Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Agustus, 2010

Berbicara

Hal yang paling saya suka adalah saat seseorang dapat menghargai sesama apa adanya. Tanpa pujian yang berlebihan, tanpa ejekan yang tak perlu. Sungguh senang saat kejujuran yang berkata. " Rahmia. Kata-katamu bernyawa, seperti tulisanmu yang bernyawa. " ASP Terima kasih. Saya akan terus menulis. Apa yang saya suka, apa yang saya harus. Untuk siapapun yang ingin baca. Kamarku, 2:22 a.m. 16 Agustus 2010

Mengadu

Terkadang manusia lelah menangis. Lelah menghamba pada kesenduan. Ia hanya butuh suatu gerakan kecil, yang tak berdampak apapun. Ia hanya ingin mengadu. Namanya Galuh. Buruh bangunan yang bekerja di bangunan tepi jalan besar menuju gang rumahku. Dia sama sekali tak cantik. Bahkan tak menarik. Bahkan mengerikan. Wajahnya bekas kebakaran di pipi kiri. Tadinya ia hidup dengan keadaan yang cukup baik, sampai suatu ketika api hampir saja melahap tubuh ibunya dan ia dengan segala kekuatan ingin menyelamatkan. Di saat yang sama ayahnya tiada. Karena si api. Kata Pak Jarwanto, pemilik rumah yang sedang dibangun, Galuh walaupun seorang wanita, betapa kuat bekerja. Ibu dari empat anak yang tinggal di desa beberapa kilometer dari rumahku. Bibir galuh berbentuk huruf ‘u’ terbalik. Aku kira dia wanita yang hidupnya penuh lara. Suaranya luar biasa lembek. Kadang aku geram mendengar gaya dia bicara. Lemah. Dan tak menarik. Aku sungguh tak suka. Tempo hari ibuku bercerita, Galuh tak pernah absen datan

Memberi Secercah Cahaya

“Cahaya! Beri aku cahaya!” adalah tangisan tak bersuara dari jiwaku, dan cahaya cinta menyinariku tepat pada saat itu. ( Helen Keller ) Kalimat itu merupakan kutipan dari ungkapan salah seorang wanita tuna rungu dan tuna netra asal Amerika yang hidup pada abad 18. Dengan pendidikan ia berhasil keluar dari belenggu keterbatasan yang menghujam jiwanya setiap detik. Jadilah ia wanita pertama peraih gelar sarjana dari perguruan tinggi terkemuka, Harvard University. Tak berbeda dengan keadaan fisik seorang Helen Keller, pada kehidupan rakyat kita, terutama bagi kelompok menengah ke bawah banyak terjadi kebutaan, ketulian, kebisuan, sampai kepincangan. Kebutaan itu ada karena ketidakmampuan untuk mengenyam pendidikan. Selanjutnya, mereka sulit mendengar atau mencerna tentang banyak fakta di negeri mereka sendiri karena minimnya konsumsi informasi. Keterbatasan itu membuat mereka menjadi bisu, tak tahu apa argumen yang tepat untuk membela hak, tak yakin pula suaranya didengar. Lalu, kepincang

Cerdas Menilik Kebijakan

Kita terbiasa dididik dan hidup dengan pilihan yang longgar atau meringankan. Berbagai kebijakan diterabas dengan mencari solusi yang memudahkan. Lihat saja aturan three in one yang sebenarnya punya tujuan mengurangi kepadatan jalan dan polusi udara. Bukannya berusaha bergabung dengan mobil milik rekan, banyak orang berpikir praktis dengan membayar beberapa ribu rupiah untuk jasa joki. Jadilah aturan itu dianggap menyulitkan, dan sibuk ditentang. Tak terkecuali kebijakan kenaikan tarif dasar listrik yang jadi buah bibir beberapa pekan terakhir, protes berkembang, minta ampun agar tak ada aturan baru yang mengocek kantong rakyat lebih banyak lagi. Kebijakan kenaikan tarif listrik berkisar antara 6% sampai 18%, yang diatur sesuai dengan pemakaian daya. Keluhan datang dari pemakai daya kecil (rumah tangga) sampai pelanggan bisnis dan industri. Bagi pelanggan kelas industri, timbul kekawatiran meningkatnya beban biaya produksi. Kenaikan tersebut memberikan pilihan bagi perusahaan antara me