Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari 2011

Keikhlasan Ibrahim

Saya pernah mengikuti sebuah workshop kesusastraan yang salah satu acaranya tentang bedah sebuah buku (yang saya lupa judulnya) karena penulis belum mempublikasikan buku dalam bahasa Inggris. Hanya tersedia yang berbahasa Norwegia, dan saya tidak sedikit pun memahami tentangnya. Intinya, buku itu berkisah tentang perjalanan seorang anak dan ibu menanti detik kematian. Kematian si anak. Baik genre maupun cerita di buku ini memang biasa saja. Tidak terlalu unik. Tetapi si penulis yang impresif membuat saya tertarik mengikuti bedah buku tersebut. Si penulis itu adalah ibu anak, yang sudah meninggal 7 tahun lalu. Sampul buku itu bergambarkan sepasang sepatu balet yang pitanya terjuntai seperti habis dipakai. Gambar itu sangat filosofis bagi sang ibu. Ia menggambarkan ‘siapa anakku’ di awal buku. Bahwa anaknya adalah remaja populer yang multi talenta, ia sangat sehat, ia penari balet yang tubuhnya sangat lentur. Gadis tersebut juga memiliki banyak teman yang rajin menjenguknya, dalam sehat

Mengaduhlah Sepedih-pedihnya

Di ruang itu, terakhir kali kau berdiri, sepi yang pasti, dan aku menunggu kata-katamu, seperti peserta seminar kiat sukses, yang telah seribu kali mencoba, seribu kali gagal. Lalu matilah lampu, dan semua jadi bayang-bayang. Cahaya yang lurus itu pasti tidak dari matamu yang semula juga, hanya ragu-ragu. Tak tahu, mana bayangku, mana bayangmu. Ruang ini, jika tanpa kau dan aku, telah terbiasa dengan sepoi-sepi. Saat tak ada apa-apa, waktu tak singgah, dan ruang ini tak merasa ada yang sia-sia. Mata yang haus, berlindung dari cahaya yang menipu, di balik kelopak yang memejam tak lengkap pejam, membuka tak sepenuh buka. Jauh melihat ke arah di sebalik kornea. Kita bukanlah penyabar, tapi kita bisa untuk tidak bergegas. Kita bisa menghindar dari yang mengejar. Menunda yang datang tanpa tanda. Adakah yang tepat untuk sesuatu yang tak tepat? Kalau nanti tak ada kisah kita lagi, waktu yang berperilaku kasar itu, akan menggerus kenangan tentangmu dari ingatanku. Juga aku

Cari Dulu, Cari Lagi..

Sering sekali aku sulit mencari barang pribadi yang tercecer entah dimana. Dari pakaian, buku, sampai kaos kaki. Dalam pencarian tersebut malas rasanya untuk menelusuri keberadaan benda-benda tersebut. Ku tanya ibu dengan harapan ia tahu dimana mereka. Kadang dijawab, namun kadang ia hanya berkata, “Cari dulu, cari lagi…” Dua dekade sudah hidup di dunia dengan berbagai romantisme dan problematika. Semoga kalimat tadi tidak terbaca sok tua, karena tiga tahun menuju seperempat abad ini ku rasa cukup pantas untuk mengatakan bahwa aku telah mengarungi begitu banyak cerita. Setiap hari, bulan, dan tahun, aku simpulkan berbagai makna dari perjalanan hidup. Berbagai keputusan ku ambil dengan segala pertimbangan tertentu, kadang juga sedikit sembrono . Sering sekali aku mencetuskan memoar-memoar yang mencengangkan. Dari tak ingin menikah, hingga ingin nikah muda. Dari ingin tua di Eropa hingga ingin mati di Papua. Kadang aku juga merasa bahwa keangkuhan seringkali menggerakkan badanku

Malades

Apa lagi? Apa lagi yang masih kau tunggu? Musim telah berganti, masa perlahan jadi silam Yang kelam telah silam Apa lagi? Dan, siapa lagi yang kau tunggu? Mereka sudah pergi, dia juga Bersama surat-suratnya, bersama derai tawanya Disertai cemooh atas kedurjanaanmu Kapan lagi? Kau akan muda seperti ini Tubuhmu kokoh dan penuh keriangan Pemikiranmu deras mengalir Kawan-kawan sudah berteriak memanggil untuk main Pada siapa? Kau mengiba.. Jangan katakan tujuanmu tanpa nama Tanpa yang satu ini, ku yakin hanya omong kosong Sudah ku katakan, mereka telah pergi Maka sudahlah… Setiap pagi partikel lembut melewati pipimu dengan hangat Begitu pula kiriman cahaya matahari sore Malam yang kau tolak tak berhenti datang memetaforakan diam Mengapa tatapanmu tetap kosong? Manis, selesaikanlah urusanmu Selama yang kau mau, tanpa batasan waktu Tetapi, jangan pernah salahkan dirimu lagi Mungkin, saat kau bangun kembali, ada perkara lain yang terlambat untuk kau pikirkan

The Opening

In the night that surrounded by sorrow, I lay down in my bed, feel the comfort of soft sheet. My parents lived so far away from here, but I know they’re happy there, so it’s okay to stay without them. My little sister that lived here, in the same place, not talk too much with me frequently. I declare, silent is my best friend, at least for this couple weeks. Everything were blended together, recently. Like a big hurricane, like a soft flow that drag me away somewhere. My faith, aim, passion, happiness, pride, conciousness, wrecked. Altough cheessy, I’m not afraid to say that I had the worst part in my life. bitterness that I cannot spit, sound that can’t voiced, stertorous that cruel cannot be taken out. Like savor the deepest loneliness and emptyness. In my recent journey to west, but I’m not looking for that epic about ‘scripture’, I found some of my species that asked too much about anything, everything. Even about the world creature, Creator. Found an answer like count for maths an

Doa Malam

Aku ingin menjadi apa yang Dick Hartono pernah katakan, musafir yang mencari dan memberi arti kepada segala sesuatu yang dijumpainya. Tidak silau oleh apa yang nampak, tetapi menerangkan apa yang tersembunyi di belakang gejala-gejala yang dicerapnya dengan panca indera. Orang Jawa selalu suka klenik, dan malam ini ibu sedang bercerita tentang sakralnya 1 Sura (Muharram). Sebenarnya ini bukan inti dari ceritaku, pengantar saja, tentang kegiatan ibuku sebelum bapak pulang. Malam ini 60 hari sebelum aku lulus SMA, entah mau dibawa kemana cerita hidupku selanjutnya. Jadi satpam seperti bapak, tukang cuci seperti ibu, atau kerja keras untuk cari beasiswa lanjut sekolah S1. “ Nduk, kamu mau jadi apa kalo sudah dewasa?” suara ibu menyela ruang pikirku. “Jadi pejabat enak, Nduk… Kerjanya enteng, hidupnya sejahtera.” Lanjut bapak. Aku hanya bisa diam sambil lihat berita di televisi. Isinya sama, hanya beda kasus. Lagi-lagi ada saja yang tentang pejabat korupsilah, oportunis, dan lainnya. Seakan