana mereka menyayangiku di waktu kecil. Mungkin itulah doa pertama yang saya hapalkan (dan berusaha pahami) di waktu kecil. Doa yang bagi saya teramat indah, doa yang rendah hati, doa yang tidak egois. Seiring berjalannya waktu saya menyadari bahwa doa itu tidak melulu harus berbahasa Arab, tidak melulu harus seperti yang ada di buku doa. Seperti halnya kue ulang tahun, doa bisa dikustomisasi. Boleh dibuat sesuai selera dan kebutuhan. Beranjak remaja begitu banyak mimpi yang ingin saya gapai, dan untuknya saya selalu berdoa. Doa jadi bintang kelas, bisa masuk sekolah favorit, memenangkan lomba dengan hadiah menarik, diizinkan oleh ayah liburan ke luar kota, dan doa tendensius lainnya. Di usia dua puluh tahun doa saya menjadi makin dewasa (sepertinya), semacam ya Tuhan, bila memang jodoh maka dekatkanlah, bila memang bukan berilah petunjuk (atau jauhkanlah) . Tuhan me

Dua Ribu Dua Belas

Suara terompet dan kembang api menyeruak di luar rumah tepat pada saat saya menuliskan ini. Sesuatu berangka belakang 13 segera datang dengan segala resolusi yang harus ditelannya mentah-mentah pagi ini. Resolusi orang sedunia. Bukannya saya tidak peduli pada masa depan dan resolusi-reaolusi untuk tahun baru, namun kali ini menuliskan tentang masa yang telah dilalui terasa lebih menarik. Setidaknya sebelum mengucapkan selamat tinggal pada 2012. Butuh waktu beberapa saat untuk kembali mengingat kejadian yang mengisi 2012 lalu. Hal-hal yang bombastis tentu saja dengan mudah diingat karena sudah terlanjur menempel di otak. Pada 2012, setidaknya saya memiliki tiga buku catatan pribadi yang bila dibaca akan bikin senyum-senyum sendiri, satu di antaranya adalah buku catatan pekembangan skripsi. Dan di sanalah saya menemukan serangkaian kejadian biasa-biasa saja yang justru lebih menggigit saat diingat kembali. Awal 2012 beberapa kawan saya berangkat magang dan kami mulai menyadari betap