Di sebuah warung kopi di Sarinah, sore itu saya sedang bercerita dengan Riski tentang banyak hal. Seperti biasa, topiknya tidak jauh dari keluhan pekerjaan dan kekhawatiran akan masa depan. Kisah klasik. Tidak berkesudahan. Ini semacam topik dua tahun lalu, tahun lalu, atau bulan lalu yang tak habis diceritakan. Di whatsapp, telepon, warung bubur ayam, sampai gerbong kereta. Kadang rasanya seperti kufur nikmat karena merasa begini. Saya merasa begitu lepas bercerita dengan Riski, seperti bisa berbicara tanpa harus memikirkan apa yang mesti dikatakan. Seperti bertanya tanpa takut dengan segala jawaban. Di suatu waktu dia mengatakan beberapa kalimat yang lebih dahsyat dari caramel macchiato yang saya minum sore itu. Bikin tak bisa tidur. “Ada satu kelemahanmu yang dari dulu enggak berubah. Kamu itu enggak konsisten orangnya. Entah belajar, menyelesaikan tulisan, atau diet sekalipun.” Saya nyengir, lalu merasa yang dikatakannya benar juga. Sulit sekali bagi saya melakukan sebuah ha...
tak sempurna, namun layak dibaca